Tanggung Jawab Negara dalam Pemenuhan Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Bagi Penganut Aliran Kepercayaan di Indonesia
Oleh: Eduard Awang Maha Putra
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
plural dalam hal beragama dan/ atau berkeyakinan. Pluralitas yang dimiliki
bangsa Indonesia sepanjang sejarah menunjukkan bahwa tradisi toleransi sudah
terbangun secara alami di tengah-tengah masyarakat terlebih dahulu sebelum
hadirnya agama. Oleh karena itu, pengakuan dan toleransi tersebut bukan hanya
untuk agama yang berbeda, tetapi juga untuk aliran kepercayaan yang berbeda.
Hal ini penting diperhatikan sebagai pengalaman historis bangsa Indonesia yang
akan mempengaruhi pola pikir bangsa di masa mendatang.[1]
Dalam konstitusi bangsa Indonesia, kebebasan
beragama dan berkeyakinan merupakan salah satu kebebasan yang dijamin secara
penuh. Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945 secara khusus menegaskan hak dasar
dalam kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut agama dan
kepercayaan masing-masing.[2] Ketentuan ini kemudian
diatur kembali secara konstitusional dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945
yang menyatakan bahwa “negara berdasar atas Ketuahanan Yang Maha Esa”,
sedangkan dalam ayat (2) ditegaskan kembali bahwa; “negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”. Konsekuensi adanya jaminan di dalam
konstitusi, menjadikan hak setiap warga negara untuk menjalankan ajaran agama,
keyakinan maupun ritual peribadatan telah menjadi hak konstitusional. Sebagai
hak konstitusional, negara memiliki kewajiban untuk menjamin, melindungi, dan
memenuhi hak tersebut, untuk terwujudnya harmoni, perdamaian, dan kerukunan
dalam bingkai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[3]
Kebebasan beragama adalah bagian dari non-derogable
rights, yang berarti tidak dapat dicabut dan tidak dapat, dalam keadaan apa
pun, dibatasi oleh pemerintah. Namun kemudian muncul masalah ketika pengakuan
terhadap agama dan / atau keyakinan tersebut dibatasi dengan dikeluarkannya
Undang-UndangNomor 1.Pn.Ps. Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan
atau Penodaan Agama (UU PNPS No.1 tahun 1965). Dalam penjelasan Pasal 1 UU PNPS
No. 1 Tahun 1965 dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia
ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Padahal
kenyataannya, banyak kepercayaan lokal yang masih eksis di Indonesia seperti
misalkan Kejawen, Sunda Wiwitan, Parmalim, Marapu, Kaharingan, Aluk
Todolo dan lain-lain.[4]
Selama ini banyak diskriminasi lain yang
telah dirasakan oleh penghayat / penganut aliran kepercayaan akibat
perlindungan hukum yang tidak konsisten, seperti kesulitan dalam membuat akta
atau dokumen tertentu bagi anak-anak mereka yang karena perkawinan mereka
dengan menggunakan adat kepercayaan mereka tidak diakui oleh Pemerintah.[5] Kemudian, berbagai
permasalahan dari aspek pemenuhan hak-hak dasar dan kebijakan publik, yakni
banyaknya ketidakcocokan antara identitas agama yang dituliskan di dalam Kartu
Keluarga (KK) dan KTP Elektronik. Dalam hal pekerjaan, dibeberapa kasus
penganut kepercayaan ini tidak diizinkan berlibur pada hari peribadatan
kepercayaan yang dianut.
Alhasil pada Selasa, 7 November 2017,
Mahkamah Konstitusi menjatuhkan Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 atas perkara
Pengujian (Judicial Review) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan atas UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU No.24
tahun 2013) terhadap UU Negara Republik Indonesia 1945.
Hasil akhir dari perjuangan para pemohon
dalam perkara tersebut adalah dikabulkannya permohonan Pemohon untuk seluruhnya
oleh Majelis Hakim melalui melalui Putusan MK No.97/PUU-XIV/2016.
Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa pasal 61 ayat (2) dan pasal 64
ayat (5) UU No.23 Tahun 2006 jo UU No.24 Tahun 2013 bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran
kepercayaan.[6]
Pemenuhan hak sipil bagi penganut agama
lokal atau kepercayaan, secara formal sudah mulai tercermin setelah adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi No.97/PUU-XIV/2016 yang menerima permohononan
pemohon untuk menyatakan bahwa Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No.23 Tahun
2006 dan Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU No.24 Tahun 2013 tentang
Administrasi Kependudukan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Adapun ruang lingkup pasal-pasal yang
diuji dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 yakni pada Pasal 61 ayat (1)
mengatur tentang sejumlah keterangan yang harus dicantumkan di dalam KK yang
berisi beberapa kolom, salah satunya kolom agama. Sementara Pasal 61 ayat (2)
mengatur tentang pengosongan kolom agama yang dimaksud alam Pasal 61 ayat (1)
bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan
perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan. Sedangkan Pasal 64 ayat (1)
dan (5) UU No.24 Tahun 2013 pada dasarnya mengatur hal yang sama dengan Pasal
61 ayat (1) dan ayat (2) dalam konteks pengurusan KTP Elektronik. Berdasarkan
Pasal 64 ayat (5) kolom agama dalam KTP Elektronik bagi Penduduk yang agamanya
belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan perundang-undangan atau bagi
penghayat kepercayaan adalah tidak diisi atau dikosongkan.
Meskipun Putusan MK telah mengakui keberadaan
aliran kepercayaan sebagai ajaran ketuhanan yang keberadaannya harus diakui
dalam dokumen kependudukan. Namun faktanya paling anyar terkait hal ini ialah
munculnya penyegelan bakal makam sesepuh penghayat Sunda Wiwitan oleh
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuningan. Kuat dugaan aksi penyegelan ini
diakibatkan oleh adanya aksi penolakan dari beberapa organisasi kemasyarakatan
(Ormas) terhadap bangunan makam ini. Selain itu masih belum terselesaikannya
persoalan terkait Akta Perkawinan bagi penganut agama lokal yang berasal dari
komunitas adat yang rata-rata tidak bergabung di organisasi, dll.
Dengan banyaknya tuntutan dan permasalahan
yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan-kepercayaan lokal, pemerintah
seharusnya segera bertindak dan menanggapi dengan memberikan pengakuan dan
perlindungan terhadap mereka. Hal ini sesuai dengan Pasal
28 I ayat (4) UUD NRI 1945 yang menyatakan negara, terutama pemerintah
bertanggung jawab terhadap perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia.[7]
Dengan demikian, pemerintah seharusnya dapat membuat kebijakan dengan mendasarkan kebijakan pada Pembangunan berbasis HAM yang mampu mengakomodasi semua hak yang diperlukan tanpa adanya tindakan diskriminatif dan negara tentunya harus bisa memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak konstitusional warga negara, serta lebih bertanggung jawab lagi dalam mencapai keadilan sosial. Oleh karena itu melalui makalah ini akan dibahas secara komperehensif terkait apa saja jaminan terhadap pemenuhan hak-hak masyarakat penganut aliran kepercayaan, apa saja tantangan dalam pemenuhan hak-hak penganut aliran kepercayaan, dan bagaimana tanggung jawab negara terhadap pemenuhan hak-hak penganut aliran kepercayaan di Indonesia.
A. Jaminan Terhadap Pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Penganut Aliran Kepercayaan
Salah satu
ciri negara konstitusional ialah diaturnya beberapa elemen pokok dalam
bernegara, antara lain: 1) terjaminnya Hak Asasi Manusia (HAM), 2) diaturnya
sistem ketatanegaraan yang bersifat fundamental, 3) diaturnya pembagian dan
pembatasan kekuasaan yang bersifat fundamental.[1]
Dengan demikian salah-satu kriteria pokok suatu negara bisa disebut sebagai
negara yang berpaham konstitusi ialah bergantung bagaimana negara tersebut
memberikan jaminan terhadap tegaknya prinsip - prinsip HAM.[2]
Sebagai negara yang berpaham konstitusi. Indonesia
telah memberikan pengakuan dan jaminan terhadap prinsip HAM, antara lain dapat
dilihat dalam materi muatan konstitusinya yang memberikan materi pengaturan
secara khusus terhadap bidang HAM. Bab XA UUD 1945 merupakan bukti nyata bahwa
Indonesia memang berkomitmen untuk mewujudkan kehidupan bernegara yang mampu
melindungi tegaknya prinsip-prinsip HAM, salah satunya ialah tegaknya prinsip
kebebasan beragama dan berkepercayaan. Berikut ini merupakan jaminan pemenuhan
hak penganut aliran kepercayaan secara de
facto dan de jure:
- Dasar Hukum yang Mengatur
Hak-Hak Penganut Aliran kepercayaan
Secara de facto Konstitusi
memberikan jaminan kebebasan beragama dan berkepercayaan bagi setiap warga
negara. Ketentuan tersebut bisa ditemukan pada Pasal 28E ayat (2) UUD NRI 1945
[3]yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya”, pasal ini memberikan jaminan terhadap keberadaan aliran kepercayaan
yang dianut masyarakat Indonesia.
Jaminan
negara terhadap hak beragama dan berkepercayaan juga diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2)
UUD NRI 1945 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu".[4]
Kebebasan beragama dan berkeyakinan ditekankan sebagai hak yang dilindungi
konstitusi dalam pasal ini. Oleh karena itu, setiap upaya untuk membatasi
hak-hak dasar warga negara untuk memiliki dan menjalankan keyakinan agama
mereka tidak dapat dibenarkan.
Selain kedua
peraturan perundang-undangan di atas, secara de jure jaminan juga ditemukan dalam
instrumen-instrumen internasional tentang HAM, Universal
Declaration of Human Rights (UDHR), Pasal 18 menyatakan, “Everyone has the right to freedom of
thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his
religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and
public or private, to manifest his religion or belief in theaching, practice,
worship and observance” (Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati
nurani, dan beragama. Kebebasan ini mencakup kebebasan untuk menunjukkan agama
atau kepercayaan serta kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya
melalui pengajaran, pengamalan, peribadatan, dan ketaatan, baik yang dilakukan
secara pribadi maupun di depan umum.).[5]
Sementara itu, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR),
Pasal 18 menyatakan:[6]
1)
Setiap orang
berhak atas kemerdekaan pikiran, keyakinan dan agama. Hak ini mencakup
kebebasan untuk memiliki atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas
pilihannya, dan kebebasan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain dan di hadapan umum maupun di ruang pribadi, untuk menunjukkan
agama atau kepercayaannya dalam persembahyangan, kepatuhan, praktik dan
pengajaran (Everyone shall have the right
to freedom of thought, consience and religion, this right shall include freedom
to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either
individually or in community with others and in public or private, to manifest
his religion or belief in worship, observance, practice and teaching).
2)
Tak seorang pun boleh ditundukkan pada
paksaan yang akan menyederai kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu
agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri (No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to
have or to adopt a religion or belief of his choice).
3)
Kemerdekaan untuk
menunjukkan agama atau keyakinan seseorang hanya dapat ditundukkan pada
pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang dan diperlukan untuk
melindungi keselamatan umum, ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak dan
kebebasan-kebebasan mendasar orang lain (Freedom
to manifest one’s religion or beliefs may be subject only to such limitations
as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order,
health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others).
4)
Negara-negara
Pihak dalam Kovenan ini sepakat untuk memberikan penghormatan terhadap
kebebasan orang tua dan, bilamana dapat diterapkan, wali yang sah guna menjamin
pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka
sendiri (The States Parties to present
Covenant undertake to have respect for the liberty of parents and, when
applicable, legal guardians to ensure the religious and moral education of
their children in conformity with their own convictions).
Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik kemudian diratifikasi oleh Indonesia
melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. (Kovenan Internasional Hak Sipil).
Karena komitmen hukum Indonesia, ratifikasi berdampak pada bagaimana hak asasi
manusia diimplementasikan. Artinya, selain bertanggung jawab untuk mengesahkan
kovenan menjadi undang-undang, pemerintah Indonesia juga memiliki tanggung
jawab untuk menghormati, menjaga, dan menegakkan hak asasi manusia, serta
melaporkan setiap perubahan undang-undang atau prosedur, kebijakan lainnya.
atau kegiatan yang telah dilaksanakan. Negara, atau dalam hal ini, pemerintah,
bertugas mewujudkan pemenuhan hak asasi manusia melalui tiga cara yang berbeda:
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan (to fullfil).
B. Tantangan dalam Pemenuhan Hak-Hak Penganut Aliran Kepercayaan
Beka Ulung Hapsara,
Komisioner Komnas HAM, mengklaim kebijakan yang diterbitkan seringkali
menguntungkan kelompok dominan. Ada undang-undang seperti itu di beberapa
bagian Indonesia. Semua agama dan sistem filosofis diberikan hak yang sama di
bawah konsep hak asasi manusia, dan baik penganutnya maupun ajarannya tidak
berperilaku diskriminatif. Layanan publik yang ditawarkan juga termasuk dalam
hal ini, kapasitas aparatur dalam memahami kebebasan konstitusional warga
negara untuk beragama dan berkeyakinan tidak sama. “Banyak
aparat yang belum bisa membedakan mana pembatasan dan pengaturan HAM, sehingga
ketika diturunkan kebijakan teknisnya menjadi diskriminatif,” Beka menegaskan,
masyarakat adat yang menganut agama atau kepercayaan leluhur juga terkena
dampak dari strategi pembangunan infrastruktur pemerintah. Misalnya, di Sumba
Timur, masyarakat hukum adat berselisih dengan investor karena tindakan
investor tersebut membahayakan situs keramat masyarakat adat.[7]
Peran pemerintah daerah dalam menyelesaikan masalah
ini sangat penting. Namun, beberapa pemimpin daerah menerima untuk menangani
masalah ini, sementara yang lain tidak. Oleh karena itu, sangat penting bagi aparatur
pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menjunjung tinggi standar Hak Warga
Negara agar setiap orang dapat menjalankan agama atau kepercayaannya dengan
bebas dan tanpa hambatan.
Didik
Suhardi, Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Budaya, dan
Olahraga Prestasi Menko PMK Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan (Kemenko PMK), menegaskan bahwa masyarakat adat dan penganut aliran
kepercayaan memiliki hak yang sama dengan orang lain. Hak atas pendidikan,
perawatan kesehatan, pekerjaan, lokakarya, pemakaman, ekspresi budaya, tempat
suci, dan memperoleh pengakuan dan penetapan masyarakat adat juga harus
dijunjung tinggi oleh masyarakat adat dan penganutnya. Namun, berbagai
kebijakan, aturan, dan regulasi antar Kementerian/Lembaga justru dianggap
bertentangan dengan hak konstitusional masyarakat adat dan penganutnya. Menurutnya,
masih kurangnya koordinasi antara banyak Kementerian/Lembaga dan komponen
terkait, sehingga sulit untuk menyelesaikan masalah penganut aliran kepercayaan
masyarakat adat dalam undang-undang. “Perlu adanya sinergi antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, Akademisi, Pengusaha, Media, dan Komunitas dalam memenuhi dan
mengawal hak masyarakat adat dan penghayat kepercayaan".[8]
Isu-isu kebijakan yang tidak konsisten dan konvergen
adalah isu utama yang dihadapi penganut aliran kepercayaan sepanjang analisis sejarah Setara Institute tentang
perkembangan komunitas penganut aliran kepercayaan, dimulai dengan bagaimana
agama dan kepercayaan dideskripsikan, kemudian dikategorikan, kemudian
dikendalikan atau bahkan ditekan. Sikap dualistik negara terhadap agama dan
kepercayaan di Indonesia didasarkan pada dikotomi antara agama dan non-agama
sebagai pemahaman umum politik.
Setara
Institute mengkategorikan isu-isu prasangka yang mempengaruhi penganut aliran
kepercayaan menjadi dua kelompok: isu-isu eksternal dan isu-isu internal.
Secara eksternal, Soemarno W.S. (1972) membagi umat beriman ke dalam berbagai
kategori, antara lain:[9]
1.
Kelompok
Kepercayaan Individu (satu atau dua orang) yang menganut Keyakinan semata-mata
untuk keuntungan mereka sendiri dan tidak berusaha untuk menarik orang baru.
Kelompok ini mempraktikkan asketisme, samadi, atau ritual puasa tanpa bermaksud
membagikannya kepada masyarakat umum. Aliran Hinayana memasukkan kategori ini
dalam klasifikasinya.
2.
Kelompok guru
kepercayaan yang menyebarluaskan ajarannya dan berfungsi sebagai “sekolah”
dengan menerima murid ini adalah aliran Mahayana. Kelompok ini mengajak orang
untuk bergabung, baik sepenuhnya sebagai penghayat maupun dalam bentuk
pelatihan olah rasa.
3.
Kelompok
perdukunan, sebuah kelompok mistik, menggunakan pengobatan dan perdukunan asli
untuk membantu mereka yang membutuhkan. Kecuali kategori kedua, pemerintahan
Orde Baru cenderung mengizinkan atau tidak membatasi aktivitas
kelompok-kelompok ini karena banyak tokoh berpengaruh pada masa Orde Baru juga
melakukan perdukunan dan pengobatan dengan cara tradisi agama lokal.
Berikut
adalah pembagian kelompok penganut aliran kepercayaan yang dibuat oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dikoordinasikan oleh Direktorat
Ketuhanan Yang Maha Esa dan Tradisinya:
1.
Hak menyangkut isu
pengakuan dan atau recognisi terhadap identitas keagamaan pada kartu penduduk
(KTP). Dalam kaitan pengosongan kolom agama
2.
Hak Pelayanan atas
pernikahan termasuk yang terkait dengan akte kelahiran. Terkait masih
ditemuinya pasangan yang menikah di luar agama yang 6 tidak mendapatkan akte
nikah, sekaligus anak yang lahir harus ditulis hanya dari ibu.
3.
Hak pendidikan
agama bagi penghayat Kepercayaan.
4.
Hak mendirikan
sanggar atau persudujudan.
5.
Hak atas pekerjaan
sebagai (PNS/TNI/Polri).
Setara
Institute mengidentifikasi sejumlah masalah internal bagi penganut aliran
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa selain masalah eksterior. Pertama, terjadinya perselisihan atau bahkan
tuduhan antara kelompok agama lokal yang terorganisir dan kelompok yang tidak
terorganisir. Sebenarnya, masalah ini sudah ada sejak lama. Khususnya sejak
Badan Koordinasi Kebatinan Indonesia (BKKI) berdiri tahun 1955 dan Paguyuban
Ulah Kebatinan Seluruh Indonesia (PUKSI)
tahun 1968, perdebatan tentang perlu tidaknya dibentuk dan berkumpul dalam satu
wadah bersama. Pada tahun 1970-an, perdebatan kembali diangkat di
organisasi-organisasi asosiasi keagamaan HPK dan BKOK setempat daan skenario
yang sama berlanjut ketika Majelis Luhur Penghayat Indonesia (MLKI) didirikan
pada awal 2014.
Kedua, baik
kelompok organisasi yang bergabung dengan MLKI maupun yang tidak, mengalami
dialektika saling curiga. Kelompok-kelompok yang tergabung dalam kelompok MLKI
memandang pembedaan itu sebagai rencana. Penganut aliran kepercayaan yang
berorganisasi tetapi tidak menjadi anggota asosiasi MLKI percaya bahwa MLKI
penuh dengan orang luar dan memiliki penganut yang tidak dapat diandalkan.
Ketiga, tidak ada konsensus tentang terminologi yang digunakan untuk pemerintah
daerah; hal ini dapat menyulitkan Negara untuk menegakkan hak konstitusional.
Akibatnya, Negara hanya menyediakan akomodasi bagi organisasi keagamaan lokal
yang tergabung dalam MLKI melalui Direktorat Ketuhanan Yang Maha Esa di
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Keempat, banyaknya referensi komunitas
agama asli di nusantara mereka disebut sebagai mistikus atau orang percaya oleh
penguasa. Bahkan organisasi dengan ritus khas disebut sebagai agama lokal.
Kelima, agama-agama lokal menghadapi persoalan internal terkait aturan resmi
yang hanya mengakui enam agama; Akibatnya, tubuh pemeluk agama lokal setidaknya
terpecah menjadi tiga kelompok.
(i)
Mereka memilih untuk
mengosongkan kolom agama pada kartu
identitasnya karena mereka
adalah penganut kepercayaan lokal (KTP).
(ii)
kelompok penghayat namun dalam kartu identitasnya memilih salah satu dari 6 (enam) agama
(iii)
mereka yang sama sekali tidak ingin mematuhi "aturan Negara".
Kelompok ini memilih untuk hidup jauh
dari hiruk pikuk dunia modern di kota-kota kecil,
desa, atau bahkan hutan. Namun, mereka semua memiliki masalah yang berbeda-beda.
Karena
terlalu lama mengalami peminggiran terhadap mereka oleh Negara, menyebabkan
mereka lemah dalam pengembangan sumber daya manusia. Konstitusi juga memastikan
bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk menjalankan keyakinannya secara
terbuka dan bebas. Termasuk kebebasan berpendapat, berpikir dan bertindak
sesuai dengan hati nurani. Selain itu, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan berbicara. Akan tetapi, kewajiban konstitusional tersebut belum
dapat berfungsi sebagaimana mestinya karena sebagian kelompok masyarakat masih
merasa kesulitan untuk menggunakan hak konstitusionalnya, seperti yang dialami
oleh penganut aliran kepercayaan.
Ketua Umum
Puan Hayati pusat, Dian Jennie Tjahjawati menegaskan, semakin berkurangnya
pemeluk/penerus suatu agama, maka jumlah pemeluknya juga semakin berkurang. Hal
ini terjadi karena pemeluk kepercayaan sampai saat ini tetap banyak menghadapi
stigma dan diskriminasi. Walaupun sudah terdapat putusan MK Nomor 97/PUU-
XIV/2016 yang memberikan angin segar bagi upaya para penghayat kepercayaan
untuk merawat, mempertahankan, dan menjaganya dari kepenuhan, mengingat ajaran
dan keyakinan inilah yang mereka warisi dari para leluhurnya. Hanya saja perkembangan
agama modern yang kian tidak terbendung
menyebabkan negara terkesan abai terhadap nasib para penganut agama
lokal. Hal ini dapat dilihat dari Surat Edaran Direktur
Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil No. 471.14/10666/Dukcapil tentang
penerbitan Kartu Keluarga bagi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa yang dikeluarkan oleh Kemendagri sebagai tindak lanjut dari putusan MK
No. 97/PUU-XIV/206. Surat edaran ini memang dimaksudkan untuk mengakomodasikan
kepentingan para penghayat kepercayaan agar dapat melakukan pencatatan
identitasnya pada KK.[10]
Sayangnya dalam materi Surat Edaran ini hanya mencantumkan pengisian identitas
pada kolom agama bagi penganut aliran kepercayaan dengan redaksi kalimat yang
masih umum. Ini disebabkan oleh formulasi kalimatnya yang hanya mencantumkan
“Kepercayaan Terhadap Tuhan YME”, bukan langsung menyebutkan nama dan/atau
jenis aliran kepercayaan yang dianut.
Penggunaan
redaksi “Kepercayaan Terhadap Tuhan YME” ini berpotensi menimbulkan ragam
persoalan serta diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari para penghayat
kepercayaan, mengingat ragam peristiwa dan aktivitas keseharian para penganut
kepercayaan yang tidak dapat dilepaskan oleh urusan agama. Bentuk persoalan dan
diskriminasi tersebut seperti sistem pembinaan ajaran aliran kepercayaan yang
semestinya didapatkan oleh anak-anak para penghayat kepercayaan saat di bangku
sekolah dimungkinkan tidak terlaksana dengan baik.[11]
Model
penulisan identitas keagamaan yang masih dicantumkan secara umum ini berpotensi
menyulitkan anak-anak dari para penganut kepercayaan untuk mengakses pembinaan
atas keyakinannya. Pihak sekolah bisa saja menyamaratakan sistem pembinaan
dengan mengajarkan nilai-nilai keimanan dan kebajikan yang hanya bersumber dari
salah satu aliran kepercayaan, padahal jumlah aliran kepercayaan yang ada di negeri
ini sangat banyak, bahkan lebih banyak dari agama-agama resmi negara.
Tantangan
berikutnya yakni penganut aliran kepercayaan memiliki kesulitan dalam
mendirikan tempat ibadah sama seperti yang dihadapi oleh kelompok agama dan
kepercayaan minoritas lainnya. Menghadapi stigma dan diskriminasi yang sering
muncul adalah salah satu hal yang terus menjadi hal yang sulit bagi penganut
aliran kepercayaan. Dilihat dari berbagai sumber tantangan dalam pemenuhan
hak-hak penganut aliran kepercayaan menjadi permasalahan yang kompleks dari
masalah eksternal hingga internal sehingga banyak rintangan untuk memenuhi hak
konstitusional warga negara bagi penganut aliran kepercayaan. Maka perlu adanya
peran pemerintah dalam menyelesaikan persoalan ini.
C. Tanggung Jawab Negara terhadap Pemenuhan Hak-Hak Penganut Aliran Kepercayaan di Indonesia
Untuk
menjamin dan menegakkan hak konstitusional, negara berupaya dan bertugas untuk
menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya. Tindakan yang
dilaksanakan negara yaitu menerapkan implementasi yang efektif dan konkrit atas
berbagai peraturan maupun kebijakan tentang hak bagi penganut aliran
kepercayaan dari sisi yang terkait dengan hukum, politik, ekonomi, masyarakat,
budaya, pertahanan, dan keamanan, bukan sekedar ornamen hukum atau politik.
Negara
memiliki banyak kewajiban sebagai pelindung hak konstitusi. Kewajiban yang
paling awal adalah untuk menegakkan hak-hak dasar masyarakat, maka negara
berkewajiban dan bertanggungjawab memenuhi perlindungan terhadap hak-hak warga
negaranya. Hal itu harus termasuk kedalam kesepakatan yang bersifat universal.
Dengan begitu, kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara ada tiga. Pertama,
yaitu negara wajib untuk menghormati (to respect) hak konstitusi, maksudnya
adalah setiap orang memiliki hak dasar yang harus diakui oleh negara dan tidak
dapat dibatasi oleh undang-undang. Kedua, pemerintah wajib membela (to
protect) hak konstitusional. Kewajiban tersebut sudah terpenuhi misal
dengan cara meratifikasi perjanjian internasional tentang hak asasi manusia
menjadi hukum nasional, namun dengan cara lainnya seperti negara menghapus
peraturan yang diskriminatif sebagai tindakan lain dari jaminan negara terhadap
hak konstitusi. Ketiga, negara wajib untuk memenuhi (to fulfill) hak konstitusi, memenuhi hak konstitusi adalah langkah
formal untuk melanjutkan jaminan pemenuhan hak-hak terhadap penganut aliran
kepercayaan.[12]
Selain
memiliki tanggung jawab, negara juga erat kaitannya dengan kewajiban.
Sederhananya, state responsibility terjadi ketika negara gagal
menegakkan tanggung jawabnya, yang meliputi pengakuan, pembelaan, dan
pelaksanaan hak asasi manusia. Jika merujuk pada Teori
resiko (risk theory), teori ini menyatakan bahwa suatu negara mutlak
bertanggungjawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat
membahayakan (harmful effects of hazardous activities), walaupun kegiatan
tersebut merupakan kegiatan yang mempunyai legalitas hukum. Teori ini kemudian
melahirkan prinsip tanggungjawab mutlak (absolute liability atau strict
liability).[13]
Mengingat
posisi kekuasaan negara, memungkinkan adanya pelanggaran yang sangat tinggi
oleh negara. Ada tiga cara pelanggaran yang dilakukan oleh negara. Pertama,
negara melakukan kekerasan dengan tindakan (violence by commission).
Kedua, negara membiarkan terjadinya pelanggaran yang terjadi (violence by
omission). Ketiga, negara melakukan pelanggaran dengan membuat produk yang
membatasi bahkan melanggar hak asasi manusia (violence by judicial). Ini
tidak diragukan lagi menjadi subjek tugas negara, oleh karena itu, kepatuhan
suatu negara terhadap hukum memiliki dampak yang signifikan terhadap bagaimana
hak konstitusionalnya dilaksanakan. Kepatuhan terhadap hukum sangat penting
adanya ratifikasi perjanjian hak asasi manusia internasional yang mengikat,
tetapi tidak menjamin bahwa akan ada lebih sedikit atau tidaknya pelanggaran
hak asasi manusia di wilayah yang berada di bawah kendali hukumnya. Oleh karena
itu, kepatuhan dan moral suatu negara harus berjalan selaras satu sama lain.[14]
Dalam konteks
perlindungan terhadap hak konstitusional penghayat kepercayaan pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016, hal penting yang harus digarisbawahi
ialah adanya dua kewajiban hukum yang kepada negara dituntut pemenuhannya dan
menjadi tanggung jawab negara. Pertama, kewajiban hukum internasional yang
diturunkan dari keikutsertaan Indonesia sebagai negara pihak (state party)
pada International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Kedua, kewajiban hukum yang diturunkan dari ketentuan Konstitusi (UUD NRI
1945), sebagaimana telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi lewat putusannya yang
bersifat final dan berkekuatan hukum tetap.
Dalam hal pembuatan peraturan atau regulasi terkait
dengan perlindungan dan hak-hak masyarakat penganut aliran kepercayaan,
pemerintah haruslah selalu mendasarkan peraturan atau regulasi yang dibuat pada
prinsip-prinsip pembangunan berbasis HAM. Pembangunan berbasis HAM, merupakan inovasi yang
dibangun melalui proses sejarah yang panjang terkait upaya untuk menciptakan
praktik yang sepenuhnya menggabungkan bidang HAM dan Pembangunan. Harapannya
adalah bahwa dengan membangun masyarakat sipil, perubahan sosial akan lebih
sadar konteks dan dampaknya lebih bertahan lama.
Terdapat
beberapa prinsip – prinsip Pembangunan berbasis HAM yang menjadi dasar
pemerintah dalam membuat regulasi untuk melindungi dan memenuhi hak-hak
penghayat aliran kepercayaan, prinsip-prinsip tersebut diantaranya yakni:
1. Rule of law HAM
HAM tidak saja sekadar kewajiban moral
atau politik, tapi juga merupakan kewajiban hukum. Artinya, hukum harus
mengikat dan melindungi HAM untuk mencapai standar dan prinsip-prinsip
sebagaimana yang diatur dalam instrument -instrumen HAM, sehingga mereka yang
terlanggar haknya bisa mengajukan tuntutan. Dengan kata lain, HAM harus
dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang kuat serta sistem peradilan
yang kompeten, tidak memihak, dan independen untuk memastikan bahwa hukum
ditegakkan secara adil dan diterapkan untuk semua orang (Uvin, 2004). Begitupun
terhadap penganut aliran kepercayaan, pemerintah harus membuat peraturan atau
keputusan yang dapat melindungi dan menjamin hak atas kebebasan berkeyakinan
bagi masyarakat penghayat aliran kepercayaan dan dapat berlaku adil terhadap
seluruh warga negara tanpa memandang agama/kepercayaan yang dianut.
2. Universalisme dan tidak dapat dicabut (universalism
and inalienability)
Prinsip universalitas HAM berarti bahwa setiap
wanita, pria, dan anak berhak untuk menikmati hak-haknya karena derajat
kemanusiaannya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 DUHAM, “All human beings
are born free and equal in dignity and rights”. Prinsip universalitas
inilah yang membedakan antara HAM dengan hak-hak lainnya seperti hak
kewarganegaraan atau hak dalam perjanjian kontrak. Di samping itu, HAM tidak
dapat dicabut dalam arti bahwa hak-hak ini tidak dapat diambil dari seseorang
atau diserahkan secara sukarela (UNDP, 2003). Bagi penganut aliran kepercayaan,
prinsip ini juga harus dijalankan oleh pemerintah dengan menghormati, memenuhi,
dan melindungi hak mereka sebagai hak yang tidak dapat dicabut dan juga berhak
untuk mereka nikmati tanpa ada pembatasan dan paksaan untuk mengikuti agama
tertentu.
3. Keutuhan dan kesalingtergantungan (indivisability
and interdependence)
Prinsip ketidakterpisahan dan
kesalingtergantungan yakni hak-hak menyiratkan bahwa ruang lingkup pembangunan
berbasis hak bersifat menyeluruh karena definisi, konsep, dan indikator
kesejahteraan beragam. Dalam konteks ini, hak sipil dan politik diperlakukan
sama pentingnya dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ljungman, 2004). Berkaitan
dengan penghayat aliran kepercayaan, pemerintah harus dapat menjamin bahwa
masyarakat penganut aliran kepercayaan juga dapat menikmati hak-hak yang
dimilikinya berkaitan dengan hak ekonomi, pendidikan, sosial, kebudayaan,
bahkan hak untuk terlibat dalam politik. Sehingga tidak hanya hak sipil saja
yang dapat dinikmati oleh masyarakat, karena keseluruhan hak tersebut merupakan
satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan dan juga saling berhubungan atau
bergantungan satu sama lain.
4. Non-diskriminasi dan kesetaraan (non-discrimination
and equality)
Prinsip non-diskriminasi dan kesetaraan
merupakan aspek yang paling mendasar dalam HAM. Pasal 2 dari Deklarasi
Universal HAM (DUHAM) secara eksplisit menyebutkan ruang lingkup prinsip
non-diskriminasi meliputi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
aliran politik, bangsa, asal daerah, kepemilikan, status kelahiran, dan
sebagainya (Balakrishnan & Elson, 2008). Termasuk bagi penganut aliran
kepercayaan pun, haruslah diperlakukan setara dan juga tidak memperoleh
Tindakan diskriminasi baik dari regulasi atau keputusan yang dibuat oleh
pemerintah karena kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan hak dasar setiap
individu yang melekat dan tidak dapat dibatasi (non-derogable right)
serta dijamin haknya dalam konstitusi, konvenan internasional tentang HAM, dan
juga UU HAM yang berlaku di Indonesia. Hal ini juga sesuai dengan teori
keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls bahwasanya
“setiap
orang berhak memperoleh kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling
luas dan ada keuntungan timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap
individu sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial ekonomi bagi kelompok yang
beruntung dan tidak beruntung”. [15]
5. Partisipasi (participation)
Partisipasi adalah sebuah prinsip operasi
kunci dari kerangka kerja HAM. Prinsip partisipasi dalam pembangunan bermakna
bahwa setiap orang berhak berpartisipasi berkontribusi, dan menikmati
pembangunan dalam semua aspek baik itu sipil, ekonomi, sosial, budaya, dan
politik. Ia juga berarti bahwa semua orang berhak berpartisipasi di dalam
masyarakat semaksimal potensi yang mereka miliki (Ljungman, 2004). Berkaitan
dengan penganut aliran kepercayaan, pemerintah dalam membuat regulasi atau
keputusan juga haruslah memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat penganut
aliran kepercayaan seperti partisipasi untuk menyampaikan aspirasi dalam
pembentukan UU / Perda, termasuk kelak dalam pembentukan UU khusus terkait
dengan perlindungan dan pemenuhan hak penghayat aliran kepercayaan, partisipasi
masyarakat penghayat aliran kepercayaan sangatlah diperlukan sehingga konsep
meaningfull participation dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat
tercermin dengan baik. Selain partisipasi dalam hal pembentukan peraturan
perundang-undangan, pemerintah juga harus dapat menjamin partisipasi masyarakat
penghayat aliran kepercayaan dalam bidang sipil, ekonomi, sosial, budaya, dan
politik.
6. Pemberdayaan (empowerment)
Pembangunan pada dasarnya bertujuan
memperbaiki kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Implikasinya, aspek
pemberdayaan seharusnya menjadi tema sentral dalam dokumen pembangunan.
Deklarasi Kopenhagen mendefinisikan pemberdayaan sebagai usaha untuk memperkuat
kapasitas diri dan karenanya menuntut adanya partisipasi penuh dari masyarakat
dalam formulasi, implementasi, dan evaluasi dari keputusan-keputusan yang
menentukan kesejahteraan seluruh masyarakat. Meski definisinya sangat beragam,
pengertian pemberdayaan secara umum mengerucut pada usaha atau proses untuk
mengatasi ketimpangan struktural yang memengaruhi kelompok-kelompok sosial,
mengimbangi kekuasaan dan meningkatkan kontrol atas pengambilan keputusan dan
sumber daya yang menentukan kualitas hidup individu. Pemberdayaan merupakan
bagian penting yang tak terpisahkan dalam proses dan output pembangunan.
(Mukhopadhyay,
2004). Berkaitan dengan tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak warga negara
penganut aliran kepercayaan, negara berkewajiban juga untuk dapat memberikan
pemberdayaan dengan meningkatkan kapasitas dan kualitas diri seluruh warga
negara tak terkecuali termasuk bagi penganut aliran kepercayaan. Salah satu
cara pemerintah sebagai instrumen negara untuk mengatasi ketimpangan dan
mengembangkan kapasitas dan kualitas diri masyarakat yakni melalui pendidikan,
sehingga setiap masyarakat tetap harus bisa mendapatkan akses pendidikan yang
memadai tanpa adanya diskriminasi dan pembatasan hak. Termasuk dalam hal
pembinaan atas keyakinan bagi anak-anak pengahayat aliran kepercayaan,
masyarakat tetap harus menyediakan pembinaan sehingga tidak adanya ketimpangan
yang dirasakan pada dunia pendidikan.
7. Transparansi dan akuntabilitas
Prinsip
akuntabilitas diturunkan dari fakta bahwa hak menuntut adanya kewajiban dan
kewajiban membutuhkan akuntabilitas (Ljungman, 2004). Di samping itu,
akuntabilitas mengharuskan adanya transparansi dan cara untuk menghadapi dan
memulihkan keputusan dan kegiatan negatif yang mempengaruhi hak (Ljungman,
2004). Begitupun tindakan pemerintah dalam membuat sebuah regulasi atau
keputusan dalam hal pemenuhan hak-hak masyarakat penganut aliran kepercayaan,
pemerintah sebagai instrumen negara harus lah selalu mengedepankan prinsip
akuntabilitas dengan cara bertanggung jawab atas segala kebijakan yang
dikeluarkan dan memiliki dampak terhadap
masyarakat, bekerja sama dengan menyediakan informasi, melakukan proses yang
transparan dengan mendengarkan suara masyarakat, dan harus dapat bersikap
responsif terhadap segala permasalahan yang dialami oleh segenap masyarakat
baik penganut agama maupun penganut aliran kepercayaan tanpa adanya pembedaan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal, Makalah,
Internet
Airin Liemanto Muhammad Dahlan,
‘PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK KONSTITUSIONAL PARA PENGANUT AGAMA-AGAMA LOKAL DI
INDONESIA’ (2017) Arena Hukum.
Amiruddin dan
Zainal Asikin. Pengantar Penelitian Hukum.
(Jakarta, Radja Grafindo Persada, 2018).
Andrey
Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas
Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor Leste dan Lainnya (Jakarta:
Grasindo Gramedia Widiasarana Indonesia).
Balakrishnan, R, Elson, D. 2008. Auditing
economic policy in the light of obligations on economic and social rights.
Essex Human Rights Review Vol. 5 No.1.
BBC News,
”KTP untuk Penghayat Kepercayaan Masih Tersandung Masalah Administrasi”, https://www.bbc. com/indonesia/indonesia-47331334,
(diakses tanggal 3 Oktober
2023).
Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif (Bandung:
Nusa Media, 2008).
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama
Bagian I (Pendekatan Budaya terhadap Aliran Kepercayaan, Agama Hindu, Buddha,
Kong Hu Cu, di Indonesia), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993).
Hingorani, Modern International Law, second
edition ed (Oceana Publications, 1984)
John Rawls, A Theory Of Justice (Theory Keadilan) (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006).
Ljungman, Cecilia M. 2004. “A RightsBased
Approach to Development,” in Cecilia M. Ljungman, Britha Mikkelsen’s
forthcoming Methods for Development Work and Research: A New Guide for
Practitioners, 2nd ed. New Delhi: Sage Publications.
Lukman Hakim Saefuddin, Indonesia adalah
Negara Agamis: Merumuskan Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Pancasila,
Makalah untuk “Kongres Pancasila” yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di Yogyakarta, 30
Mei - 1 Juni 2009.
Malcolm N
Shaw, International Law, 6th Edition, ,
New York, (selanjutnya disingkat Malcolm N. Shaw II) (New York: Cambridge
University Press, 2008)
Mukhopadhyay, Maitrayee. 2004. Rights
BasedApproaches in Development: Issue Paper, diakses di
http://www.equalinrights. org/uploads/tx_wizzresources/
Mukhopadhyay_nodate_RBA_ Development_IssuePaper.pdf
Muwaffiq
Jufri, “Pembatasan terhadap Hak dan Kebebasan Beragama di Indonesia”, Jurnal
Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 1. No. 1, Februari 2016.
Muwaffiq
Jufri, “Analisis Putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor 69/Pid.B/2012/PN.spg.
Prespektif Hak dan Kebebasan Beragama di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 1. No. 2, Desemeber 2016.
Ria Asmi Carsi, 2013. Inkonsistensi
Perlindungan Hukum Bagi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
Jurnal Keadilan Sosial,Edisi III.
Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2000).
Sri Soemantri
Martosoewignjo, Prosedur dan Sistem
Perubahan Konstitusi, Bandung: PT. Alumni, 2006
UNDP. (2003). Poverty Reduction and Human
Rights – Practice Note.
Uvin, Peter. 2004. Human Rights and
Development. Kumarian Press. Bloomfiel USA.
Wulan Ramadhani Iftitah, Tanggung Jawab
Negara Dalam Pemenuhan Hak Hak Penganut Aliran Kepercayaan, Volume 2 Nomor 2,
Mei 2022.
Peraturan
Perundang-undangan, Putusan, Perjanjian Internasional
UUD NRI 1945
Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Putusan MK Nomor
97/PUU-XIV/2016
Surat Edaran Direktur Jenderal Kependudukan dan
Pencatatan Sipil No. 471.14/10666/Dukcapil tentang penerbitan Kartu Keluarga
bagi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Universal Declaration of Human
Rights (UDHR)
International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR)
[1] Sri
Soemantri Martosoewignjo, Prosedur dan
Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: PT. Alumni, 2006, hlm. 60
[2] Muwaffiq
Jufri, “Pembatasan terhadap Hak dan Kebebasan Beragama di Indonesia”, Jurnal
Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 1. No. 1, Februari 2016,
hlm.40
[3] Muwaffiq
Jufri, “Analisis Putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor 69/Pid.B/2012/PN.spg.
Prespektif Hak dan Kebebasan Beragama di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 1. No. 2, Desemeber 2016, hlm. 103
[4] Pasal 29
ayat (2) UUD NRI 1945
[5] Pasal 18 Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
[6] Pasal 18 International
Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR)
[7] Wulan
Ramadhani Iftitah, Tanggung Jawab Negara Dalam Pemenuhan Hak Hak Penganut
Aliran Kepercayaan, Volume 2 Nomor 2, Mei 2022, hlm. 84.
[8] Ibid.
[9] Ibid, hlm
85-86.
[10] Surat
Edaran Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil No.
471.14/10666/Dukcapil tentang penerbitan Kartu Keluarga bagi penghayat
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
[11] BBC News, ”KTP untuk Penghayat Kepercayaan Masih Tersandung Masalah Administrasi”, https://www.bbc. com/indonesia/indonesia-47331334, (diakses tanggal 3 Oktober 2023).
[12] Wulan
Ramadhani Iftitah, Op.cit, hlm. 89.
[13] Malcolm N
Shaw, Loc.cit.
[14] Wulan Ramadhani Iftitah, Loc.cit.
[15] John Rawls,
Loc.cit
[1] Airin Liemanto Muhammad Dahlan,
‘PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK KONSTITUSIONAL PARA PENGANUT AGAMA-AGAMA LOKAL DI
INDONESIA’ (2017) 10 Arena Hukum.[20-39].
[2] Ria Asmi Carsi, 2013.
Inkonsistensi Perlindungan Hukum Bagi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, Jurnal Keadilan Sosial,Edisi III, Hlm. 39-40.
[3] Lukman Hakim Saefuddin, Indonesia
adalah Negara Agamis: Merumuskan Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif
Pancasila, Makalah untuk “Kongres Pancasila” yang diselenggarakan oleh
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
di Yogyakarta, 30 Mei - 1 Juni 2009, Hlm 4.
[4] Hilman Hadikusuma, Antropologi
Agama Bagian I (Pendekatan Budaya terhadap Aliran Kepercayaan, Agama Hindu,
Buddha, Kong Hu Cu, di Indonesia), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm.
98-147.
[5] Putusan MK Nomor
97/PUU-XIV/2016.hlm. 5-7.
[6] Putusan MK No.97/PUU-XIV/2016
[7] Pasal 28 I ayat (4) UUD NRI 1945
Komentar
Posting Komentar