Perkembangan Teknologi dalam Dunia Hukum : Telaah Konsep Panopticon sebagai Model Pendisiplinan Masyarakat

      Oleh : Eduard Awang Maha Putra


          Perkembangan teknologi yang melesat begitu pesat memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi masyarakat. Bahkan suka ataupun tidak suka, kemajuan teknologi tetap akan masuk dalam ranah kehidupan manusia sehingga hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh elemen baik pemerintah, masyarakat, maupun instansi lainnya. Perkembangan teknologipun dapat mengubah tingkah laku dan pola pikir manusia, sepertinya hadirnya teknologi pengawasan berupa Close Circuit Television atau disingkat CCTV yang dapat memantau segala situasi dan kondisi diwilayah pemasangannya bahkan mempengaruhi tindakan orang-orang yang beraktivitas di wilayah tersebut.

Pengawasan dengan CCTV ini sejatinya merupakan implementasi dari konsep panoptikon yang digagas oleh Michel Foucault  yang tertuang dalam bukunya yang berjudul Dicipline and Punish: The Birth of Prison’’.[1] Konsep panoptikon dirumuskan pertama kali oleh Jeremy Bentham pada tahun 1787 dalam serangkaian surat yang terbit sebagai Panopticon; or the Inspection-house. Konsep panopticon yang digagas Bentham pada awalnya adalah konsep bangunan penjara besar besar bertekstur bulat melingkar. Di sisi-sisi lingkaran bangunan terdapat kamar-kamar. Dibagian tengahnya terdapat sebuah menara pengawas. Dari menara bisa melihat ke segala arah, khususnya ke kamar-kamar tahanan yang terdapat di ujung lingkaran bangunan. Setiap kamar terdapat dua buah jendela berukuran besar, satu menghadap ke menara pengawas dan satu lagi menghadap ke luar yang berfungsi sebagai penerus cahaya. Sedangkan untuk penerangan malam hari, lampu ditata sedemikian rupa sehingga memiliki fungsi ganda, sebagai penerang bagi para tahanan dan sekaligus memudahkan para pengawas di dalamnya.[2]

Konsep desain penjara yang dirancang oleh Bentham ini memungkinan seorang pengawas untuk mengawasi (-opticon) semua gerak-gerik tahanan (-pan), tanpa tahanan itu bisa mengetahui apakah mereka sedang diamati.[3] Sehingga para narapidana sesungguhnya diposisikan hanya sebagai obyek informasi dan tidak pernah menjadi subyek komunikasi timbal balik. Oleh karena itu, konsep Panoptikon ini menyampaikan apa yang oleh seorang arsitek disebut sentimen kemahatahuan yang tidak terlihat. Panoptikon oleh Bentham dimaksudkan sebagai model penjara yang lebih murah dibandingkan penjara lain pada masanya, karena hanya membutuhkan sedikit staf untuk menjaga dan mengawasi para tahanan.[4]

Sebagaimana panoptikon, terdapat pula pola pengawasan yang mirip dengan panoptikon. Hal ini dapat ditemukan pada model pertama sistem isolasi yang diawasi di asrama-asrama Sekolah Militer di Paris tahun 1751. Secara fisik sistem isolasi di asrama-asrama itu lebih ekstrim dibandingkan panoptikon. Setiap penghuni asrama yang melakukan kesalahan dihukum dengan cara dimasukan dalam sel kaca, diawasi siang malam tanpa boleh melakukan kontak dengan teman-temannya, apalagi dengan masyarakat umum. Para tukang cukur yang hendak mencukur rambut para tahanan tidak diperkenankan menyentuh secara fisik. Kepala tahanan hanya dikeluarkan melalui sebuah lubang kecil, sementara seluruh fisiknya tetap berada dalam ruang tahanan. Ruang tahanan yang terbuat dari kaca itu sangat transparan, sehingga memudahkan para pengawas melihat dari jarak jauh segala gerak gerik para tahanan di dalamnya.[5]

Mekanisme pengawasan panoptikon Jeremy Bentham inilah yang menjadi inspirasi utama bagi Michel Foucault untuk memahami cara kerja teknologi kekuasaan. Focault belajar dari Bentham bagaimana hubungan antara mekanisme panoptikon dengan cara kerja teknologi kekuasaan. Cara-cara Bentham menjelaskan operasi teknologi kekuasaan seakan menyadarkan Focault bahwa kekuasaan itu sama sekali tidak identik dengan raja pada sistem monarki. Kekuasaan justru tersebar dalam dalam diri setiap individu. Ia merasuki tatanan dan sistem, lalu sistem dan tatanan itu memaksa individu untuk mengikutinya, sehingga individu akan menguasai dan menaklukkan dirinya sendiri, bukan orang lain. Oleh karena itu, mekanisme panoptikon menurut Focault tidak lain supaya kuasa dapat berfungsi secara mekanik dan otomatis. Individu-individu atau para narapidana yang tinggal dalam setiap sel pengawasan akan menyadari bahwa dirinya terus menerus dipantau dan diawasi. Para individu dengan sendirinya akan menaruh beban pada dirinya sendiri untuk bertindak sesuai dengan apa yang dia kehendaki, dengan atau tanpa pengawasan.

Pada perkembangannya kemudian, konsep panoptikon tidak lagi sekedar desain arsitektur, namun ia menjadi suatu model pengawasan dan pendisiplinan masyarakat, terlebih dengan kemajuan teknologi membuat konsep panopticon hadir sebagai salah satu model pengawasan modern. Salah satu contoh penerapan konsep panoptikon dewasa ini seperti yang telah disampaikan sebelumnya yakni hadirnya teknologi kamera pengawas berupa Close Circuit Television atau CCTV.

Dengan adanya kamera pengawas, konsep panoptikon tidak lagi terbatas pada lingkungan seperti penjara, rumah sakit, atau sekolah, melainkan dapat diterapkan pada masyarakat secara luas. CCTV berfungsi sebagai pengganti menara pengawas dalam sistem panoptikon klasik, yang memungkinkan pemantauan perilaku, gerakan, dan penertiban masyarakat secara efektif. Dalam konteks ini, CCTV sepenuhnya memenuhi prinsip Panoptikon, di mana ia menjadi perpanjangan mata aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat. Teknologi ini berperan sebagai sarana pengawasan jarak jauh, yang memudahkan aparat dalam menjalankan tugasnya. Dengan adanya CCTV, petugas tidak perlu hadir langsung di lapangan untuk melakukan pengawasan secara berkala, cukup dengan memasang sejumlah kamera, sistem pengawasan (surveillance) yang efisien dapat terbentuk.[6]

Negara-negara di dunia telah gencar menggunakan kamera pengawas untuk mengawasi masyarakat. Seperti Amerika Serikat, pasca serangan terorisme yang meruntuhkan Gedung World Trade Center (WTC) di New York pada tanggal 11 September 2001, lembaga survei pasar IMS Research memperkirakan lebih dari 30 juta kamera surveillance terjual di Amerika Serikat dalam satu dasawarsa terakhir.[7] Sedangkan di China, pada tahun 2017 lebih dari 20 juta kamera dipasang di seluruh penjuru negeri China. Namun sumber lain menunjukkan angka yang jauh lebih besar. Menurut laporan IHS Markit Technology, pada tahun 2018 China telah memasang 349 juta kamera pemantau, suatu jumlah yang lebih banyak lima kali lipat dari yang dimiliki oleh Amerika Serikat.[8] Tak hanya di Amerika Serikat dan China saja, dewasa ini sudah banyak kota-kota di Indonesia yang telah memasang CCTV baik di persimpangan jalan, jalan-jalan sentral, dan beberapa jalan-jalan umum yang rawan terjadinya pelanggaran lalu lintas maupun tindakan kriminal. Seperti Pemerintah Kota Semarang, pada tahun 2019 telah memasang 10.293 unit CCTV, bahkan pada tahun 2022 telah menambah 8.734 kamera CCTV di setiap Rukun Tetangga (RT).[9] Contoh kota lain di Indonesia yakni Pemerintah Kota Makassar, pada tahun 2023 telah dipasang 4.284 unit CCTV.[10]   

Pemasangan CCTV saat ini mulai menggunakan konsep Internet of Things (IoT) pada pelaksanaanya. IoT sendiri merupakan sebuah konsep untuk memperluas manfaat dari konektivitas internet yang tersambung secara terus menerus.[11] IoT memungkinan untuk menghubungkan mesin, peralatan, dan benda fisik lainnya dengan sensor jaringan dan aktuator untuk memperoleh data dan mengelola kinerjanya sendiri, sehingga memungkinkan mesin untuk berkolaborasi dan bahkan bertindak berdasarkan informasi baru yang diperoleh secara independen.[12]

CCTV yang terpasang di sepanjang jalan, di rumah, ataupun gedung dihubungkan dengan koneksi internet dan disatukan di ruang kontrol yang disebut dengan TMC (Traffic Management Center) yang jaraknya mungkin puluhan kilometer atau sebuah rumah cerdas yang dapat diatur melalui smartphone dengan bantuan koneksi internet. Pada dasarnya perangkat IoT terdiri dari sensor sebagai media pengumpul data, sambungan internet sebagai media komunikasi dan server sebagai pengumpul informasi yang diterima sensor dan untuk analisa. Cara kerja Internet of Things yaitu dengan memanfaatkan sebuah argumentasi pemrograman yang dimana tiap-tiap perintah argumennya itu menghasilkan sebuah interaksi antara sesama mesin yang terhubung secara otomatis tanpa campur tangan manusia dan dalam jarak berapa pun. Internet lah yang menjadi penghubung di antara kedua interaksi mesin tersebut, sementara manusia hanya bertugas sebagai pengatur dan pengawas bekerjanya alat tersebut secara langsung.[13]

Selain pengawasan dengan menggunakan CCTV, terdapat juga teknologi-teknologi yang dapat melakukan pengawasan dengan menggunakan konsep panoptikon, teknologi tersebut yakni satelit. Pengawasan satelit merupakan isu yang juga menjadi sorotan dalam pengawasan terhadap masyarakat. Satelit merupakan benda langit yang beredar mengelilingi benda langit yang lebih besar (planet) yang berfungsi sebagai stasiun radio yang menerima dan memancarkan atau memancarkan kembali dan atau menerima, memproses dan memancarkan kembali sinyal komunikasi radio. Jenis satelit ada dua, yaitu satelit buatan dan satelit alami. Satelit alami merupakan satelit yang sudah ada di angkasa, sedangkan satelit buatan adalah satelit yang dibuat oleh manusia. Contohnya satelit Bulan yang merupakan satelit alami Bumi dan satelit Landsat merupakan satelit buatan Amerika Serikat.[14] Terdapat beberapa jenis satelit buatan manusia salah satunya ialah satelit pengintai. Satelit Pengintai (secara resmi disebut satelit pemantau) adalah sebuah satelit pemantau Bumi atau satelit komunikasi yang digelar untuk keperluan militer maupun intelijen. Satelit ini biasanya merupakan teleskop bintang yang diarahkan ke Bumi dan bukan ke arah bintang.[15]

 Pemerintah di seluruh dunia telah menggunakan citra satelit untuk memperoleh informasi dan mengawasi negara lain maupun masing-masing subyek individu. Sebagai contoh, Amerika Serikat bahkan sejak tahun 1955 telah memulai pengembangan sistem pengawasan satelit dengan mengembangkan satelit pengintaian pertama yang digunakan oleh Angkatan Udara bernama Corona. Operasi Corona dimulai pada tahun 1960 dan berakhir pada tahun 1972. Angkatan Udara Amerika Serikat mengirim Corona ke orbit dan mengambil gambar pengembangan senjata Uni Soviet dan hasil gambarnya ditaruh pada tabung film foto yang akan jatuh kembali ke bumi.[16]

Pemerintah Amerika Serikat bahkan tidak pernah menyampaikan pengembangan dan peluncuran program Corona kepada warganya sampai dengan tahun 1978. Seiring berkembangnya teknologi semenjak telah dibuatnya satelit pengintai pertama pada tahun 1955, kemampuan resolusi citra satelit pada tahun 1970 sampai dengan 2016 telah meningkat 20 kali lipat. Pada tahun 2019, dunia menyaksikan satelit Carstosat-3 yang milik Organisasi Penelitian Luar Angkasa India memiliki resolusi delapan kali ukuran layer ponsel pada umumnya.Layar ponsel pada umumnya saat ini memiliki dimensi sekitar 3 – 6,5 inci, sedangkan satelit Cartosat-3 memiliki resolusi sekitar 24 – 49 inci atau 60 – 121, 92 cm.[17]

Pada tanggal 13 Agustus 2019, mantan Presiden Donald Trump memposting tweet yang membahas tentang kecelakaan dahsyat yang terjadi di lokasi peluncuran satelit di Iran. Tweet tersebut disertai dengan gambaran citra satelit yang yang diambil dari salah satu satelit pengintai Amerika Serikat.[18] Tweet tersebut sebagai contoh bahwa melalui satelit negara lain pun dapat mengawasi gerak – gerik negara lain tanpa disadari. Contoh lainnya pengawasan satelit yakni otoritas Spanyol yang telah menggunakan citra satelit untuk menginformasikan kepada pihak berwenang di Negara Mauritania bahwa terdapat imigran yang telah meninggalkan Mauritania.[19] Adapun di Negara Brazil, pihak berwenang menggunakan citra satelit untuk menyelidiki wilayah yang telah dilanda tsunami, begitu pihak berwenang Brazil sampai di sana, mereka menemukan orang-orang yang secara illegal memproduksi arang di daerah itu dan mulai menangkap orang-orang tersebut.[20] Contoh-contoh ini menunjukkan seberapa banyak informasi yang bisa diperoleh seseorang dari citra satelit.

Selain CCTV dan juga satelit , terdapat juga teknologi pengawasan yang dinamakan drone atau dapat dikatakan juga sistem pesawat udara tanpa awak (unmanned aerial systems). Adapun drone atau sistem pesawat udara tanpa awak adalah sebuah mesin terbang yang berfungsi dengan kendali jarak jauh oleh penerbang (pilot) atau mampu mengendalikan dirinya sendiri dengan menggunakan hukum aerodinamika. Seiring dengan kemajuan zaman, drone menjadi semakin mudah diakses yang mendorong peningkatan atas penggunaan drone oleh berbagai kalangan. Federasi Administrasi Aviasi (FAA) Amerika Serikat mencatat terdapat satu milyar unit drone yang terdaftar pada tahun 2019.[21]

Subyek pengguna drone terbagi dalam masyarakat umum (perseorangan, sekelompok orang, organisasi atau komunitas hobi) dan instansi pemerintah. Hal ini berhubungan dengan tujuan dan fungsi drone. Drone yang digunakan oleh masyarakat umum berupa drone yang bersifat rekreasional dan komersial.[22] Sedangkan drone yang digunakan oleh Negara melingkupi keperluan militer dan sipil. Dalam lingkup militer, drone dapat digunakan dalam pertempuran (combat) dan misi pengintaian pada medan perang (reconnaissance mission). Sedangkan dalam lingkup sipil, drone dapat digunakan pada dukungan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan seperti respons manajemen bencana, membantu aktivitas patroli kepolisian, pemetaan daerah (mapping), kegiatan pertanian, pengawasan terhadap masyarakat (surveillance) dan berbagai macam kegiatan serupa lainnya. [23]

Salah satu keunggulan utama drone adalah kemampuannya untuk mencapai area yang sulit dijangkau oleh manusia. Dalam situasi-situasi yang berbahaya atau sulit dijangkau, seperti bencana alam atau area yang terisolasi, drone dapat dikirim untuk mendapatkan informasi secara real-time. Drone dilengkapi dengan kamera dan sensor yang dapat merekam gambar, video, dan data lainnya secara akurat. Drone dapat digunakan dalam keamanan dan pengawasan wilayah. Mereka dapat melakukan patroli udara untuk mendeteksi aktivitas yang mencurigakan, memonitor batas perbatasan, atau membantu dalam operasi penegakan hukum.[24] Penggunaan drone merupakan contoh penerapan konsep panoptikon juga sebab petugas pun dapat memantau situasi yang sedang terjadi tanpa harus berada di tempat yang berisiko atau sulit dijangkau. Sehingga dalam hal ini masyarakat pun dapat selalu merasa terawasi atau dipantau.

Perkembangan teknologi yang semakin pesat pun saat ini telah melahirkan mesin kecerdasan buatan (Artificial Intelliegence) atau AI sehingga terciptanya era disrupsi yang tak terelakan lagi menjadi fenomena yang harus dihadapi oleh masyarakat. AI hadir sebagai cabang ilmu dari Computer Science yang dirancang untuk mampu menirukan kemampuan intelektual manusia. Cara kerja AI memungkinkan dapat mengidentifikasikan pola, membuat keputusan, dan menyelesaikan tugas-tugas yang kompleks dengan efisien dan cepat.[25]

Pengawasan terhadap masyarakat dengan konsep panoptikon saat ini juga telah mulai menggunakan AI untuk mendeteksi, menganalisis, dan mengatasi berbagai ancaman yang dapat terjadi. Setidaknya sudah ada 75 negara dari 176 negara di seluruh dunia yang menggunakan teknologi AI untuk tujuan pengawasan dalam berbagai bidang.[26] Sebagai contoh dalam bidang transportasi, AI telah menjadi salah satu alat untuk mengawasi keamanan masyarakat. Pengawasan keamanan menggunakan AI dalam sektor transportasi dapat dijelaskan sebagai berikut:[27]

1. Deteksi dan Pengenalan Objek

Sistem pengawasan keamanan berbasis teknologi AI digunakan untuk mendeteksi dan mengenali objek-objek yang mencurigakan atau berpotensi membahayakan, seperti tas yang ditinggalkan di kendaraan, peralatan yang tampak mencurigakan, maupun perilaku anomali individu di area publik atau kendaraan. Teknologi ini memungkinkan identifikasi cepat terhadap ancaman dengan analisis otomatis, sehingga respons terhadap potensi bahaya dapat dilakukan lebih efisien dan tepat waktu.

 2. Analisis Visual

Sistem AI memanfaatkan pemrosesan gambar dan analisis visual untuk menganalisis rekaman video dari berbagai kamera pengawasan, seperti CCTV dan kamera kendaraan, guna mendeteksi kejadian atau perilaku mencurigakan. Analisis ini mencakup deteksi gerakan yang tidak biasa, identifikasi wajah individu, serta pemberian peringatan terhadap aktivitas yang dianggap tidak wajar. Dengan demikian, AI dapat meningkatkan efektivitas pengawasan dan mempercepat respons terhadap potensi ancaman atau tindakan yang mencurigakan.

3. Deteksi Kejadian Darurat

Sistem AI dapat dilengkapi dengan algoritma deteksi kejadian darurat, seperti kecelakaan lalu lintas, kebakaran, atau insiden lainnya. Dengan memanfaatkan analisis data sensor dan visual secara real-time, sistem ini mampu mendeteksi secara otomatis kejadian darurat dan segera mengirimkan peringatan kepada operator atau otoritas terkait. Hal ini memungkinkan tindakan cepat dan tepat untuk mengurangi dampak dari kejadian tersebut, sekaligus meningkatkan respons dalam situasi kritis..

4. Penggunaan Sensor Terhubung

Sistem pengawasan keamanan dapat memanfaatkan data dari sensor-sensor yang terhubung pada kendaraan atau infrastruktur jalan untuk mendeteksi anomali atau kejadian yang tidak biasa. Sensor-sensor ini meliputi sensor getaran, sensor kecepatan, sensor tabrakan, dan berbagai sensor lainnya yang mampu menyediakan informasi penting terkait situasi keamanan. Dengan menganalisis data dari sensor tersebut, sistem dapat mengidentifikasi potensi risiko atau insiden secara cepat, sehingga memungkinkan respons yang lebih efektif dalam menjaga keselamatan di area lalu lintas atau publik.

5. Analisis Data Besar (Big Data)

Sistem kecerdasan buatan (AI) dalam pengawasan keamanan mampu melakukan analisis terhadap data berskala besar yang diperoleh dari beragam sumber, seperti data sensor, media sosial, data perjalanan, serta data lainnya. Melalui analisis ini, sistem AI dapat mengidentifikasi pola atau tren yang berpotensi menunjukkan ancaman keamanan, termasuk pemodelan dinamika pergerakan massa, analisis sentimen publik, atau pengelompokan perilaku yang mencurigakan.

6. Respons dan Tindakan Cepat

Sistem kecerdasan buatan (AI) dapat merespons ancaman keamanan secara cepat dengan mengirimkan peringatan otomatis kepada operator keamanan, otoritas terkait, atau sistem alarm yang terintegrasi. Selain itu, sistem ini mampu memberikan rekomendasi tindakan yang sesuai berdasarkan hasil analisis data dan informasi yang telah dikumpulkan. Penggunaan AI dalam pengawasan keamanan di sektor transportasi bertujuan untuk meningkatkan keselamatan penumpang, mencegah insiden yang tidak diinginkan, serta memberikan respons yang cepat terhadap ancaman atau kejadian keamanan. Dengan kemampuan analitik AI, sistem ini mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasional.

Kehadiran AI saat ini dapat membantu aparat penegak hukum dalam hal ini aparat kepolisian untuk dapat menindak masyarakat yang melakukan pelanggaran lalu lintas. Salah satu contoh penindakan yang dilakukan dengan menggunakan AI yakni melaui sistem Electronic Bukti Pelanggaran (E-Tilang). Sistem E-Tilang ini diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas. Sistem E-Tilang menggantikan sistem tilang manual yang menggunakan blangko/surat tilang, dimana pengendara yang melanggar lalu lintas dan terekam oleh kamera pengawas akan langsung tercatat melalui aplikasi kecerdasan buatan yang dimiliki aparat penegak hukum dan akan mendapatkan sanksi penilangan.[28] Hal ini membuat masyarakat secara tidak langsung akan merasa diawasi dan otomatis akan berlaku disiplin dikarenakan adanya rasa takut apabila melanggar akan terekam oleh CCTV dan nantinya dikenakan sanksi tilang oleh aparat.

Penerapan konsep panoptikon dengan menggunakan teknologi – teknologi di atas lebih banyak mempengaruhi unsur psikologis masyarakat, sebab untuk mengawasi dan mengatur pola keteraturan masyarakat dalam beraktivitas memang diperlukan cara-cara yang langsung memberikan dampak atau efek besar terhadap psikis seseorang karena hal ini membuat gerak-gerik masyarakat tersebut merasa diawasi secara terus-menerus selama berada di dalam jangkauan alat pengawas sehingga hal ini menciptakan kesadaran untuk bertindak disiplin sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku.

Meskipun terdapat kemajuan pesat dalam teknologi pengawasan berbasis kecerdasan buatan (AI), terdapat contoh penerapan yang kontroversial, seperti di Tiongkok, di mana penggunaan AI dalam bidang pengawasan dan keamanan publik dinilai terlalu dipaksakan. Pemerintah Tiongkok secara terbuka menunjukkan pendekatan otoritarian dalam implementasi AI ini, terlihat jelas di Provinsi Xinjiang, yang dijadikan sebagai area uji coba teknologi inovatif untuk tujuan kontrol sosial.[29] Xinjiang merupakan wilayah dengan mayoritas penduduk dari etnis minoritas Uighur yang beragama Islam. Dengan menggunakan teknologi face recognition [30], natural language processing [31], dan genetic profiling [32] pemrosesan bahasa alami (natural language processing), dan profil genetik (genetic profiling) memungkinkan pemerintah Tiongkok untuk memantau penduduk Xinjiang baik secara terbuka maupun secara rahasia. Lebih dari satu juta orang dari etnis Uighur dilaporkan ditempatkan di kamp-kamp "edukasi politik." Sebagian besar dari mereka ditahan atas dasar tindakan-tindakan yang dianggap melanggar hukum di Tiongkok.[33]

Dalam waktu dekat, pemerintah Tiongkok berencana agar setiap individu yang memasuki ruang publik dapat diidentifikasi secara instan melalui teknologi pengenalan wajah, yang datanya akan dicocokkan dengan basis data yang ada. Basis data ini mencakup informasi pribadi seperti percakapan di media sosial dan profil protein tubuh. Dalam waktu singkat, algoritma akan dapat terhubung dengan kumpulan data pribadi yang luas untuk menganalisis dan memprediksi potensi kecenderungan resistensi politik warga negara. Informasi ini dapat diperoleh dari jaringan koneksi sosial individu, bahan bacaan, riwayat pembelian dan konsumsi, serta pola pergerakan mereka.[34] Teknologi ini dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mendeteksi dan mencegah potensi kekacauan politik sejak dini. Xi Jinping bertujuan menggunakan AI untuk membangun sistem kontrol sosial digital, di mana algoritma secara otomatis memantau dan mengidentifikasi individu yang dianggap sebagai ancaman atau pemberontak. Pengawasan berbasis AI diperkirakan akan terus meluas dan sulit dibendung. Jika AI dikuasai oleh rezim yang represif, teknologi ini dapat digunakan untuk menargetkan kelompok-kelompok tertentu, seperti pihak oposisi pemerintah, sebagaimana yang terlihat di Tiongkok.[35]

 

    Lampiran-Lampiran



Gambar 1.1 Konsep Desain Panoptikon Jeremy Bentham (1793)

         Gambar 1.2 Citra satelit dengan resolusi 10 cm dari peluncuran satelit Iran yang gagal



[1] Michel Foucault, translation. Alan Sheridan, Discipline, and Punish: The Birth of The Prison (New York: Vintage, 1995), hlm. 195.

[2] Damiannus J. Hali, Belajar dari Mekanisme Panoptikon, Jurnal Hukum Pro Justitia, Volume 24 No. 2, April 2006, hlm. 121.

[3] Muhammad Yusya Azhari dan Kristiyadi, Telaah Close Circuit Televesion dalam Konsepsi Panopticon dan Bewijsvoering pada E-Tilang, Jurnal Verstek Vol. 10 No.1 (Januari-April 2022), hlm. 79

[4] Fadillah D. Eldija, Faizah Mastutie, 2016. Panoptic Architecture. Sulawesi Utara: Universitas Sam Ratulangi.

[5] Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and OtherWritings, 1972-1977, Colin Gordon (ed.), New York: Books.

[6] Muhammad Yusya Azhari dan Kristiyadi, Op.cit, hlm. 80

[7] Allison Linn, “Post 9/11, Surveillance Cameras Everywhere”, msnbc.com, 23 Agustus 2011, diakses pada 8 September 2024

[8] Gan, N. (2020) China is Installing Surveillance Cameras Outside People’s Front Doors and Sometimes Inside Their Homes. CNN Business (April). https://edition.cnn.com/2020/04/27/asia/cctv-cameras-china-hnk-intl/index.html.

[9] Pemerintah Kota Semarang, Diskominfo Mulai Pasang Tambahan Kamera CCTV di Setiap RT, Diskominfo Mulai Pasang Tambahan Kamera CCTV di Setiap RT, 05 agustus 2022, diakses pada 8 September 2024.

[10] Pemerintah Kota Makasar, Diskominfo Makassar Capai Target CCTV Longwis untuk Tahun 2023, 4.284 Unit Telah Rampung Terpasang, https://diskominfo.makassarkota.go.id/diskominfo-makassar-capai-target-pemasangan-cctv-longwis-untuk-tahun-2023-4-284-unit-cctv-telah-rampung-terpasang/#:~:text=Pemerintah%20Kota%20(Pemkot)%20Makassar%20melalui,Jumat%20(11%2F2023). 04 Januari 2024, diakses pada 6 September 2024.

[11] Panduardi, F., & Haq, E. S. (2016). Wireless Smart Home System Menggunakan Raspberry Pi. Jurnal Teknologi Informasi Dan Terapan, 3(1), 320–325.

[12] Yoyon Efendi, INTERNET OF THINGS (IOT) SISTEM PENGENDALIAN LAMPU MENGGUNAKAN RASPBERRY PI BERBASIS MOBILE, Jurnal Ilmiah Ilmu Komputer, Vol. 4, No. 1, April 2018, hlm. 20

[13] Ibid., hlm. 21

[14] Rumia Octavia dan Yusuf Fuad, ANALISIS KESTABILAN SISTEM DINAMIK SATELIT PENGAMAT BUMI, Jurnal Ilmiah Matematika, Volume 3 No.6 Tahun 2017, hlm. 159

[15] Wikipedia , https://id.wikipedia.org/wiki/Satelit_mata-mata

[16] Erickson, M. (2005). Into the Unknown Together: The DOD, NASA, and Early Spaceflight. Air University Press.

[17] Brandol Galicia, Protection or Privacy? An Analysis of Satellite Surveillance and Its Utilization, Department of Engineering and Society, Faculty of the School of Engineering and Applied Science University of Virginia, 2024, hlm. 7

[18] Wang, B. (2019, September 1). US Spy Satellites at Diffraction Limit for Resolution Since 1971. Next Big Future. https://www.nextbigfuture.com/2019/09/us-spy-satellites-at-diffraction-limitfor-resolution-since-197.

[19] MAURITANIA : « NOBODY WANTS TO HAVE ANYTHING TO DO WITH US» (AFR 38/001/2008). (2008). Amnesty. https://www.amnesty.org/en/documents/afr38/001/2008/en/

[20] Brandol Galicia, Op.Cit., hlm. 2

[21] United States Federal Aviation Administration, “UAS by the numbers”, https://www.fa.gov/uas/resources/by_the_numbers/ , diakses pada 7 September 2024

[22] Bernhard H. Sianipar, “Kebijakan Penggunaan dan Pengoperasian Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak”, dalam Euis Susilawati, et.al, Kajian Kebijakan dan Hukum Kerdigantaraan, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2015, hlm. 185.

[23] Royal Institute of Chartered Surveyors (RISCS), “Drones:applications and compliance for surveyors”, RICS Insight Paper, London, Mei 2019, hlm. 8

[24] Drone Adalah Alat Pemantauan dan Pengawasan yang Efisien, https://terra-drone.co.id/drone-adalah-alat-pemantauan-dan-pengawasan-yang-efisien/

[25] Widodo Dwi Putro, “Filsafat Hukum: Pergulatan Filsafat Barat, Filsafat Timur, Filsafat Islam, Pemikiran Hukum Indonesia hingga Metajuridika di Metaverse", (Jakarta: Kencana, 2024), hlm. 465

[26] Feldstein, S. (2019). The Global Expansion of AI Surveillance. Massachusetts: Carnegie Endowment for International Peace

[27] Muttaqin, et.al. Implementasi Artificial Intelligence (AI) dalam Kehidupan, Yayasan Kita Menulis, Langsa, hlm. 26

[28] Yudi Muhammad Irsan. “Perspektif Penerapan E-Tilang Dengan Menggunakan Rekaman CCTV (Clossed Circuit Television)”. Bandar Lampung: Universitas Lampung.2018. Hlm. 10

[29] Gan, N. (2020) China is Installing Surveillance Cameras Outside People’s Front Doors and Sometimes Inside Their Homes. CNN Business (April). https://edition.cnn.com/2020/04/27/asia/cctv-cameras-china-hnk-intl/index.html.

[30] Face recognition merupakan aplikasi biometrik software yang mampu mengidentifikasi atau memverifikasi wajah seseorang dengan citra digital. Biometrik ini membandingkan dan menganalisa pola berdasarkan bentuk wajah.

[31] Natural language processing adalah sebagai sebuah bidang teoritis mengenai suatu teknik komputasional yang digunakan untuk menganalisa dan merepresentasikan teks yang yang ditulis secara natural (bahasa manusia) pada satu atau lebih level analisis linguistik dengan tujuan untuk memperoleh human-like language processing yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang.

[32] Genetic profiling adalah teknik forensik dalam investigasi kriminal, yang membandingkan profil tersangka kriminal dengan bukti DNA untuk menilai kemungkinan keterlibatan mereka dalam kejahatan.

[33] Shen, O. (2020). AI Dreams and Authoritarian Nightmares. In Jane Golley, Linda Jaivin, Ben Hillman, Sharon Strange (eds.). China Dreams. ANU Press. https://www.jstor.org/stable/j.ctv12 sdxmk.17 (access 01.10.2020).

[34] Andersen, R. (2020). The Panopticon is Alredy Here. The Atlantic Daily (September). https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2020/09/china-ai-surveillance/614197/

[35] Michael Reskiantio Pabubung, Persoalan Privasi dan Degradasi Martabat Manusia dalam Pengawasan Berbasis Kecerdasan Buatan (AI), Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 7 No 2 Tahun 2024, hlm. 199-200.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAK MUDAH BUKAN BERARTI TAK MUNGKIN (BIOGRAFI)

JUDEX FACTIE DAN JUDEX JURIST DALAM SISTEM PERADILAN DAN PRAKTIKNYA DI INDONESIA