JUDEX FACTIE DAN JUDEX JURIST DALAM SISTEM PERADILAN DAN PRAKTIKNYA DI INDONESIA
Dalam
sistem peradilan di Indonesia dikenal tiga tingkatan pengadilan yakni
pengadilan tingkat pertama di pengadilan negeri, pengadilan tingkat banding di pengadilan
tinggi, dan pengadilan tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Untuk penyebutan tiga
tingkatan proses peradilan ini dikenal dua istilah yakni judex factie dan judex
jurist. Kedua istilah ini
berasal dari bahasa Latin yang dimana Judex
facti berarti “hakim-hakim (yang memeriksa) fakta”, sedangkan judex juris berarti “hakim-hakim (yang
memeriksa) hukum”.
Judex
factie merupakan hakim yang memeriksa fakta
persidangan, apakah dari fakta itu terbukti atau tidak perkara tersebut.
Sedangkan, judex jurist merupakan hakim yang memeriksa
penerapan hukum, apakah ada kekeliruan dalam penerapan hukum di
pengadilan judex factie. Dalam sistem peradilan di Indonesia, Pengadilan
Negeri adalah pengadilan pertama yang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara, dan bertindak sebagai judex
facti. Pengadilan Tinggi adalah pengadilan banding terhadap perkara yang
diputus oleh Pengadilan Negeri. Artinya, Pengadilan Tinggi memeriksa ulang
bukti-bukti dan fakta yang ada. Dengan ini, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi
kedua-duanya termasuk judex facti.
Sedangkan pada tingkat kasasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) adalah judex jurist yang dimana MA hanya
memeriksa penerapan hukum terhadap fakta yang sudah ditentukan/diputuskan
pengadilan judex factie. Pengadilan judex jurist di MA ini tidak memeriksa
fakta peristiwa hukum atau perbuatan hukum, tapi menilai benar atau tidaknya
penerapan hukum dalam putusan judex
factie.
Oleh
karena itu hakim – hakim dalam pengadilan negeri dan pengadilan tinggi sebagai judex facti yang memeriksa fakta dengan
hakim MA yang memeriksa penerapan hukum (judex
jurist) dalam kasasi harus bisa menentukan persoalan hukum atau biasa
disebut dengan pertanyaan hukum dalam mengadili perkara sesuai dengan tingkat
peradilan berdasarkan cara mengambil keputusan. Persoalan fakta atau pertanyaan
fakta merupakan persoalan mengenai benar
atau tidaknya suatu kejadian yang ditetapkan oleh hakim untuk mencapai putusan
dari perkara tersebut. Jika diaplikasikan dalam suatu perkara sederhana,
misalnya: A menggugat ganti rugi terhadap B karena keberadaan 2 pohon besar
yang berada di depan rumah B dengan cabangnya yang mengarah ke rumah A dianggap
telah menggangu kenyamanan A, maka pertanyaan fakta yang disampaikan hakim dalam
perkara ini adalah: apakah benar pihak tergugat yang menanam pohon di depan
rumah penggugat?. Sedangkan pertanyaan hukumnya adalah: apakah gugatan tersebut
dapat diajukan meski kerugian yang nyata (kerugian materil) belum terjadi?. Di
sinilah konsistensi putusan MA sebagai penjaga kesatuan penerapan hukum
diperlukan. Sebab, meski tiap perkara memiliki fakta yang berbeda-beda, namun
pertanyaan hukumnya sama. Pertanyaan hukum inilah yang harus dijawab oleh MA
secara konsisten agar terjadi keseragaman dalam penerapannya hingga tercapai
kepastian hukum.
Namun
dalam perkembangan dan praktiknya, pemeriksaan kasasi oleh MA terkadang tidak hanya memeriksa masalah penerapan hukum,
tetapi juga pemeriksaan kasasi oleh MA terkadang mengadili fakta yang telah
diperiksa pengadilan tingkat pertama dan banding, sehingga hal ini menyebabkan
MA menempatkan
dirinya sebagai pengadilan judex factie bukan pengadilan judex jurist . MA juga kerap mengubah
amar putusan dengan menambah atau mengurangi hukuman, hal ini dapat terlihat
dalam sejumlah putusan kasasi perkara pidana korupsi yang dimana MA menjatuhkan
hukuman lebih berat. Padahal, berat ringannya hukuman justru sangat tergantung
pada pemeriksaan fakta yang menjadi wewenang pengadilan tingkat bawah. Publik
bisa melihat contoh nyata nya yakni dalam putusan kasasi Nomor 144
PK/PID.SUS/2018 yang dimana Putusan kasasi yang diputuskan Mahkamah Agung
terhadap kasus tindak pidana korupsi dalam kasus ini yakni MA menjatuhkan pidana
penjara selama 4 (empat) tahun dengan sanksi lainnya yang dimana dalam putusan
Mahkamah Agung ini semakin memberatkan hukuman Terdakwa dan sekaligus putusan
kasasi dalam kasus ini membatalkan putusan dari Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi. Sehingga jika merujuk pada kasus seperti ini disadari atau
tidak hal ini telah menggeser tugas dan fungsi MA dari yang semula judex
jurist menjadi mencakup pula judex factie.
DAFTAR PUSTAKA
- Moh. Amir Hamzah, 2013, Hukum
Acara Perdata Peradilan Tingkat Banding
- Machmud Raschimi dkk,
2015, Kewenangan Mahkamah Agung Sebagai Judex Jurist Dalam
Menilai Fakta Untuk Mewujudkan Keadilan
- Sebastiaan Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah
Agung, (Jakarta:LeIP, 2012),
-
mahkamahagung.go.id
- http://repository.umsu.ac.id/handle/123456789/6655
Komentar
Posting Komentar