Penetapan Tarif Pajak Daerah Pasca Pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Oleh : Eduard Awang Maha Putra
Perubahan
Paradigma penyelenggaran pemerintahan daerah (otonomi daerah) di Indonesia dari
pola sentralisasi menjadi pola yang terdesentralisasi membawa konsekuensi
terhadap makin besarnya penyerahan wewenang dari pemerintah (pusat) kepada
pemerintah daerah disatu sisi, dan disisi lain pemerintah daerah memiliki
kewenangan yang besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
secara otonom. Salah satu pilar pokok otonomi daerah adalah kewenangan daerah
untuk mengelola secara mandiri keuangan daerahnya. Negara Indonesia sebagai
suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut kombinasi antara unsur
pengakuan kewenangan bagi daerah untuk mengelola secara mandiri keuangannya
dipadukan dengan unsur kewenangan melakukan transfer fiskal dan pengawasan
terhadap kebijakan fiskal daerah.[1]
Otonomi daerah dimaksudkan
untuk memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah otonom dalam mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat secara bertanggungjawab menurut
prakarsa sendiri serta berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Penerapan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 mengedepankan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
Otonomi luas berarti bahwa kepala daerah diberikan tugas, wewenang, hak dan
kewajiban, untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangani oleh
pemerintah pusat sehingga isi otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah memiliki
banyak ragam dan jenisnya. Daerah juga diberi keleluasaan untuk menangani
urusan pemerintahan yang diserahkan itu, dalam rangka mewujudkan tujuan
dibentuknya suatu daerah dan tujuan pemberian otonomi itu sendiri terutama
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan potensi dan
karakteristik masing-masing daerah.[2]
Pelaksanaan
otonomi daerah sejatinya seringkali ditemukan adanya tumpang tindihnya
kewenangan, antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat
selalu mempunyai keinginan untuk bersikap penuh terhadap kewenangan di dalam
segala bidang urusan pemerintahan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) telah
mencabut regulasi yang terdapat di dalam Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta Undang –
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
Salah satu hal
yang saat ini menjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
adalah pengaturan tarif pajak daerah pasca berlakunya UU HKPD. Sebelum
berlakunya UU HKPD, pengaturan mengenai Pengaturan
tarif pajak daerah diatur dalam Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, khususnya pada Bab IV pada Pasal 95 ayat (1)
yang menyatakan bahwa tarif pajak daerah sejatinya ditetapkan oleh Peraturan
Daerah.[3]
Namun sejak berlakunya UU HKPD, kewenangan penetapan tarif pajak daerah dan
retribusi daerah juga menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang berkoordinasi
dengan Pemerintah Daerah. Perubahan kewenangan di atas menyebabkan Pemerintah
Pusat dapat melakukan intervensi terhadap kebijakan fiskal yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah, khususnya dalam bidang penetapan tarif pajak
daerah dan retribusi daerah.
Adanya intervensi
dari Pemerintah Pusat dalam penetapan tarif pajak daerah menimbulkan kesan
bahwa daerah sudah kehilangan kemandiriannya sebagai daerah otonom dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahannya sendiri dan secara mandiri atau dalam kata lain tidak
mencerminkan sistem desentralisasi sesuai dengan Undang – Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, selanjutnya disebut dengan UU Pemda.
1. Hubungan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam Penetapan Tarif Pajak Daerah Pasca Berlakunya UU HKPD
Pada hakikatnya, pajak daerah menitikberatkan perannya menjadi
sarana sumber daya guna memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Hal
ini sejalan dengan fungsi utama pajak yaitu fungsi regulator dan fungsi
penerimaan. Eksistensi pajak dalam jangka waktu satu tahun harus ditentukan
seberapa besar jumlahnya, agar realisasi penerimaan pajak daerah dapat
diperoleh secara maksimal, sebab pada akhirnya pajak daerah akan menjadi
penyokong Pendapatan Asli Daerah (PAD) manakala realiasi penerimaan dapat
melampaui target yang telah dicanangkan. Selain pajak daerah, retribusi daerah
juga menjadi penyokong dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).[1]
Sebelum berlakunya UU HKPD, penetapan pajak daerah diatur
berdasarkan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah menyatakan
bahwa pajak daerah pada dasarnya ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah. Menurut
Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang –
Undangan (UU PPP), Peraturan Daerah sejatinya terbagi atas Peraturan Daerah
Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 1 angka 7 UU PPP menyatakan
bahwa Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang – undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan
Gubernur. Sementara, Pasal 1 angka 8 UU PPP menyatakan bahwa Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang – undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama
Bupati/Walikota.[2]
Sehingga pada
hakikatnya, Peraturan Daerah baik Peraturan Daerah Provinsi maupun Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota, keduanya merupakan produk hukum yang pembentukannya
dilakukan oleh Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah di Indonesia terdiri
atas dua unsur, yaitu Pemerintah Daerah (Kepala Daerah) dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD). Kepala Daerah di tingkat provinsi adalah Gubernur,
sedangkan Kepala Daerah di tingkat kabupaten/kota adalah Bupati/Walikota. Hal
tersebut sejalan dengan konsepsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), apabila
di tingkat Provinsi disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Provinsi, sedangkan di tingkat Kabupaten/Kota disebut dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota.
Regulasi lainnya
yang terdapat di dalam Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa
Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan –
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.[3]
Sama halnya dengan regulasi yang terdapat di dalam Pasal 65 ayat (2) huruf b
Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang – Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa Peraturan
Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapatkan persetujuan bersama
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).[4]
Artinya, kedua regulasi ini sama – sama memberikan amanat bahwa Peraturan
Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, keduanya sama – sama
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah (Kepala Daerah) dengan mendapatkan
persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sesuai dengan
konsep Pasal 95 ayat (1) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, yang menerangkan bahwa pajak daerah ditetapkan
berdasarkan Peraturan Daerah, maka penetapan pajak daerah dan retribusi daerah
sejatinya secara atributif merupakan kewenangan dari Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) baik di tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota, dengan
persetujuan bersama oleh Gubernur apabila di tingkat Provinsi atau
Bupati/Walikota apabila di tingkat Kabupaten/Kota.
Namun, setelah
diundangkannya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kewenangan penetapan tarif pajak
daerah dan retribusi daerah dari yang semula desentralisasi secara penuh kini
kewenangan tersebut menjadi berkurang. Kewenangan pemerintah pusat untuk
mengintervensi tarif pajak daerah diatur pada Pasal 97 ayat (1) , ayat (2)
huruf a dan b UU HKPD . Pasal 97 ayat (1) UU HKPD menyatakan bahwa:
(1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan fiskal
nasional dan untuk mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi serta untuk
mendorong pertumbuhan industri dan/atau usaha yang berdaya saing tinggi serta
memberikan pelindungan dan pengaturan yang berkeadilan, Pemerintah sesuai
dengan program prioritas nasional dapat melakukan penyesuaian terhadap
kebijakan Pajak dan Retribusi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.[5]
Selanjutnya, Pasal 97
ayat (2) huruf a dan b UU HKPD menguraikan bahwa:[6]
(2) Kebijakan fiska1 nasional yang
berkaitan dengan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. dapat
mengubah tarif Pajak dan tarif Retribusi dengan penetapan tarif Pajak dan tarif
Retribusi yang berlaku secara nasional; dan
b. pengawasan
dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat
ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.
Penambahan
kewenangan Pemerintah Pusat untuk dapat mengintervensi terkait dengan penetapan
tarif pajak yang telah ditetapkan oleh Pemerintah daerah di atas membuat ruang gerak
yang semula dimiliki oleh Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kewenangan yang
diberikan untuk mengatur daerahnya menjadi terbatas. Kemudian, lahirnya Undang – Undang HKPD juga memberikan
peluang kepada Pemerintah Pusat dalam rangka melakukan evaluasi terhadap
Rancangan Peraturan Daerah dan Retribusi Daerah hal ini sesuai dengan pasal 98
ayat (1).[7]
Kondisi demikian
sejatinya menimbulkan pro dan kontra pada kenyataannya. Melihat dari sisi pro
secara filosofis, kondisi demikian pada dasarnya menyesuaikan dengan prinsip
negara kesatuan. Hal ini selaras dengan amanat Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun
1945 bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah – daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap –
tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang
diatur dengan undang – undang.[8]
Kemudian, melihat Penjelasan Umum UU Pemda yang menyatakan, dalam negara
kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan
nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun
otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah akan tetap ada di tangan Pemerintah Pusat. Untuk itu
Pemerintah Daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan
Pemerintahan Nasional atau Pusat. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan
dilaksanakan oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional.
Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi,
inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional
tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan
nasional secara keseluruhan. Kondisi demikian sebenarnya membuat daerah tetap
dapat dikontrol oleh pusat bilamana terdapat kebijakan yang tidak sesuai.
Kemudian, kondisi ini juga selaras dengan teori yang disampaikan oleh Clarke
dan Stewart, yaitu Teori The Agency Model,
yang mana berdasarkan Teori The Agency
Model, Pemerintah Pusat lebih dominan dan terlihat keberadaannya sebagai
agen untuk melaksanakan kebijakan Pemerintah Pusatnya, sementara Pemerintah
Daerah tidak mempunyai kekuasaan yang cukup.[9]
Kemudian, secara sosiologis, Pemerintah Pusat harus bisa menutupi kesenjangan
antardaerah. Artinya,
pendapatan Pemerintah Pusat arus lebih besar agar bisa di distribusikan ke
daerah – daerah secara maksimal.
Lain halnya jika
melihat dari sisi kontra. Secara filosofis, kondisi demikian menyebabkan
Pemerintah Daerah tidak mempunyai kewenangan secara penuh dalam rangka
penetapan tarif pajak daerah dan retribusi daerah. Artinya, kebebasan yang
relatif besar, yang dimiliki oleh daerah dalam rangka melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya sesuai dengan peraturan perundang – undangan menjadi terbatas
sehingga pelaksanaan desentralisasi tidak dapat berjalan secara penuh, hal ini
juga seperti teori yang diungkapkan oleh Clarke dan Stewart yakni teori The Relatives Autonomy Model yang mana daerah
sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi berwenang
mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya
sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan
umum.[10]
Sementara jika
merujuk pada Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa Pemerintah
Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan asas
otonomi dan tugas pembantuan.[11]
Menurut Ni’matul Huda ketentuan ini menegaskan bahwa Pemerintahan Daerah adalah
suatu pemerintahan otonom dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.[12]
Dalam Pemerintahan Daerah hanya ada pemerintahan otonomi (termasuk tugas
pembantuan). Prinsip didalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 lebih sesuai dengan
gagasan daerah membentuk pemerintahan mandiri di daerah yang demokratis. Tidak
ada lagi unsur pemerintahan sentralisasi dalam Pemerintahan Daerah. Gubernur,
bupati, walikota semata – mata sebagai penyelenggara otonomi di daerah. Hal ini
sejalan dengan prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Sehingga berkaitan dengan penetapan
tarif pajak daerah sejatinya itu menjadi kewenangan mutlak dari pemerintahan
daerah tanpa harus diintervensi oleh pemerintah pusat, hal ini sebagai bentuk
perwujudan atau cerminan dari asas desentralisasi dan otonomi daerah.
2. Urgensi Penambahan
Kewenangan Pemerintah Pusat Dalam Pengawasan dan Evaluasi Tarif Pajak Daerah
terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Pertambahan kewenangan pemerintah pusat dalam melakukan
pengawasan dan evaluasi tarif pajak daerah memanglah menimbulkan polemik dan
perdebatan terutama yang berhubungan dengan implementasi atau perwujudan asas
desentralisasi atau otonomi daerah jika pemerintah pusat dapat mengintervensi
dengan cara mengubah , mengevaluasi , dan juga megawasi terkait tarif pajak
daerah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Namun jika dilihat
yang menjadi alasan utama (rasio d’etre)
adanya pengaturan terkait pemerintah pusat yang dapat mengintervensi tarif
pajak daerah yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah yakni dalam rangka
untuk memitigasi Pemerintah Daerah agar tidak meningkatkan tarif pajak dibatas
atas demi semata-mata mengejar penerimaan asli daerah (PAD) yang tinggi
sehingga tarif pajak daerah dan retribusi daerah mempunyai kapasitas yang
rasional , baik bagi Pemerintah Daerah maupun pengusaha. Hal ini tentunya jika
tidak diawasi dan dievaluasi oleh Pemerintah Pusat dapat menghambat atau
mempersulit investasi sehingga hal tersebut juga dapat mengakibatkan susahnya
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang tentunya secara langsung berhubungan
juga dengan sulit terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Investasi sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang tentunya akan
berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan investasi
yang terus diterima negara dari si pemberi modal dalam negeri ataupun luar
negeri memberikan dampak positif khususnya didalam bidang pembangunan. Beberapa
alasan mengapa investasi sangat penting dan dibutuhkan dalam rangka pertumbuhan
dan perkembangan ekonomi saat ini yakni:[13]
a. Melakukan pembangunan
kepada daerah yang mengalami keterlambatan.
Investasi atau modal
asing ini diharapkan mampu sebagai sumber kebutuhan dalam pembiayaan
pembangunan agar bisa cepat dalam membangun infrastruktur.
b. Penyedia lapangan
pekerjaan
Dalam kondisi saat ini,
lapangan pekerjaan sangat dibutuhkan karena untuk keberlangsungan hidup
seseorang dalam mencari nafkah. Maka dari itu investasi asing diharapkan dapat
memberi lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya agar dapat mempercepat laju pertumbuhan
ekonomi.
Berdasarkan
alasan-alasan di atas maka investasi sangat memberikan manfaat baik bagi
pembangunan daerah dan juga untuk memberikan pendapatan kepada masyarakat
sehingga investasi dapat dikatakan merupakan salah satu instrumen penting yang
dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Sehingga berdasarkan hal ini
penetapan tarif pajak daerah pun juga jangan sampai menghambat ekosistem
investasi dan kemudahan dalam berusaha.
Sebelum diundangkannya UU HKPD, dalam UU PDRD
yang berwenang untuk menetapkan tarif pajak daerah melalui Peraturan Daerah
yakni Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota bersama dengan DPRD
Provinsi atau Kabupaten/Kota. Namun yang menjadi persoalan apabila ternyata
Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dengan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota menetapkan
Perda terkait dengan penetapan tarif pajak daerah melebihi tarif pajak batas
atas yang mengakibatkan para investor enggan untuk berinvestasi maka tidak ada
yang berwenang secara atributif untuk mengevaluasi maupun mengubah tarif pajak
yang telah ditetapkan, sehingga jika ini terjadi tentunya hal ini tidak dapat
memberikan manfaat kepada daerah.
Sehingga untuk
menjawab persoalan tersebut, dengan diberikannya kewenangan kepada Pemerintah
Pusat secara atributif dalam UU HKPD untuk dapat mengintervensi dengan melakukan
pengawasan dan evaluasi terkait tarif pajak daerah yang sudah ditetapkan oleh
pemerintahan daerah, maka kegiatan investasi atau berusaha pun tidak akan
terhambat dan tentunya kegiatan investasipun dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi daerah terlebih khusus bagi kesejahteraan masyarakat di
daerah. Walaupun terkesan pemberian kewenangan kepada pemerintah pusat dalam
Pasal 97 UU HKPD tersebut membuat pelaksanaan desentralisasi tidak dapat
berjalan secara penuh, akan tetapi hal itu justru dapat lebih menjamin
diperolehnya manfaat bagi masyarakat sehingga dapat membantu meningkatkan
kesejehateraan masyarakat dari diberikannya kemudahan investasi. Hal ini
sejalan dengan teori utility /
kebermanfaatan dari Jeremy Bentham yakni hukum harus berguna atau bermanfaat
bagi individu masyarakat demi mencapai kebahagiaan yang sebesar-besarnya (the greatest happiness of the greatest
number).[14]
DAFTAR PUSTAKA
Buku
- Jeremy Bentham,
2000, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Kitchener
:Batoche Books)
- Ni’matul Huda, 2017, Hukum
Pemerintah Daerah (Bandung: Nusamedia)
- Ni’matul Huda,2017, Otonomi Daerah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Jurnal
-
Agus Kurniawan, SINKRONISASI
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2022 TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH
PUSAT DENGAN PEMERINTAH DAERAH DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PENETAPAN TARIF PAJAK DAN
RETRIBUSI, Jurnal Dinamika Hukum, VOLUME 13, NO.3 OKT 22
Dimas
Hariang Kencana dan Rani Apriani, Perspektif
Hukum Investasi Terhadap Pengaruh Pertumbuhan dan Perkembangan Ekonomi Nasional,
Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora, Vol.8, No.4 Tahun 2021
Edward,
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Jurnal
Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XLII No. 1, 2016
Jazim
Hamidi, Pola Hubungan Pemerintah Pusat
dan Daerah (slide), Seminar Nasional dan Refleksi Akhir Tahun 2009,
Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Jawa Timur,
Hotel Panorama, Jember 27 Desember 2009.
Revoldai Agusta, ‘Peranan Penerimaan Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah Pada Badan Pendapatan Daerah
Kabupaten Bulukumba’, JOURNAL OF APPLIED MANAGERIAL ACCOUNTING 4, no. 1 (31
March 2020)
Peraturan-Peraturan
-
UUD NRI Tahun 1945
- Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
- Undang – Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
[1] Revoldai Agusta, ‘Peranan Penerimaan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Terhadap
Pendapatan Asli Daerah Pada Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Bulukumba’,
JOURNAL OF APPLIED MANAGERIAL ACCOUNTING 4, no. 1 (31 March 2020): 33–41,
https://doi.org/10.30871/jama.v4i1.1909
[2] Pasal 1 angka (7) dan (8)
Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang –
Undangan
[3] Pasal 18 ayat (6) UUD NRI
Tahun 1945
[4] Pasal 65 ayat (2) huruf b
Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang – Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
[5] Pasal 97 ayat (1), Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah
[6] Pasal 97 ayat (2),
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah.
[7] Pasal 98 ayat (1),
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah
[8] Pasal 18 ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945
[9] Ni’matul Huda, Hukum Pemerintah Daerah (Bandung:
Nusamedia, 2017), hlm.12
[10] Jazim Hamidi, Pola Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
(slide), Seminar Nasional dan Refleksi Akhir Tahun 2009, Asosiasi Pengajar
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Jawa Timur, Hotel Panorama,
Jember 27 Desember 2009.
[11] 18 ayat (2) UUD NRI Tahun
1945
[12] Ni’matul Huda, Otonomi Daerah (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2017), hlm. 20-21.
[13] Dimas Hariang Kencana dan
Rani Apriani, Perspektif Hukum Investasi
Terhadap Pengaruh Pertumbuhan dan Perkembangan Ekonomi Nasional, Jurnal
Ilmu Hukum dan Humaniora, Vol.8, No.4 Tahun 2021, hlm. 869-870.
[14] “Nature has Placed
mankind under the governance of two sovereign masters, pain and pleasure. It is
for them alone to point out what we ought to do, as well as to determine what
we shall do. On the one hand, the standard of right and wrong, on the ohter, the
chain of causes and effects, are fastened to their throne. They govern us in
all we do, in all we say, in all we think : every effort we can make to throw
off our subjection, will serve but to demonstrate and confirm it. It word a man
may pretend to abjure their empire : but in reality he will remain subject to
it all the while. The principle of utility recognizes this subjection, and
assumes it for the foundation of that system, the subject of which is to rear
fabric of felicity by the hands of reason and of law.
Lihat Jeremy Bentham, An
Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Kitchener
:Batoche Books, 2000), hlm. 14
[1] Edward, Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Jurnal Ilmu
Pemerintahan Widyapraja, Vol XLII No. 1, 2016, hlm. 1.
[2] Agus Kurniawan,
SINKRONISASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2022 TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DENGAN PEMERINTAH DAERAH DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011
TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PENETAPAN TARIF PAJAK DAN
RETRIBUSI, Jurnal Dinamika Hukum, VOLUME 13, NO.3 OKT 22, hlm. 60
[3] Pasal 95 ayat (1), Undang
– Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Komentar
Posting Komentar