Penetapan Tarif Pajak Daerah Pasca Pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

Oleh : Eduard Awang Maha Putra

Perubahan Paradigma penyelenggaran pemerintahan daerah (otonomi daerah) di Indonesia dari pola sentralisasi menjadi pola yang terdesentralisasi membawa konsekuensi terhadap makin besarnya penyerahan wewenang dari pemerintah (pusat) kepada pemerintah daerah disatu sisi, dan disisi lain pemerintah daerah memiliki kewenangan yang besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri secara otonom. Salah satu pilar pokok otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengelola secara mandiri keuangan daerahnya. Negara Indonesia sebagai suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut kombinasi antara unsur pengakuan kewenangan bagi daerah untuk mengelola secara mandiri keuangannya dipadukan dengan unsur kewenangan melakukan transfer fiskal dan pengawasan terhadap kebijakan fiskal daerah.[1]

Otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah otonom dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat secara bertanggungjawab menurut prakarsa sendiri serta berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 mengedepankan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Otonomi luas berarti bahwa kepala daerah diberikan tugas, wewenang, hak dan kewajiban, untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangani oleh pemerintah pusat sehingga isi otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah memiliki banyak ragam dan jenisnya. Daerah juga diberi keleluasaan untuk menangani urusan pemerintahan yang diserahkan itu, dalam rangka mewujudkan tujuan dibentuknya suatu daerah dan tujuan pemberian otonomi itu sendiri terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah.[2]

Pelaksanaan otonomi daerah sejatinya seringkali ditemukan adanya tumpang tindihnya kewenangan, antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat selalu mempunyai keinginan untuk bersikap penuh terhadap kewenangan di dalam segala bidang urusan pemerintahan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) telah mencabut regulasi yang terdapat di dalam Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).

Salah satu hal yang saat ini menjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah pengaturan tarif pajak daerah pasca berlakunya UU HKPD. Sebelum berlakunya UU HKPD, pengaturan mengenai  Pengaturan tarif pajak daerah diatur dalam Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, khususnya pada Bab IV pada Pasal 95 ayat (1) yang menyatakan bahwa tarif pajak daerah sejatinya ditetapkan oleh Peraturan Daerah.[3] Namun sejak berlakunya UU HKPD, kewenangan penetapan tarif pajak daerah dan retribusi daerah juga menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah. Perubahan kewenangan di atas menyebabkan Pemerintah Pusat dapat melakukan intervensi terhadap kebijakan fiskal yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah, khususnya dalam bidang penetapan tarif pajak daerah dan retribusi daerah.

Adanya intervensi dari Pemerintah Pusat dalam penetapan tarif pajak daerah menimbulkan kesan bahwa daerah sudah kehilangan kemandiriannya sebagai  daerah otonom dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya sendiri dan secara mandiri atau dalam kata lain tidak mencerminkan sistem desentralisasi sesuai dengan Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, selanjutnya disebut dengan UU Pemda.

1. Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Penetapan Tarif Pajak Daerah Pasca Berlakunya UU HKPD

       Pada hakikatnya, pajak daerah menitikberatkan perannya menjadi sarana sumber daya guna memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Hal ini sejalan dengan fungsi utama pajak yaitu fungsi regulator dan fungsi penerimaan. Eksistensi pajak dalam jangka waktu satu tahun harus ditentukan seberapa besar jumlahnya, agar realisasi penerimaan pajak daerah dapat diperoleh secara maksimal, sebab pada akhirnya pajak daerah akan menjadi penyokong Pendapatan Asli Daerah (PAD) manakala realiasi penerimaan dapat melampaui target yang telah dicanangkan. Selain pajak daerah, retribusi daerah juga menjadi penyokong dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).[1]

       Sebelum berlakunya UU HKPD, penetapan pajak daerah diatur berdasarkan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah  menyatakan bahwa pajak daerah pada dasarnya ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah. Menurut Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan (UU PPP), Peraturan Daerah sejatinya terbagi atas Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 1 angka 7 UU PPP menyatakan bahwa Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang – undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan Gubernur. Sementara, Pasal 1 angka 8 UU PPP menyatakan bahwa Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang – undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.[2]

Sehingga pada hakikatnya, Peraturan Daerah baik Peraturan Daerah Provinsi maupun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, keduanya merupakan produk hukum yang pembentukannya dilakukan oleh Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah di Indonesia terdiri atas dua unsur, yaitu Pemerintah Daerah (Kepala Daerah) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kepala Daerah di tingkat provinsi adalah Gubernur, sedangkan Kepala Daerah di tingkat kabupaten/kota adalah Bupati/Walikota. Hal tersebut sejalan dengan konsepsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), apabila di tingkat Provinsi disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, sedangkan di tingkat Kabupaten/Kota disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota.

Regulasi lainnya yang terdapat di dalam Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan – peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.[3] Sama halnya dengan regulasi yang terdapat di dalam Pasal 65 ayat (2) huruf b Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).[4] Artinya, kedua regulasi ini sama – sama memberikan amanat bahwa Peraturan Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, keduanya sama – sama ditetapkan oleh Pemerintah Daerah (Kepala Daerah) dengan mendapatkan persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Sesuai dengan konsep Pasal 95 ayat (1) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang menerangkan bahwa pajak daerah ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah, maka penetapan pajak daerah dan retribusi daerah sejatinya secara atributif merupakan kewenangan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik di tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota, dengan persetujuan bersama oleh Gubernur apabila di tingkat Provinsi atau Bupati/Walikota apabila di tingkat Kabupaten/Kota.

Namun, setelah diundangkannya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kewenangan penetapan tarif pajak daerah dan retribusi daerah dari yang semula desentralisasi secara penuh kini kewenangan tersebut menjadi berkurang. Kewenangan pemerintah pusat untuk mengintervensi tarif pajak daerah diatur pada Pasal 97 ayat (1) , ayat (2) huruf a dan b UU HKPD . Pasal 97 ayat (1) UU HKPD menyatakan bahwa:

 (1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan fiskal nasional dan untuk mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi serta untuk mendorong pertumbuhan industri dan/atau usaha yang berdaya saing tinggi serta memberikan pelindungan dan pengaturan yang berkeadilan, Pemerintah sesuai dengan program prioritas nasional dapat melakukan penyesuaian terhadap kebijakan Pajak dan Retribusi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.[5]

Selanjutnya, Pasal 97 ayat (2) huruf a dan b UU HKPD menguraikan bahwa:[6]

(2) Kebijakan fiska1 nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a.  dapat mengubah tarif Pajak dan tarif Retribusi dengan penetapan tarif Pajak dan tarif Retribusi yang berlaku secara nasional; dan

b.  pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.

Penambahan kewenangan Pemerintah Pusat untuk dapat mengintervensi terkait dengan penetapan tarif pajak yang telah ditetapkan oleh Pemerintah daerah di atas membuat ruang gerak yang semula dimiliki oleh Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kewenangan yang diberikan untuk mengatur daerahnya menjadi terbatas.  Kemudian, lahirnya Undang – Undang HKPD juga memberikan peluang kepada Pemerintah Pusat dalam rangka melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah dan Retribusi Daerah hal ini sesuai dengan pasal 98 ayat (1).[7]

Kondisi demikian sejatinya menimbulkan pro dan kontra pada kenyataannya. Melihat dari sisi pro secara filosofis, kondisi demikian pada dasarnya menyesuaikan dengan prinsip negara kesatuan. Hal ini selaras dengan amanat Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah – daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap – tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang – undang.[8] Kemudian, melihat Penjelasan Umum UU Pemda yang menyatakan, dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada di tangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintah Daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerintahan Nasional atau Pusat. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Kondisi demikian sebenarnya membuat daerah tetap dapat dikontrol oleh pusat bilamana terdapat kebijakan yang tidak sesuai. Kemudian, kondisi ini juga selaras dengan teori yang disampaikan oleh Clarke dan Stewart, yaitu Teori The Agency Model, yang mana berdasarkan Teori The Agency Model, Pemerintah Pusat lebih dominan dan terlihat keberadaannya sebagai agen untuk melaksanakan kebijakan Pemerintah Pusatnya, sementara Pemerintah Daerah tidak mempunyai kekuasaan yang cukup.[9] Kemudian, secara sosiologis, Pemerintah Pusat harus bisa menutupi kesenjangan antardaerah. Artinya, pendapatan Pemerintah Pusat arus lebih besar agar bisa di distribusikan ke daerah – daerah secara maksimal.

Lain halnya jika melihat dari sisi kontra. Secara filosofis, kondisi demikian menyebabkan Pemerintah Daerah tidak mempunyai kewenangan secara penuh dalam rangka penetapan tarif pajak daerah dan retribusi daerah. Artinya, kebebasan yang relatif besar, yang dimiliki oleh daerah dalam rangka melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sesuai dengan peraturan perundang – undangan menjadi terbatas sehingga pelaksanaan desentralisasi tidak dapat berjalan secara penuh, hal ini juga seperti teori yang diungkapkan oleh Clarke dan Stewart yakni teori The Relatives Autonomy Model yang mana daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi berwenang mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum.[10]

Sementara jika merujuk pada Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan asas otonomi dan tugas pembantuan.[11] Menurut Ni’matul Huda ketentuan ini menegaskan bahwa Pemerintahan Daerah adalah suatu pemerintahan otonom dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.[12] Dalam Pemerintahan Daerah hanya ada pemerintahan otonomi (termasuk tugas pembantuan). Prinsip didalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 lebih sesuai dengan gagasan daerah membentuk pemerintahan mandiri di daerah yang demokratis. Tidak ada lagi unsur pemerintahan sentralisasi dalam Pemerintahan Daerah. Gubernur, bupati, walikota semata – mata sebagai penyelenggara otonomi di daerah. Hal ini sejalan dengan prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Sehingga berkaitan dengan penetapan tarif pajak daerah sejatinya itu menjadi kewenangan mutlak dari pemerintahan daerah tanpa harus diintervensi oleh pemerintah pusat, hal ini sebagai bentuk perwujudan atau cerminan dari asas desentralisasi dan otonomi daerah.

2. Urgensi Penambahan Kewenangan Pemerintah Pusat Dalam Pengawasan dan Evaluasi Tarif Pajak Daerah terhadap Kesejahteraan Masyarakat

       Pertambahan kewenangan pemerintah pusat dalam melakukan pengawasan dan evaluasi tarif pajak daerah memanglah menimbulkan polemik dan perdebatan terutama yang berhubungan dengan implementasi atau perwujudan asas desentralisasi atau otonomi daerah jika pemerintah pusat dapat mengintervensi dengan cara mengubah , mengevaluasi , dan juga megawasi terkait tarif pajak daerah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah.

Namun jika dilihat yang menjadi alasan utama (rasio d’etre) adanya pengaturan terkait pemerintah pusat yang dapat mengintervensi tarif pajak daerah yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah yakni dalam rangka untuk memitigasi Pemerintah Daerah agar tidak meningkatkan tarif pajak dibatas atas demi semata-mata mengejar penerimaan asli daerah (PAD) yang tinggi sehingga tarif pajak daerah dan retribusi daerah mempunyai kapasitas yang rasional , baik bagi Pemerintah Daerah maupun pengusaha. Hal ini tentunya jika tidak diawasi dan dievaluasi oleh Pemerintah Pusat dapat menghambat atau mempersulit investasi sehingga hal tersebut juga dapat mengakibatkan susahnya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang tentunya secara langsung berhubungan juga dengan sulit terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Investasi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang tentunya akan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan investasi yang terus diterima negara dari si pemberi modal dalam negeri ataupun luar negeri memberikan dampak positif khususnya didalam bidang pembangunan. Beberapa alasan mengapa investasi sangat penting dan dibutuhkan dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan ekonomi saat ini yakni:[13]

a. Melakukan pembangunan kepada daerah yang mengalami keterlambatan.

Investasi atau modal asing ini diharapkan mampu sebagai sumber kebutuhan dalam pembiayaan pembangunan agar bisa cepat dalam membangun infrastruktur.

b. Penyedia lapangan pekerjaan

Dalam kondisi saat ini, lapangan pekerjaan sangat dibutuhkan karena untuk keberlangsungan hidup seseorang dalam mencari nafkah. Maka dari itu investasi asing diharapkan dapat memberi lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya agar dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan alasan-alasan di atas maka investasi sangat memberikan manfaat baik bagi pembangunan daerah dan juga untuk memberikan pendapatan kepada masyarakat sehingga investasi dapat dikatakan merupakan salah satu instrumen penting yang dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Sehingga berdasarkan hal ini penetapan tarif pajak daerah pun juga jangan sampai menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.

 Sebelum diundangkannya UU HKPD, dalam UU PDRD yang berwenang untuk menetapkan tarif pajak daerah melalui Peraturan Daerah yakni Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota bersama dengan DPRD Provinsi atau Kabupaten/Kota. Namun yang menjadi persoalan apabila ternyata Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dengan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota menetapkan Perda terkait dengan penetapan tarif pajak daerah melebihi tarif pajak batas atas yang mengakibatkan para investor enggan untuk berinvestasi maka tidak ada yang berwenang secara atributif untuk mengevaluasi maupun mengubah tarif pajak yang telah ditetapkan, sehingga jika ini terjadi tentunya hal ini tidak dapat memberikan manfaat kepada daerah.

Sehingga untuk menjawab persoalan tersebut, dengan diberikannya kewenangan kepada Pemerintah Pusat secara atributif dalam UU HKPD untuk  dapat mengintervensi dengan melakukan pengawasan dan evaluasi terkait tarif pajak daerah yang sudah ditetapkan oleh pemerintahan daerah, maka kegiatan investasi atau berusaha pun tidak akan terhambat dan tentunya kegiatan investasipun dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi daerah terlebih khusus bagi kesejahteraan masyarakat di daerah. Walaupun terkesan pemberian kewenangan kepada pemerintah pusat dalam Pasal 97 UU HKPD tersebut membuat pelaksanaan desentralisasi tidak dapat berjalan secara penuh, akan tetapi hal itu justru dapat lebih menjamin diperolehnya manfaat bagi masyarakat sehingga dapat membantu meningkatkan kesejehateraan masyarakat dari diberikannya kemudahan investasi. Hal ini sejalan dengan teori utility / kebermanfaatan dari Jeremy Bentham yakni hukum harus berguna atau bermanfaat bagi individu masyarakat demi mencapai kebahagiaan yang sebesar-besarnya (the greatest happiness of the greatest number).[14]

 

DAFTAR PUSTAKA 

Buku

- Jeremy Bentham, 2000, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Kitchener :Batoche Books)

- Ni’matul Huda, 2017,  Hukum Pemerintah Daerah (Bandung: Nusamedia)

- Ni’matul Huda,2017, Otonomi Daerah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)

Jurnal

- Agus Kurniawan, SINKRONISASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2022 TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DENGAN PEMERINTAH DAERAH DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PENETAPAN TARIF PAJAK DAN RETRIBUSI, Jurnal Dinamika Hukum, VOLUME 13, NO.3 OKT 22

Dimas Hariang Kencana dan Rani Apriani, Perspektif Hukum Investasi Terhadap Pengaruh Pertumbuhan dan Perkembangan Ekonomi Nasional, Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora, Vol.8, No.4 Tahun 2021

Edward, Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XLII No. 1, 2016

Jazim Hamidi, Pola Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah (slide), Seminar Nasional dan Refleksi Akhir Tahun 2009, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Jawa Timur, Hotel Panorama, Jember 27 Desember 2009.

Revoldai Agusta, ‘Peranan Penerimaan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah Pada Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Bulukumba’, JOURNAL OF APPLIED MANAGERIAL ACCOUNTING 4, no. 1 (31 March 2020)

Peraturan-Peraturan

- UUD NRI Tahun 1945

- Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

- Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah



[1]  Revoldai Agusta, ‘Peranan Penerimaan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah Pada Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Bulukumba’, JOURNAL OF APPLIED MANAGERIAL ACCOUNTING 4, no. 1 (31 March 2020): 33–41, https://doi.org/10.30871/jama.v4i1.1909

[2] Pasal 1 angka (7) dan (8) Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan

[3] Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945

[4] Pasal 65 ayat (2) huruf b Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

[5]  Pasal 97 ayat (1), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

[6] Pasal 97 ayat (2), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

[7] Pasal 98 ayat (1), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

[8] Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

[9] Ni’matul Huda, Hukum Pemerintah Daerah (Bandung: Nusamedia, 2017), hlm.12

[10] Jazim Hamidi, Pola Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah (slide), Seminar Nasional dan Refleksi Akhir Tahun 2009, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Jawa Timur, Hotel Panorama, Jember 27 Desember 2009.

[11] 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

[12] Ni’matul Huda, Otonomi Daerah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), hlm. 20-21.

[13] Dimas Hariang Kencana dan Rani Apriani, Perspektif Hukum Investasi Terhadap Pengaruh Pertumbuhan dan Perkembangan Ekonomi Nasional, Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora, Vol.8, No.4 Tahun 2021, hlm. 869-870.

[14] “Nature has Placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and pleasure. It is for them alone to point out what we ought to do, as well as to determine what we shall do. On the one hand, the standard of right and wrong, on the ohter, the chain of causes and effects, are fastened to their throne. They govern us in all we do, in all we say, in all we think : every effort we can make to throw off our subjection, will serve but to demonstrate and confirm it. It word a man may pretend to abjure their empire : but in reality he will remain subject to it all the while. The principle of utility recognizes this subjection, and assumes it for the foundation of that system, the subject of which is to rear fabric of felicity by the hands of reason and of law.

Lihat Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Kitchener :Batoche Books, 2000), hlm. 14



[1] Edward, Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XLII No. 1, 2016, hlm. 1.

[2] Agus Kurniawan, SINKRONISASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2022 TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DENGAN PEMERINTAH DAERAH DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PENETAPAN TARIF PAJAK DAN RETRIBUSI, Jurnal Dinamika Hukum, VOLUME 13, NO.3 OKT 22, hlm. 60

[3] Pasal 95 ayat (1), Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAK MUDAH BUKAN BERARTI TAK MUNGKIN (BIOGRAFI)

JUDEX FACTIE DAN JUDEX JURIST DALAM SISTEM PERADILAN DAN PRAKTIKNYA DI INDONESIA

Perkembangan Teknologi dalam Dunia Hukum : Telaah Konsep Panopticon sebagai Model Pendisiplinan Masyarakat