Kloning Terhadap Manusia Ditinjau Dari Perspektif Aliran Hukum Alam, Positivisme Hukum, dan Utilitarianisme
(Oleh : Eduard Awang Maha Putra)
Salah satu hasil kemajuan
yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kloning, yaitu suatu
proses penggandaan makhluk hidup dengan cara mentransfer nukleus dari sel janin
yang sudah berdiferensiasi dari sel dewasa, atau penggandaan makhluk hidup
menjadi lebih banyak, baik dengan memindahkan inti sel tubuh ke dalam indung
telur pada tahap sebelum terjadi pemisahan sel-sel bagian-bagian tubuh.
Pencapaian teknologi rekayasa genetik (bioteknologi) khususnya di bidang
kloning tersebut menunjukkan bahwa garis depan ilmu dari waktu ke waktu selalu
berubah, bergerak dan berkembang secara dinamis. Gerakan dinamis tersebut
disebut sebagai kemajuan (progress). Kemajuan yang sangat mengesankan
bahkan bisa dibilang revolusioner di bidang rekayasa genetika di akhir abad 20
tersebut oleh Walter Isaacson disebut sebagai abad bioteknologi (the century
of biotechnology).[1]
Menjadi topik pembicaraan
dalam tulisan maupun pertemuan dari dalam maupun luar negeri untuk membahas
kloning, maka berbagai terminologi digunakan seperti sudut moral dan agama,
positivisme, dan utility atau
manfaatnya dalam bidang medis dan biologi. Hal ini mengindikasikan bahwa
kloning memiliki dampak yang sangat besar bagi masa depan peradaban manusia.
Keberhasilan yang spektakuler pada binatang, misteri reproduksi makhluk tanpa
melalui perkawinan (aseksual). Mulai menjadi perdebatan sengit ketika
Ian Wilmut, Keith Campbell dan tim di Roslin Institute – Skotlandia berhasil
mengkloning domba dolly pada tahun 1996. Sebelumnya manusia telah berhasil
mengkloning kecebong (1952), ikan (1963), tikus (1986). Keberhasilan kloning
dolly menuai kecaman sebagian besar penduduk dunia baik institusi keagamaan,
pemeluk agama, dunia kedokteran, institusi riset sejenis, hingga pemerintahan
tiap negara. Hal ini menyebabkan pengkloningan dilakukan secara
sembunyi-sembunyi. Sejak keberhasilan kloning domba 1996, kemudian muncul hasil
kloning lain pada monyet (2000), lembu (2001), sapi (2001), kucing (2001), kuda
(2003), anjing, serigala, kerbau dan dikomersialkan pada 2004.[2]
Pada tahun 2002 Direktur
Ilmu Pengetahuan Clonaid Brigitte Boisselier menyatakan bahwa bayi hasil
kloning manusia telah lahir ke dunia. Bayi hasil kloning tersebut bernama Eve.
Eve merupakan bayi pertama yang lahir dari 10 implantasi. Dari 10 implan, lima
gagal. Empat bayi kloning lainnya akan segera dilahirkan. Namun, keberhasilan
dalam mengkloning bayi yang diklaim oleh perusahaan clonaid, banyak diragukan
oleh ilmuwan yang lain.[3] Kloning
manusia diidentifikasi menimbulkan beberapa masalah, baik masalah etika dan
moral, masalah ilmiah, serta masalah sosial.[4]
Berbagai kalangan, baik pemerintah, kelompok masyarakat, ilmuwan, maupun
agamawan telah memberi pernyataan bahwa kloning pada manusia adalah tidak etis
dan bertentangan dengan harkat martabat manusia. [5] Dalam
forum internasional, kloning masih menjadi sesuatu yang diperdebatkan. Sebagian
ilmuwan berpendapat bahwa kloning memberikan banyak manfaat, namun ilmuwan yang
lain menyatakan bahwa kloning lebih banyak mendatangkan kerugian daripada
manfaat. Berdasarkan hal itu maka pada tulisan ini akan dibahas terkait dengan
permasalahan kloning pada manusia dilihat dari sudut pandang atau perspektif
teori hukum alam/ kodrat, positivsime hukum , dan juga utilitarian.
1. Kloning Terhadap Manusia dari Perspektif Aliran Hukum
Alam atau Kodrat (Natural Law)
- Sekilas
tentang Aliran Hukum Alam
Aliran Hukum Alam
merupakan salah satu aliran dalam
filsafat hukum. Aliran ini telah berkembang sejak 2.500 tahun yang
lalu. Aliran atau Mazhab Hukum Alam merupakan aliran yang tertua dalam sejarah
pemikiran manusia tentang hukum. Menurut sumbernya Aliran Hukum Alam dibedakan
menjadi dua macam, yaitu Irasional dan Rasional. Aliran Hukum Alam Irasional
berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu secara langsung
bersumber dari Tuhan salah satu Tokoh dari aliran hukum alam irasional yakni
Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa ada empat macam hukum diantaranya yakni:[6]
1.
Lex
eterna yaitu hukum rasio
Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia.
2.
Lex
divina, adalah hukum rasio
Tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia.
3.
Lex
naturalis atau hukum
alam, merupakan penjelmaan lex eterna ke dalam rasio manusia.
4.
Lex
positivis, adalah
penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di dunia.
Sedangkan Aliran Hukum Alam Rasional
berpendapat bahwa sumber dari hukum yang universal dan abadi itu adalah rasio
manusia. Salah satu tokoh aliran hukum alam rasional yakni Hugo De Grotius
menyatakan sumber dari hukum alam adalah kodrat manusia. Ditemukan beberapa
sifat yang berbeda yang ada dalam diri manusia, yaitu kecenderungan untuk
mempertahankan diri, keinginan untuk masyarakat, pengetahuan, serta hak
berpikir dan berbicara. Pada konteks ini, keramahan dan akal-budi memperoleh
posisi yang dianggap berakar kuat di alam sebagai media pertahanan diri. Ide
utama yang diusung Grotius dalam De Jure
Balle ac Pacis adalah hipotesis anti-theistik (etiamsi daremus).[7]
Secara lantang Grotius menyatakan, kita harus mengakui apa yang tidak dapat
diakui tanpa kejahatan yang paling besar, bahwa tidak ada Tuhan, atau bahwa
urusan manusia tidak menjadi urusan Tuhan.[8]
Menurut Grotius, satu-satunya hal yang penting adalah bahwa kodrat manusia
merupakan sumber hukum alam. Kehendak Tuhan atau akal budi baru muncul jika ada
pembahasan terkait asal usul sifat manusia. Selain hukum tuhan dan juga kodrat
atau rasio manusia, Etika dan Moral (ethical and moral considerations) juga
menjadi bagian penting yang membangun hukum alam karena dalam teori hukum alam,
antara moral dan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.[9]
-
Analisis Kloning Terhadap dalam Perspektif Aliran Hukum Alam
Berkaitan dengan
kloning terhadap manusia apabila ditinjau dari perspektif hukum alam atau
natural law, maka kloning terhadap manusia merupakan suatu perbuatan manusia
yang bertentangan dengan hukum alam sebagai penjelmaan lex eterna (rasio tuhan)
ke dalam rasio manusia, hal ini dikarenakan dengan melakukan kloning terhadap
manusia maka hal itu otomatis merupakan pelanggaran terhadap etis, kodrat, dan
harkat serta martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan.
Bila ditinjau dari
segi etis , penerapan kloning dapat
dilihat dari dua sudut berbeda, yaitu deontologi dan teleologi. Pada paham
deontologi, penilaian etis tidaknya suatu perbuatan lebih ditekankan pada
perbuatan itu sendiri. Tokoh utama paham ini adalah Immanuel Kant yang terkenal
dengan teori categorical imperative. Menurutnya, perbuatan yang secara
universal dinyatakan terlarang, maka apapun alasannya tidak boleh dilakukan.
Sebaliknya, paham teleologi lebih menilai pada tujuan atau akibat yang dituju
pada perbuaatan itu. Kalau tujuannya berupa suatu kebaikan seperti halnya
cloning untuk terapi, maka perbuataan itu diperbolehkan untuk dilaksanakan,
sering juga penganut paham itu disebut sebagai konsekuensialis.[10]
Kloning terhadap manusia juga menunjukan bahwa
manusia telah melampaui kodratnya sebagai mahluk ciptaan tuhan dan justru
hendak melangkahi Tuhan sebagai pencipta seluruh kehidupan. Berbicara tentang
kodrat manusia maka kita berbicara terkait dengan sesuatu yang ditetapkan oleh
Tuhan Yang Maha Esa yang tidak mampu untuk dirubah ataupun ditolak sehingga
berbicara tentang kodrat maka tidaklah bisa terlepas dari ajaran masing-masing
agama sebagai salah satu sumber moralitas. Oleh karena itu berikut akan dijabarkan
berbagai pandangan agama terkait dengan Kloning terhadap manusia
- Pandangan Agama Islam
Syari’at Islam
mengharamkan kloning terhadap manusia, dengan argumentasi sebagai berikut.
Pertama, anak-anak produk proses kloning dihasilkan melalui
cara yang tidak alami (percampuran antara sel sperma dan sel telur). Padahal,
cara alami inilah yang telah ditetapkan oleh syariat sebagai sunatullah
menghasilkan anak-anak dan keturunannya. Allah SWT berfirman:
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ
وَالأنْثَ
مِنْ نُطْفَةٍ إِذَا تُمْنَى
“Dan bahwasannya
Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan dari air
mani apabila dipancarkan”(AQS.
An-Najm: 45-46).
Dalam ayat lain
dinyatakan pula,
أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى
ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى
“Bukankah dia
dahulu setetes mani yag ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi
segumpal darah, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya. Lalu Allah
menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan.” (AQS.
Al-Qiyâmah: 37-38).
Kedua, anak-anak produk kloning dari
perempuan-tanpa adanya laki-laki tidak akan memunyai ayah. Anak produk kloning
tersebut jika dihasilkan dari proses pemindahan sel telur-yang telah
digabungkan dengan inti sel tubuh ke dalam rahim perempuan yang bukan pemilik
sel telur, tidak pula akan memunyai ibu sebab rahim perempuan yang menjadi
tempat pemindahan sel telur tersebut hanya menjadi penampung (mediator). Oleh
karena itu, kondisi ini sesungguhnya telah bertentangan dengan firman Allah
SWT:.
يا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْناكُمْ
مِنْ ذَكَرٍ وَ أُنْثى وَ جَعَلْناكُمْ شُعُوباً وَ قَبائِلَ لِتَعارَفُوا إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia,
sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.” (AQS.
Al-Hujurât: 13)
Juga bertentangan dengan
firman-Nya yang lain,
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ
عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ
فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا
أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ
اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Panggilah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,
maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu
[Maula-maula ialah: seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang
yang telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil
maula Huzaifah] dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf
padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (AQS. Al-Ahzâb : 5).
Ketiga, kloning manusia akan menghilangkan
nasab (garis keturunan). Padahal Islam telah mewajibkan pemeliharaan nasab. Ini
berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa
Rasulullah saw. telah bersabda, “Siapa saja yang menghubungkan nasab
kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat)
kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat
dan seluruh manusia.” (H.R. Ibnu Majah).
Di riwayatkan pula
dari Abu ‘Utsman An Nahri r.a. yang berkata, “Aku mendengar Sa’ad dan
Abu Bakrah masing-masing berkata, ‘Kedua telingaku telah mendengar dan hatiku
telah menghayati sabda Muhammad s.a.w., “siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai
anak) kepada orang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan
bapaknya, maka surga baginya haram.” (H.R. Ibnu Majah).
Diriwayatkan pula
dari Abu Hurairah r.a. bahwasannya tatkala turun ayat li’an dia mendengar
Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada
suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak
akan mendapat apapun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke
dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal
dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan akan tertutup darinya dan Allah
akan membeberkan perbuatannya itu dihadapan orang-orang yang terdahulu dan
kemudian (pada Hari Kiamat)” (H.R. Ad-Darimi).
Kloning manusia
yang bermotif memproduksi manusia-manusia unggul dalam hal kecerdasan, kekuatan
fisik, kesehatan, kerupawanan jelas mengharuskan seleksi terhadap orang-orang
yang akan dikloning, tanpa memperhatikan apakah mereka suami-isteri atau bukan,
sudah menikah atau belum. Sel-sel tubuh itu akan diambil dari perempuan atau
laki-laki yang terpilih. Semua ini akan mengacaukan, menghilangkan dan membuat
bercampur aduk nasab.
Keempat, memproduksi anak melalui proses
kloning akan mencegah (baca: mengacaukan) pelaksanaan banyak hukum-hukum syara’
seperti hukum tentang perkawinan, nasab, nafkah, hak dan kewajiban antara bapak
dan anak, waris, perawatan anak, hubungan kemahraman, hubungan ‘ashabah, dan
banyak lagi. Di samping itu, kloning akan mencampur-adukkan dan menghilangkan
nasab serta menyalahi fitrah yang telah diciptakan Allah untuk manusia dalam
masalah kelahiran anak. Konsekuensi kloning ini akan menjungkirbalikkan
struktur kehidupan masyarakat.
Professor
Abdulaziz Sachedina of the University of Virginia, merujuk pada ayat Al-Quran
surat Al-Mukminun 12-14, bahwa ilmuwan yang mengadakan kloning tidak
mempercayai Allah adalah pencipta yang paling sempurna terhadap makhluknya.
Usaha mengkloning adalah usaha mengingkari kesempurnaan Allah.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ
سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ.
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي
قَرَارٍ مَكِينٍ.
ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً
فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا
الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ
أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ.
“Dan
Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging.
Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah
Allah, Pencipta yang paling baik (AQS. Al-Mukminun: 12-14).
Hasil konferensi
tahun 1997 oleh Islamic Fiqh mengemukakan pandangan bahwa
Allah adalah pencipta alam semesta, seminar ini menyimpulkan bahwa Kloning
manusia itu haram dan Kloning terhadap hewan itu halal, Kloning terhadap
manusia itu akan menimbulkan masalah komplek sosial dan moral. M.Quraish Shihab
dalam Zamroni (2007) menyatakan bahwa seperti yang dikutip dalam Al-Islam dan
iptek, bahwa Islam tidak pernah memisahkan ketetapan ketetapan hukumnya dari
moral. Sehingga dalam kasus kloning, walaupun dalam segi akidah tidak melanggar
‘wilayah kodrat Ilahi’, namun karena dari moral teknologi kloning
dapat mengantar kepada pelecehan manusia, maka dilarang lahir dari aspek ini.
Dengan demikian, perlu disadari bahwa hal ihwal tentang penciptaan (setiap yang
hidup/bernyawa) adalah wilayah kekuasan Tuhan yang sangat mustahil untuk dapat
ditiru oleh ilmuan sejenius apapun, kesadaran ini perlu ada dalam jiwa manusia
untuk lebih bijaksana dalam menjelajahi ilmu pengetahuan, atau paling tidak
meminimalisir sikap coba-coba yang akan menyebabkan organism dan gen atau
bahan-bahan dasar lainnya terbuang sia-sia atau dimatika begitu saja dengan
unsur kesengajaan yang lebih besar hanya demi tekologi.
Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional VI MUI di Jakarta pada tahun 2000
telah menetapkan fatwa tentang kloning. Dalam fatwa bernomor: 3/Munas
VI/MUI/2000 itu para ulama menetapkan kloning terhadap manusia dengan cara
bagaimanapun yang dapat berakibat pada pelipatgandaan manusia hukumnya adalah
haram. Namun, para ulama membolehkan kloning terhadap
tumbuh-tumbuhan dan hewan. “Kloning terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan
hukumnya boleh (mubah) sepanjang dilakukan demi kemaslahatan dan atau untuk
menghindarkan hal-hal negatif,” demikian fatwa yang ditandatangani
Ketua MUI Prof. Umar Shihab itu. Dalam fatwanya, MUI mewajibkan kepada semua
pihak terkait untuk tidak melakukan atau mengizinkan eksperimen atau praktik
kloning terhadap manusia. MUI juga mewajibkan kepada para ulama untuk
senantiasa mengikuti perkembangan kloning serta menyelenggarkan kajian-kajian
ilmiah untuk menjelaskan hukumnya.
-
Pandangan Agama Kriten-Katholik
Pandangan Kristen
mengenai proses kloning manusia dapat ditelaah dalam terang beberapa prinsip
Alkitabiah. Pertama, umat manusia diciptakan dalam rupa Allah, dan karena itu,
bersifat unik. Kejadian 1:26-27 menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam rupa
dan gambar Allah, dan bersifat unik dibandingan dengan ciptaan-ciptaan lainnya.
Jelaslah bahwa itu adalah sesuatu yang perlu dihargai dan tidak diperlakukan
seperti komoditas yang dijual atau diperdagangkan. Sebagian orang mempromosikan
kloning manusia dengan tujuan untuk menciptakan organ pengganti untuk
orang-orang yang membutuhkan pengcangkokan namun tidak dapat menemukan donor
yang cocok.
Pemikirannya
adalah mengambil DNA sendiri dan menciptakan organ duplikat yang terdiri dari
DNA itu sendiri akan sangat mengurangi kemungkinan penolakan terhadap organ
itu. Walaupun ini mungkin benar, masalahnya melakukan hal yang demikian amat
merendahkan kehidupan manusia. Proses kloning menuntut penggunaan embrio
manusia; dan walaupun sel dapat dihasilkan untuk membuat organ yang baru, untuk
mendapatkan DNA yang diperlukan beberapa embrio harus dimatikan. Pada
hakikatnya kloning akan “membuang” banyak embrio manusia sebagai “barang
sampah,” meniadakan kesempatan untuk embrio-embrio itu bertumbuh dewasa.
Mengenai apakah
klon memiliki jiwa, kita lihat kembali pada penciptaan hidup. Kejadian 2:7
mengatakan, “Ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah
dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu
menjadi makhluk yang hidup.” Inilah gambaran Allah menciptakan jiwa manusia.
Jiwa adalah siapa kita, bukan apa yang kita miliki (1 Korintus 15:45).
Banyak orang
percaya bahwa hidup tidak dimulai pada saat pembuahan dengan terbentuknya
embrio, dan karena itu embrio bukan betul-betul manusia. Alkitab mengajarkan
hal yang berbeda. Mazmur 139:13-16 mengatakan, “Sebab Engkaulah yang
membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur
kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan
jiwaku benar-benar menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika
aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi
yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu
semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari
padanya”.
Selanjutnya,
Yesaya 49:1-5 berbicara mengenai Allah memanggil Yesaya untuk melayani sebagai
nabi ketika dia masih berada dalam kandungan ibu. Yohanes Pembaptis juga
dipenuhi dengan Roh Kudus ketika dia masih berada dalam kandungan (Lukas 1:15).
Semua ini menunjuk pada pendirian Alkitab bahwa hidup dimulai pada saat
pembuahan. Dalam terang ini, kloning manusia, bersama dengan dirusaknya embrio manusia,
tidaklah sejalan dengan pandangan Alkitab mengenai hidup manusia.
Lebih dari itu,
apabila manusia diciptakan, tentulah ada Sang Pencipta, dan karena itu manusia
tunduk dan bertanggung jawab kepada Sang Pencipta itu. Sekalipun pandangan umum
– pandangan psikologi sekuler dan humanistik – mau orang percaya bahwa manusia tidak
bertanggung jawab kepada siapapun kecuali dirinya sendiri, dan bahwa manusia
adalah otoritas tertinggi, Alkitab mengajarkan hal yang berbeda. Alkitab
mengajarkan bahwa Allah menciptakan manusia, dan memberi manusia tanggung jawab
atas bumi ini (Kejadian 1:28-29 dan Kejadian 9:1-2). Tanggung jawab ini adalah
akuntabilitas kepada Allah. Manusia bukan penguasa tertinggi atas dirinya dan
karena itu dia tidak dalam posisi untuk membuat keputusan sendiri mengenai
nilai hidup manusia. Ilmu pengetahuan juga bukan otoritas yang menentukan etis
tidaknya kloning manusia, aborsi, atau eutanasia.
Menurut Alkitab,
Allah adalah satu-satuNya yang memiliki hak kedaulatan mutlak atas hidup
manusia. Berusaha mengontrol hal-hal sedemikian adalah menempatkan diri pada
posisi Allah.Jelaslah bahwa manusia tidak boleh melakukan hal demikian. Kalau
kita melihat manusia semata-mata sebagai salah satu ciptaan dan bukan sebagai
ciptaan yang unik, dan manusia adalah ciptaan yang unik, maka tidak sulit untuk
melihat manusia tidak lebih dari peralatan yang perlu dirawat dan diperbaiki.
Namun kita bukanlah sekedar kumpulan molekul dan unsur-unsur kimia. Alkitab
dengan jelas mengajarkan bahwa Allah menciptakan setiap kita dan memiliki
rencana khusus untuk setiap kita. Lebih lagi, Dia menginginkan hubungan pribadi
dengan setiap kita, melalui Anak-Nya, Yesus Kristus. Sekalipun ada aspek-aspek
kloning manusia yang mungkin bermanfaat, umat manusia tidak punya kontrol
terhadap arah perkembangan teknologi kloning. Adalah bodoh kalau beranggapan
bahwa niat baik akan mengarahkan penggunaan kloning. Manusia tidak dalam posisi
untuk menjalankan tanggung jawab atau memberi penilaian yang harus dilakukan
untuk mengatur kloning manusia.
-
Pandangan Agama Hindu
Pada ajaran Hindu dikenal adanya Dewi
Saraswati, sebagai perwujudan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), yang
melambangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, yang memberikan kebahagiaan
dan kesejahteraan material dan spiritual. Oleh karena itu pengembangan ilmu
pengetahuan hendaknya tidak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan, moral, etika
dan spiritual. Ini berarti bahwa menurut ajaran Agama Hindu, ilmu pengetahuan
tidak bebas nilai, harus memperhatikan nilai-nilai moralitas dan etika. Ilmu
pengetahuan akan mempunyai makna bila senantiasa berlandaskan nilai moral,
etika serta spiritual. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh dilepaskan
dari frame ajaran moral, etika, dan spiritual (Badan Pembinaan Hukum Nasional,
2012).
Munculnya
teknologi kloning hendaknya juga diarahkan untuk tujuan mensucikan dan
meningkatkan moral, etika dan spiritual umat manusia. Cerita-cerita mitos
keagamaan pada masa lalu meenggambarkan proses kloning dan rekayasa genetika.
Di dalam cerita Mahabarata digambarkan kelahiran Kurawa yang dapat
diinterpretasikan sebagai kloning. Kurawa yang berjumlah seratus orang berasal
dari gumpalan darah yang dieram kemudian berubah menjadi manusia dengan
sifat-sifat raksasa yang buas.
Dalam Kitab Puruna
ditemukan cerita-cerita keagamaan kuno yang menggambarkan lahirnya
monster-monster hasil rekayasa genetika. Dalam kekawain Bhomantaka
diceriterakan tentang raksasa (monster) bernama Bhoma yang dilahrkan karena
perkawinan Visnu dengan Pertiwi. Akibat perkawinan ini lahirlah monster raksasa
yang sangat menakutkan yang kemudian menghancurkan bumi dan surga. Monster ini
kemudian berhasil dimisnahkan oleh Kresna. Secara normal pengembangan jenis
atau keturunan, masingmasing organisme oleh Tuhan telah ditetapkan suatu
rancangan pembiakan melalui rahim (jiwaja) melalui bertelur (andaja) melalui
biji (udbija) dan dengan panas (swedaja). Selengkapnya diuraikan sebagai
berikut: (Pudja & Sudharta, Tanpa tahun).
Pacawacca mrgacaiwa
Wyataccobbayatodatah
Raksamsi ca picacacca
Manusyacca jarayujah
(Manu Smerti: I, 43)
“Binatang ternak, kijang,
binatang pemakan daging yang bergigi dua baris, raksasa dan manusia lahir dari
kandungan”.
Armajah pakasinah sarpa
Nakramatsyacca kaccapah
Yani caiwam prakarani
Sthalajonyadakani ca
(Manu Smerti: I.44)
“Dari telur lahirlah
burung-burung, ular, buaya, ikan, kura-kura, dan binatang lain yang hidup di
darat dan yang hidup di air”.
Swedajam damcamacakam
Yukamaksikamatkunam
Usmanaccopajayante
Yaccanyatkimciditrcam
(Manu Smerti: I.45)
“Demikian pula insek
berlendir panas, insek penyengat dan penggigit, kutu-kutu busuk dan semua jenis
insek lahir karena panas”.
Udbhijjah sthawarah sarwe
Bijakandaprarohinah
Osadhyah phalapkanta
Bahu puspa phalopagah
(Manu Smerti: I. 46)
“Semua jenis tanaman,
baik yang tumbuh dari biji atau dari tepung sari, yang tumbuh dari putik,
demikian pula tumbuh tumbuhan musiman yang berbunga dan berbuah banyak mati
setelah lewat musim berbuah”.
Tuhan menciptakan
manusia berpasang-pasangan sebagai lelaki dan perempuan untuk dapat
mengembangakan keturunan. Untuk menjadi ibu, wanita itulah yang diciptakan dan
untuk menjadi ayah laki-laki itulah yang diciptakan, karena itu upacara agama
ditetapkan dalam Wedda untuk dilaksanakan oleh suami bersama istri (manu
Smerti: IX.96). Dari kutipan sloka-sloka itu terkandung isyarat dan prasyarat
yang harus diperhatikan dalam usaha mengembangkan keturunan, yaitu: Pertama,
kelahiran manusia sebagai lelaki atau perempuan adalah kodrat. Hidup yang baik
adalah hidup yang sesuai dengan kodrat itu sendiri yang sifatnya niscaya. Hidup
yang sesuai dengan kodrat adalah hidup yang baik karena dapat ikut ambil bagian
dalam rencana Tuhan. Kedua, untuk membentuk keluarga dengan
maksud supaya ada keturunan, wajib menempuh samsara wiwaha yang telah
ditetapkan dalam Weda. Diluar itu dianggap tidak sah. Ketiga, kodrat
manusia untuk mengembangbiakkan keturunan melalui proses kehamilan (rahim).
Kloning tidak
lepas dari proses seleksi, hal ini berarti akan mengorbankan fetus hasil
kloning yang tidak mempunyai kualitas yang baik. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya bahwa sejak terjadi pertemuan antara sonita dan sukra maka sejak
itulah telah ada kehidupan. Kegiatan seleksi dengan meniadakan fetus-fetus
tersebut berarti melakukan pembunuhan. Hal ini sangat bertentangan dengan
ajaran agama Hindu. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh para ilmuwan yang
bermaksud melakukan kloning manusia adalah untuk menolong pasangan suami istri
yang mengalami kesulitan mendapatkan keturunan secara alami maupun secara in
vitro. Tidak dapat disangkal keberadaan anak di dalam suatu keluarga merupakan
suatu hal yang penting. Kitab Weda pun juga menjelaskan betapa pentingnya
keberadaan anak di dalam suatu keluarga. Beberapa sloka menunjukkan hal
tersebut, yaitu antara lain:
Yad apipesa mataram
Putrah pramudito dhayan
Etat tad agne amrno
bhawami
(Yayurweda XIX.11)
“Sang Hyang Agni, Kami
bebas dari hutang setelah seorang putra lahir pada kami yang menghisap payudara
ibunya dengan riang gembira dan menginjak-injak tubuh ibunya itu”.
Acchmam tantum anu sam
tarema
(Atharweda VI.122.1)
“Kita dapat menyeberangi
lautan kehidupan dengan memelihara garis keturunan/melahirkan putra saputra”.
Namun demikian hal
tersebut tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi kegiatan kloning manusia.
Karena pada hakekatnya mempunyai keturunan bukan satu-satunya tujuan
perkawinan. Menurut ajaran agama Hindu tujuan perkawinan adalah meliputi
dahrmasampatti (bersama suami istri mewujudkan pelaksanaan dharma), praja
(melahirkan keturunan) dan rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan
indria lainnya). Jadi tujuan utama dalam perkawinan adalah melaksanakan dharma
(Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2012).
-
Pandangan Agama Budha
Buddhisme menyatakan
bahwa sel-sel tubuh tak dianggap sebagai makhluk hidup. Yakni, tidak dikenal
bahwa masing-masing sel, jaringan, maupun organ di tubuh kita itu memiliki
unsur batiniah (Pali: nama). Jadi sel ovum dan sperma bukanlah termasuk makhluk
hidup yang memiliki kesadaran. Tetapi setelah terjadinya pembuahan (bersatunya
ovum dan sperma), maka terbentuklah secara perlahan-lahan sel-sel yang akan
tumbuh menjadi fetus melalui proses yang dikenal sebagai embryogenesis. Bayi
yang lahir tersebut memiliki unsur batiniah (nama) dan fisik (rupa).
Badan Pembinaan Hukum
Nasional (2012) menjelaskan pada therapeutic cloning (kloning
jaringan dan organ), stem cell terbentuk sekitar 4-5 hari
setelah pembuahan (fertilization). Dalam tahap ini, tidak ditemukan bukti-bukti
adanya kesadaran. Karena kesadaran sangat erat hubungannya dengan sistem
syaraf, yakni tanpa sistem syaraf kesadaran kita tak akan berfungsi, maka patut
kita teliti kapan mulai terbentuknya sistem syaraf dalam proses embryogenesis
ini. Proses terbentuknya sistem syaraf dalam embryogenesis dikenal sebagai
neurulation, dan prosesnya dimulai sekitar minggu ketiga setelah pembuahan
(Ref: Am J Med Genet C Semin Med Genet, 135C(1): 2-8). Ini adalah saat yang
paling awal embryo tersebut dapat dikatakan memiliki sistem syaraf. Saat ini
sistem syarafnya masih baru saja mulai terbentuk, dan tentunya masih jauh dari
selesai. Oleh karena alasan inilah, maka tahap embryogenesis di hari 4-5
post-fertilization itu masih belum dapat tergolong sebagai makhluk hidup. Dan
pengambilan stem cell dari tahap embryogenesis ini seharusnya tak dianggap
sebagai pembunuhan karena belum dapat tergolong sebagai makhluk hidup, yakni belum
terdapat bukti telah terbentuknya kesadaran. Dari argumen ini, maka therapeutic
cloning, andaikata saja dilakukan di minggu pertama pembuahan, tak dapat
disebut sebagai pembunuhan. Dengan sendirinya, praktek therapeutic
cloning seharusnya tidak dianggap bertentangan dengan etika Buddhis
(Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2012).
Menanggapi reproductive
cloning, buddhisme berpendapat bahwa munculnya/terbentuk nya makhluk hidup
bukanlah berasal dari hasil ciptaan, akan tetapi berasal dari kegelapan batin
(Ref: Samyutta Nikaya 12.2). Karena kegelapan batin inilah, makhluk bertumimba
lahir. Dengan lenyapnya kegelapan batin ini, maka lenyap juga tumimba lahir
ini. Di sini tidak dikenal adanya ‘ego’ (roh, inti, keabadian mutlak), dan
makhluk hidup terus bertumimba lahir dikarenakan kegelapan batin ini. Ajaran
ini dikenal juga sebagai hukum sebab akibat (Pali: paticcasamupada) , yakni
terbentuknya segala sesuatu adalah karena adanya penyebab. Dengan berakhirnya
penyebab tersebut, maka berakhir pula akibatnya. Oleh karena itu, konsep reproductive cloning tidak dapat
dikatakan bertentangan dengan ajaran Buddha.
Kloning sebenarnya
bukanlah proses ilmiah yang aneh dalam pandangan Buddhisme karena Buddhisme
selalu memandang segala sesuatu sebagai rantaian sebab akibat. Proses cloning
hanya dapat berhasil setelah ilmuwan mengerti sebab akibatnya, yakni embryo
dapat terbentuk dari hasil pembelahan sel ovum yang bernucleus diploid (2 set kromosom).
Dengan menyediakan kondisi yang cocok untuk perkembangan embryo, maka tak heran
bayi akan terbentuk. Jadi bila kondisi yang tepat ada, maka akan bersatulah
unsur batiniah (nama) dan fisik (rupa) yang kemudian akan lahir menjadi seorang
bayi. Walau dalam aspek filsafat, reproductive
cloning tak bertentangan dengan ajaran Buddha, akan tetapi dalam aspek
pragmatic, reproductive cloning masih mengalami banyak
permasalahan teknis.
Banyak bukti-bukti yang
menunjukan bahwa clone memiliki abnormalitas yang belum jelas penyebabnya.
Ilmuwan berpendapat bahwa inti sel yang diambil dari induk tersebut mungkin tak
optimal untuk dipakai dalam kloning karena semakin pendeknya telomer (ujung DNA
akan menjadi semakin pendek setiap kali sel membelah diri). Banyak clone yang
tak dapat hidup sepanjang usia induk mereka. Maka ilmuwan seharusnya memikul
tanggung jawab yang berat ini, dan seharusnya reproductive cloning tidak
dipraktekkan, apalagi dalam skala besar, sampai setelah permasalahan teknis ini
telah dapat ditanggani. Tetapi tentunya untuk menanggani permasalahan teknis
ini diperlukan percobaan, eksperimen (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2012).
Berdasarkan
pandangan-pandangan dari masing-masing agama di atas, sebagian besar agama
menyatakan bahwa kloning terhadap manusia merupakan suatu bentuk perkembangan
iptek yang melanggar kodrat manusia dan merupakan perbuatan yang haram hukumnya
untuk dilakukan karena bertentangan dengan ajaran Tuhan, karena hanya Tuhanlah
yang memiliki wewenang terhadap penciptaan mahluk hidup terutama manusia dan
Tuhan lah yang menentukan hidup dan matinya seseorang di muka bumi ini, sehingga dari hal ini dapat dilihat bahwa
dalam perspektif Hukum Alam atau Kodrat terhadap isu kloning terhadap manusia,
Hukum alam jelas sangatlah menolak atau menentang dilakukannya kloning terhadap
manusia karena hal ini termasuk salah satu contoh perbuatan yang melampaui
kodrati manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan dan juga hal ini bertentangan
dengan ajaran Tuhan (lex eterna).
2. Kloning Terhadap Manusia dari Perspektif
Aliran Positivisme Hukum
-
Sekilas tentang Positivisme Hukum
Dalam positivisme hukum,
keseluruhan peraturan perundang-undangan pada hakekatnya sebagai suatu yang
memuat hukum secara lengkap sehingga tugas hakim selanjutnya adalah menerapkan
ketentuan undang-undang tersebut secara mekanis dalam menyelesaikan permasalahan
yang ada di masyarakat, sesuai dengan yang telah ditentukan dalam
undang-undang. Namun, paradigma positivisme hukum menempakan hakim sebagai
tawanan undang-undang, tidak memberikan kesempatan kepada pengadilan untuk
menjadi suatu institusi yang dapat mendorong perkembangan masyarakat.
Positivisme hukum
merupakan kepanjangantangan dari paradigma Cartesian Newtonian. [11]
Cartesian Newtonian telah membawa pengaruh yang paling mendasar terhadap
positivisme ilmu yang kemudian memperngaruhi positivisme hukum adalah pandangan
dualism dan reduksionis. Dengan pandangan dualisme ini, hukum dipisahkan dari
keadilan karena terlalau menitikberatkan ke hal terkait definisi, konsep serta
deskripsi, dan berkonsentrasi pada benuk dan isi hukum.[12]
Menurut Hans Kelsen, hukum harus terbebas dari segala unsur yang asing bagi
metode khsus dari suuatu ilmu yang tujuannya hanyalah pengetahuan hukum, bukan
pembentukannya. Bidang kajian ilmu hukum adalah hukum positif atau hukum yang
sesungguhnya yang berbeda dari hukum ideal yang disebut keadilan atau hukum
alam. Sehingga, hanya bersifat wadah dan tidak bersangkutan dengan isi hukm
yang bisa berubah dalam waktu tertentu.[13]
Sementara itu, pandangan
reduksionis telah memberikan pengaruh terhadap positivisme hukum dalam
mereduksi realita hukum yang terdiri dari realita ide (kapasias akal budi),
realita material (aktual) dan realita artifisal menjadi tunggal. Jika dikaitkan
dengan teori dai Hans Kelsen yaitu the
pure theory of law, maka hukum harus dibersihkan dari unsur non yuridis,
hukum harus mengabaikan pendekatan lain terhadap hukum. Hukum selalu merupakan
hukum positif dan positivisme hukm terletak pada fakta bahwa hukum dibuat dan
dihapuskan oleh tindakan-tindakan manusia, jadi terlepas dari unsur moralitas
dan sistem-sistem norma itu sendiri.[14]
Dalam pandanan
positivisme hukum, tata hukum suatu negara berlaku bukan karena memiliki dasar
dalam kehidupan sosial, namun karena mendapatkan bentuk positifnya dari suatu
institusi yang berwenang dan hukumhanya dikenal sebagai hukum formal, sehingga
harus dipisahkan dari bentuk materialnya, hal ini dikarenakan akan merusak
kebenaran ilmiah hukum itu sendiri.[15]
Menurut H.L.A Hart yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, pada dasarnya dari positivisme
hukum itu adalah :[16]
1. Hukum hanyalah perintah penguasa;
2. Tidak ada hubungan mutlak antara hukum,
moral dan etika;
3. Analisa tentang konsepsi-konsepsi hukum
dibedakan dari penyelidikan sejarah dan sosiologis;
4. Sistem hukum harus sistem yang logis,
tetap dan bersifat tertutup yang diperoleh atas dasar logika tanpa
mempertimbangkan aspek sosial, politik, moral.
-
Analisis Isu Kloning terhadap Manusia dalam Perspektif Positivisme Hukum
Maraknya
penelitian-penelitian tentang kloning yang melibatkan manusia sebagai subjeknya
tak lepas dari bidang hukum. Jika melihat dalam perspektif positivsime hukum
terkait dengan isu kloning, maka kloning terhadap manusia dapat untuk
dilaksanakan selagi tidak terdapat hukum
positif yang dapat menjerat pelaku kloning dalam melaksanakan aksinya, hal ini
sesuai dengan asas legalitas sebagai salah satu bentuk perwujudan dari
positvisme hukum yang berbunyi Nullum
Delictum Noela Poena Sine Praevia Lege Poenali
yang mengandung makna tiada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan
aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan
tersebut dilakukan.
Terkait dengan
pengaturan Kloning secara eksplisit, salah satu negara Asia yang menerapkan
hukum positif tentang reproduksi kloning yaitu Korea Selatan. Parlemen Korea Selatan
menetapkan peraturan berkaitan dengan kloning manusia. Dalam peraturan tersebut
dijelaskan bahwa “barang siapa yang melakukan kloning diancam hukuman maksimal
tiga tahun penjara”. Kementerian kesehatan Korea Selatan menyatakan bahwa
kloning yang menyilangkan dua spesies berbeda (cross-species cloning), dimana DNA sel somatik manusia
diintegrasikan pada telur binatang atau perilaku semacamnya, akan diancam
hukuman penjara hingga maksimal tiga tahun. Hukum ini bertujuan untuk
meninggikan bioethic.[17]
Dalam Deklarasi
Persatuan Bangsa-Bangsa tentang kloning pada manusiapun (United Nations
Declaration on Human Cloning, 2005) telah dinyatakan bahwa negara anggota
termasuk Indonesia harus mencegah segala bentuk kloning pada manusia yang tidak
sesuai dengan harkat martabat manusia dan harus melindungi makhluk insani.[18]
Terkait dengan
pengaturannya di Indonesia, Kloning secara eksplisit memang tidak diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Akan tetapi dikarenakan
kloning merupakan metode prokreasi tanpa melalui proses aseksual, maka hal
tersebut dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan upaya kehamilan di luar cara
alamiah sebagaimana yang telah diatur
ketentuannya dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (“UU
Kesehatan”). Dalam Pasal 127 Ayat (1) UU Kesehatan disebutkan bahwa upaya
kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri
yang sah dengan ketentuan, yakni hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami
istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal,
dilakukan oleh Tenaga Kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
itu,[19]
dan pada fasilitas kesehatan tertentu. Dilanjutkan pada ayat (2), ketentuan
mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah yang
dimaksud dalam pasal tersebut adalah Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014
Tentang Kesehatan Reproduksi (“PP Kesehatan Reproduksi”). Dalam Pasal 40 Ayat
(1) disebutkan bahwasanya reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara
alamiah hanya dapat dilakukan pada pasangan suami istri yang terikat perkawinan
yang sah dan mengalami ketidaksuburan atau infertilitas untuk memperoleh
keturunan.[20] Kemudian Ayat (2)
menjelaskan bahwa dilaksanakan dengan menggunakan hasil pembuahan sperma dan
ovum yang berasal dari suami istri yang bersangkutan dan ditanamkan dalam rahim
istri dari mana ovum berasal.[21]
Kemudian disebutkan pula dalam melakukan reproduksi dengan bantuan atau
kehamilan di luar cara alamiah, harus dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta tidak bertentangan dengan norma agama. Hal
tersebut diperjelas dengan ketentuan bahwa reproduksi dengan bantuan atau
kehamilan di luar cara alamiah juga harus dilakukan oleh Tenaga Kesehatan yang
mempunyai kompetensi dan kewenangan.
Jika dikaitkan peraturan
atau hukum positif tersebut dengan Kloning terhadap manusia yang dilakukan
tanpa melalui proses perkawinan yang sah dan dapat menggunakan sel telur serta
sel apa saja selain sperma dari suami istri yang bersangkutan maka sudah sangat
jelas Kloning terhadap manusia bertentangan atau melanggar hukum positif di
Indonesia tepatnya pada pasal 127 UU Kesehatan dan juga melanggar ketentuan
pada Pasal 40 ayat (2) PP kesehatan reproduksi dikarenakan Kloning terhadap
manusia juga bertentangan dengan norma agama.
Selain itu, bantuan infertilitas dalam metode kloning merupakan pemecah
masalah dari ketidaksuburan yang dialami oleh wanita. Namun, tidak dapat
mengabaikan fakta bahwa para ilmuwan pencipta kloning domba Dolly harus
melakukan percobaan sebanyak 277 kali agar berhasil. Clonaid, pencipta bayi
Eve, mengklaim bahwa pihaknya menggunakan lebih dari 200 sel telur manusia dari
sel dewasa untuk mendapatkan sepuluh yang tumbuh normal tetapi hanya lima
yang dapat dimplantasikan dengan sukses. Bercermin dari eksperimen-eksperimen
tersebut, kloning untuk manusia akan melewati prosedur yang jauh lebih rumit
dan tidak menutup kemungkinan terjadi pembunuhan ataupun kematian embrio dalam
janin nantinya.
Pembunuhan ataupun
kematian embrio menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan suatu
bentuk kejahatan sehingga dapat dijatuhi sanksi pidana. Pengaturan lebih rinci
terkait pasal dalam KUHP yang dimaksud terdapat dalam beberapa pasal, yakni Pasal
346 KUHP jika pelakunya merupakan perempuan, Pasal 347 jika pelakunya orang
lain dengan tidak memiliki izin perempuan, Pasal 348 jika pelakunya merupakan
orang lain dengan memiliki izin perempuan, dan Pasal 349 jika pelakunya
memiliki jabatan.[22]
Di samping itu, menurut Hukum Perdata, embrio yang terdapat dalam janin manusia
sudah dapat dikatakan sebagai subjek hukum karena dianggap telah hidup sehingga
memiliki hak terkait hak waris sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 852 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).[23]
Teranglah diketahui, jika terjadi kematian ataupun terbunuhnya embrio akan
berpengaruh terhadap hak waris anak tersebut, yang mana menyebabkan hak anak
tersebut atas waris hilang karena dianggap tidak pernah ada.
Lahirnya embrio tersebut
ke dunia ternyata tidak menyelesaikan permasalahan hukum dengan begitu saja.
Embrio yang lahir dan menjadi seorang manusia akan mengalami kesulitan
mengetahui status hukumnya dalam hak pewarisan dan dalam hal pembuktian
pengingkaran dan/atau pengakuan anak di kemudian hari, yang memerlukan tes DNA
ataupun Akta Kelahiran. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan (UU Perkawinan), anak yang sah merupakan anak yang dilahirkan dalam
atau akibat perkawinan yang sah.[24]
Anak yang lahir menggunakan metode kloning nantinya hanya akan memiliki
hubungan darah dengan salah satu pihak, baik ibu atau ayah, bahkan tidak
menutup kemungkinan lahir hubungan darah dengan pihak lain di luar kedua orang
tua sebab sel telur dan DNA yang diambil berasal dari orang lain.
Salah satu kemungkinan
penyebab berbedanya hubungan darah karena adanya pembuahan di luar rahim oleh
sel telur milik ibu pengganti (surrogate mother). Surrogate
mother merupakan suatu perjanjian antara seorang wanita yang
mengikatkan diri melalui suatu perjanjian dengan pihak lain (suami istri) untuk
menjadi hamil terhadap hasil pembuahan suami istri tersebut yang ditanamkan ke
dalam rahimnya, dan setelah melahirkan diharuskan menyerahkan bayi tersebut
kepada pihak suami isteri berdasarkan perjanjian yang dibuat. Dengan kata lain,
perempuan penampung pembuahan telah menyewakan rahimnya. Perjanjian sewa rahin
ini bila mengacu pada Hukum Positif Indonesia tidak diperbolehkan karena
prokreasi yang terjadi bukan berasal dari pasangan suami istri yang terikat perkawinan
sah. Apabila terdapat polemik mengenai status hukum anak dalam waris, anak
tersebut akan bergantung pada pembuktian pengingkaran dan/atau pengakuan anak
yang bukan jalan mudah untuk ditempuh.
Hukum Positif Indonesia
juga mengacu pada ketentuan Hukum Islam ketika melangsungkan kloning. Islam
mempercayai bahwasanya hubungan suami istri melalui perkawinan merupakan
landasan bagi pembentukan masyarakat yang diatur berdasarkan tuntuhan Allah
swt. Anak yang lahir dalam perikatan perkawinan tidak hanya membawa komponen
genetik kedua orang tua, tetapi juga membawa identitas bagi anak. Kloning dalam
hal ini dipercayai akan berujung pada hilangnya garis keturunan yang berakibat
hilangnya hak anak dan terabaikannya sejumlah hukum yang timbul. Kemudian
dikarenakan proses prokreasi dapat dilakukan secara aseksual, maka institusi
perkawinan yang telah disyariatkan sebagai media berketurunan secara sah tidak
diperlukan lagi, lembaga keluarga melalui perkawinan menjadi hancur, dan tidak
ada lagi saling memerlukan antara laki-laki dan perempuan.
Setelah memaparkan
penjelasan mengenai perspektif hukum positif di Indonesia terhadap isu kloning
di atas, sudah teranglah bahwasanya dalam pandangan positivisme hukum, kloning
terhadap manusia jugalah tidak dapat dibenarkan, walaupun tidak ada UU yang
mengatur secara eksplisit terkait Kloning, akan tetapi secara tidak langsung
perbuatan Kloning terhadap manusia bertentangan dengan beberapa pasal dalam
Hukum Positif di Indonesia seperti UU Kesehatan, PP Kesehatan Reproduksi, KUHP,
UU Perkawinan, dan juga Hukum Islam. Namun walaupun Kloning belum diatur secara eksplisit dalam
Hukum Positif Indonesia akan tetapi Kloning tetap dapat melanggar beberapa
hukum positif Indonesia, sebaiknya untuk kedepannya tetaplah perlu diatur lebih
lanjut hukum mengenai kloning sehingga terdapat kepastian hukum yang lebih kuat
lagi dan para pihak yang dirugikanpun dapat memperoleh payung hukum.
3.
Kloning Terhadap Manusia dari Perspektif Aliran Utilitarianisme
-
Sekilas tentang Aliran Utilitarianisme
Aliran Utilitarianisme
merupakan tradisi pemikiran moral yang berasal dari Inggris, yang kemudian
menyebar ke seluruh kawasan yang berbahasa Inggris. David Hume (1711-1776),
filsuf Skotlandia, merupakan pemrakarsa awal penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan aliran ini. Ia telah menemukan istilah Utilitarianism. Hume yakin
bahwa baik adalah tindakan yang memiliki utility dalam arti ‘tindakan itu
membuatmu dan banyak orang lain menjadi bahagia’. Namun , ia tidak
pernah mengembangkan ide ini dalam suatu teori yang komprehensif. Baru
kemudian, Utilitarianisme dalam bentuknya yang matang dikembangkan oleh filsuf
Inggris, Jeremy Bentham (1748-1832), sebagai sistem moral bagi abad baru,
melalui bukunya yang terkenal Introduction to the Principles of
Morals and Legislation 1789).
Menurut Bentham,
utilitarianisme dimaksudkan sebagai dasar etis-moral untuk memperbaharui hukum
Inggris , khususnya hukum pidana. Dengan demikian, Bentham hendak mewujudkan
suatu teori hukum yang kongkret, bukan yang abstrak. Ia berpendapat bahwa
tujuan utama hukum adalah untuk memajukan kepentingan para warga Negara dan bukan
memaksakan perintah-perintah Tuhan atau melindungi apa yang disebut hak-hak
kodrati. Oleh karena itu, Bentham beranggapan bahwa klasifikasi kejahatan dalam
hukum Inggris sudah ketinggalan zaman dan karenanya harus diganti dengan yang
lebih up to date. Melalui buku tersebut, Bentham menawarkan suatu
klasifikasi kejahatan yang didasarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan yang
terakhir ini diukur berdasarkan kesusahan dan penderitaan yang diakibatkannya
terhadap para korban dan masyarakat.[25]
Bentham menawarkan suatu
hukum dan moralitas yang ‘ilmiah’ dengan cara yang sama seperti klaim
sosiologi dan psikologi yang telah membuat kajian tentang manusia menjadi
ilmiah. Menurut Bentham, pada dasarnya setiap manusia berada di bawah pemerintahan
2 penguasa yang berdaulat : ketidaksenangan (pain) dan kesenangan (pleasure).
Menurut kodratnya, manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan.
Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Oleh
karena kebahagiaan merupakan tujuan utama manusia dalam hidup, maka suatu
perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau
mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Moralitas suatu perbuatan harus
ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan umat
manusia, bukan kebahagiaan individu yang egois sebagaimana dikemukakan
Hedonisme Klasik. Dengan demikian, Bentham sampai pada prinsip utama
utilitarianisme yang berbunyi : the greatest happiness of the
greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar).[26]
- Analisis Isu Kloning
terhadap Manusia dalam Perspektif Aliran Utilitarianisme
Terkait
dengan isu Kloning terhadap manusia jika merujuk pada aliran Utilitarianisme
maka yang perlu diketahui terlebih dahulu yakni kesenangan atau dampak positif
serta ketidaksenangan atau dampak negatif Kloning terhadap manusia, hal ini
perlu diketahui karena dasar pemikiran aliran Utilitarianisme terutama yang
dikemukakan oleh Jeremy Bentham yakni Kebahagiaan sebesar-besarnya dari
sebanyak-banyaknya orang untuk menghindari kesusahan atau ketidaksenangan. Oleh
karena itu berikut penjabaran terkait dengan dampak positif / manfaat dan
dampak negatif / kerugian dari Kloning terhadap manusia.[27]
-
Dampak Positif / Manfaat Kloning
·
Memperbaiki
kerusakan gen dan organ tubuh
Saat ini dunia
medis mengalami perkembangan teknologi yang semakin canggih. Hal ini
memungkinkan untuk dilakukannya operasi bedah guna memperbaiki bahkan mengganti
organ tubuh yang mengalami kerusakan fungsi melalui prosedur transplantasi.
Hingga saat ini telah banyak tindakan medis transplantasi organ yang dilakukan,
seperti ginjal, hati, kornea mata, bahkan jantung.
Untuk memperbaiki
atau mengganti organ tubuh yang mengalami kerusakan tentu saja harus didukung
dengan ketersediaan organ penggantinya. Selama ini, penggantian organ tubuh ini
tergantung dari ada tidaknya orang yang bersedia mendonorkan organ tubuhnya. Sayangnya,
tak banyak yang bersedia menjadi donor organ tubuh. Atas kendala tersebut,
kloning manusia bisa menjadi salah satu solusi untuk transplantasi organ tubuh
yang mengalami kerusakan atau gagal fungsi. Tak hanya itu, kloning manusia juga
dapat digunakan untuk memperbaiki atau menumbuhkan sel-sel baru guna
menggantikan sel-sel yang telah rusak atau hilang. Artinya, kloning pada
manusia memungkinkan untuk mengobati penyakit dan kelainan genetik.
- Mengobati
infertilitas
Setiap pasangan
tentu memimpikan hadirnya buah hati yang meramaikan suasana dan mengisi
hari-hari mereka. Namun sayangnya, tak semua pasangan mampu mewujudkan impian
tersebut karena mengalami infertilitas, baik pada salah satu pihak maupun
kedua-duanya. Kloning manusia dapat menjadi solusi bagi pasangan yang mengalami
infertilitas untuk memperoleh keturunan.
Sebagai ‘obat’
infertilitas, kloning manusia dilakukan dengan menggunakan sel somatik dewasa
yang ditanamkan ke dalam embrio, sehingga dapat menciptakan kehidupan baru.
Dengan begitu, pasangan yang mengalami infertilitas dapat berkesempatan untuk
memiliki anak secara biologis, meski sistem reproduksi yang dimiliki bermasalah
dan tidak mendukung kesuburan. Teknologi kloning ini memungkinkan setiap orang
untuk menjadi orang tua, bahkan jika mereka pasif secara seksual.
- Memperpanjang
usia
Di beberapa negara
maju, kemampuan hidup manusia rata-rata mencapai usia maksimal 85 tahun. Di
Amerika Serikat, rata-rata kemampuan hidup baik laki-laki maupun perempuan
adalah lebih dari 70 tahun. Sementara di Sierra Leone, rata-rata kemampuan
hidup lebih pendek yakni sekitar 49 tahun saja. Salah satu keuntungan dari
teknologi kloning adalah dapat memperpanjang usia manusia. Artinya, manusia
memiliki kesempatan untuk bertahan hidup lebih lama sehingga banyak hal yang
bisa dilakukan demi tercapainya kualitas hidup yang lebih baik. Kloning yang
mampu memperbaiki dan mengganti sel-sel rusak bahkan menumbuhkan sel-sel baru
tentu akan berpengaruh pada regenerasi sel, sehingga kemampuan hidup manusia
akan bertahan lebih lama.
- Mempercepat
pemulihan cedera traumatis
Kehidupan ini tak
lepas dari pepatah untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ada
keberuntungan, ada pula kemalangan. Selalu saja ada peristiwa mengerikan yang
dialami oleh setiap orang, baik kekerasan, kecelakaan lalu lintas, kerja, atau
saat berolahraga. Bagi mereka yang mengalaminya tentu tak hanya menimbulkan
trauma secara psikologis, tetapi juga fisik. Baik trauma fisik maupun psikis
membutuhkan waktu yang cukup lama dalam pemulihannya. Selain itu, bisa jadi
trauma tersebut tetap meninggalkan luka, dalam arti sulit untuk kembali ke
keadaan semula. Cedera traumatis yang dialami kemungkinan membekas secara
permanen dalam diri individu yang mengalaminya.
Tujuan kloning
manusia salah satunya adalah untuk membantu mempercepat pemulihan cedera
traumatis. Kloning dilakukan pada sel individu yang mengalami cedera sehingga
dapat mempersingkat waktu pemulihan. Tak hanya itu, dengan kloning penyembuhan
sempurna bisa saja terjadi. Artinya, individu yang mengalami cedera traumatis
dapat kembali ke keadaan semula baik secara fisik maupun psikis.
- Modifikasi
genetik
Genetik orang tua
udah pasti akan menurun kepada anaknya baik gen-gen pembentuk sifat baik maupun
yang buruk. Setiap calon orang tua tentu hanya bisa berharap anaknya mewarisi
gen-gen yang baik dari orang tuanya. Tak ada orang tua yang ingin anaknya lahir
dalam kondisi memiliki cacat bawaan. Semua orang tua pasti ingin anaknya lahir
dalam kondisi normal baik secara fisik maupun mental dan juga sehat. Sayang
faktanya cukup banyak anak yang lahir dalam kondisi cacat fisik maupun mental.
Teknologi kloning
memungkinkan dilakukannya modifikasi genetik. Keuntungannya mampu meminimalisir
bahkan mencegah cacat lahir. Dengan kloning, calon orang tua dapat memilih
sifat-sifat tertentu untuk anak-anak yang akan dilahirkan. Mulai dari jenis
kelamin, warna mata, bahkan karakteristik lainnya dapat dipilih sesuai
keinginan calon orang tua. Dengan demikian, anak-anak yang dilahirkan memiliki
gen terbaik sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup di masa mendatang
-
Sedangkan Dampak Negatif dari Kloning yakni :
- Dampak
biologis tidak dapat diprediksi
Kloning tak selalu
menghasilkan kehidupan baru yang istimewa dan super. Rekayasa genetik untuk
menghasilkan anak-anak dengan profil genetik tertentu, dikhawatirkan malah
menimbulkan terjadinya penurunan variasi genetik. Akibatnya, bukannya lebih
kuat, manusia justru lebih rentan terhadap berbagai penyakit dan kelainan
lainnya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bahwa manusia akan mengalami
perkawinan sedarah dengan dirinya sendiri sebagai hasil dari kloningannya.
Kemajuan teknologi
dan sains bukanlah segalanya, bisa saja positif tetapi tak menutup kemungkinan
juga menimbulkan dampak negatif. Tindakan rekayasa genetik bukan tanpa risiko.
Bahkan konsekuensi yang ditimbulkan bisa saja membahayakan. Konsekuensi rekayasa
genetik tidak bisa diduga ke depannya, bisa saja justru mengubah cara hidup
manusia, sehingga membahayakan umat manusia sebagai suatu spesies.
Individu-individu baru hasil kloning bisa saja tidak sempurna sehingga
mengalami masalah kesehatan yang lebih parah dibandingkan dengan inangnya.
- Membuka
kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin lebar
Teknologi kloning
tidaklah murah. Untuk kloning seekor primata saja menghabiskan dana sebesar US$
50.000, belum termasuk biaya perawatannya. Lantas, berapa biaya yang dibutuhkan
untuk kloning manusia? Tentu bisa lebih mahal. Kloning manusia akan membuka
kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat yang semakin lebar. Bagi mereka yang
mampu melakukan kloning, secara sosial akan menciptakan kelasnya sendiri.
Sementara mereka yang tidak mampu melakukan kloning, tidak menutup kemungkinan
akan dijauhi bahkan diabaikan oleh masyarakat. Secara sosial dan ekonomi, proses
kloning ini jelas menimbulkan dampak yang tidak baik. Masyarakat menjadi
terbelah berdasarkan strata ekonomi dan sosialnya, abai terhadap lingkungan
sekitar dan kepedulian terhadap sesama.
- Memicu
proses penuaan yang lebih cepat
Proses kloning
dilakukan dengan mengambil sel dari inang yang masih hidup untuk membuat
salinan dan menciptakan kehidupan baru. Tanpa disadari, dari proses ini ada
kemungkinan usia yang dicetak dapat diadopsi oleh embrio yang sedang tumbuh.
Akibatnya, individu hasil kloning bisa saja justru mengalami gangguan atau
masalah penuaan dini, bahkan kematian dini. Sebab, dalam setiap proses kloning
tak selalu mengalami kesuksesan. Alih-alih menciptakan kehidupan baru yang
lebih sempurna, tetapi justru menghasilkan malapetaka.
- Bertentangan
dengan etika agama
Kloning manusia
mendapat tentangan keras dari kalangan yang memiliki kepercayaan agama yang
kuat. Proses menghasilkan individu atau kehidupan baru dinilai telah melampaui
batas kewenangan manusia. Sebab proses menciptakan kehidupan atau individu baru
merupakan hak atau kuasa tertinggi dari Sang Pencipta.
Kemampuan memperpanjang usia, melahirkan anak dengan gen sempurna, dan keuntungan lain yang ditawarkan oleh kloning manusia dinilai menyalahi kodrat atau takdir yang telah digariskan oleh Sang Pencipta. Ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya memberikan manfaat sesuai dengan batas dan kemampuan manusia, bukan malah ‘mengambil’ sebagian kuasa Sang Pencipta untuk menciptakan kehidupan baru yang diklaim lebih sempurna.
- Mengganggu
keseimbangan alam
Alam bertumbuh
secara natural. Sementara kloning manusia sebagai proses buatan, dinilai dapat
mengganggu keseimbangan alam. Kehidupan tak lagi berjalan sebagaimana mestinya,
tetapi dapat dikoreksi atau diubah dengan cara tertentu. Jika modifikasi gen
dilakukan untuk menciptakan makhluk yang lebih pintar dibandingkan yang
lainnya, maka masyarakat justru tidak akan menerimanya.
- Mendegradasi
nilai kehidupan manusia
Kloning manusia
justru dapat mendegradasi nilai kehidupan manusia itu sendiri. Semakin banyak
kloning manusia yang dihasilkan, maka manusia tak lagi dinilai sebagai makhluk
sosial yang lebih mulia, tetapi hanya sebatas komoditas saja. Sebagai contoh,
orang tua yang tidak menyukai anak-anak karena fisik dan sifatnya tak sesuai
dengan harapannya, bisa saja mengkloning agar mendapatkan anak yang lebih
sempurna. Hal ini jelas buruk, sebab mengikis rasa kemanusiaan sebagai sifat
dasar manusia.
- Potensi
untuk eksploitasi pada aksi kejahatan
Film-film fiksi
mengenai kloning manusia yang menceritakan adanya konspirasi untuk
mengeksploitasi manusia kloning guna suatu kepentingan atau konspirasi jahat
mungkin terlihat mengada-ada, tapi bisa jadi benar adanya. Manusia-manusia
hasil kloning dieksploitasi untuk kepentingan pribadi orang lain guna mencapai
tujuan tertentu yang pastinya bukan sembarang kepentingan, bahkan mungkin
berafiliasi dengan aksi kejahatan, teror, atau yang lainnya.
Berdasarkan
pemaparan di atas terkait dampak positif dan dampak negatif dari Kloning dapat
diambil kesimpulan bahwa jika merujuk pada Perspektif Utilitarianisme yang pada
pokoknya merupakan upaya untuk sedapat mungkin memperoleh kebahagiaan hidup di
dunia ini, maka Kloning terhadap manusia secara individual memang dapat memberi
kebahagiaan atau kesenangan terhadap manusia yang semula tidak memiliki atau
tidak bisa meraih apa yang diinginkannya selama ini pada akhirnya dapat
dimiliki atau diraih seperti misalnya orang yang mengalami kerusakan atau
kecacatan organ, contohnya seperti orang yang mengalami kebutaan, mereka
tentunya sebelum mengenal Kloning pasti hidup penuh dengan
penderitaan/kesusahan dikarenakan tidak bisa melihat seisi dunia, namun Kloning
dapat memberikan kebahagiaan kepada mereka dengan melakukan transplantasi organ
tubuh hasil kloning sehingga mereka bisa melihat dunia dan pastinya mereka
mengalami kebahagiaaan dalam hidupnya. Contoh lain yakni misalkan suami istri
yang tidak bisa memiliki buah hati karena infertilitas pastinya mengalami
kesedihan mendalam, namun Kloning dapat memberi mereka kebahagiaan dengan
memberikan mereka kesempatan untuk memiliki anak secara biologis, meski sistem
reproduksi yang dimiliki bermasalah dan tidak mendukung kesuburan. Teknologi
kloning ini memungkinkan setiap orang untuk menjadi orang tua, bahkan jika
mereka pasif secara seksual.
Berdasarkan dua
contoh di atas dapat dilihat bahwa tujuan daripada teori Utilitarian memang
dapat tercapai dikarenakan Kloning nyatanya dapat menghindari manusia dari
kesusahan atau penderitaan, namun ini hanyalah untuk sebagian individu saja
dikarenakan kloning tidaklah memberi manfaat atau kebahagiaan dalam lingkup
luas atau dalam hal ini masyarakat secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan,
seperti yang dikemukakan diatas terkait dengan dampak negatif Kloning, salah
satu dampaknya yakni Kloning dapat menimbulkan kesenjangan sosial karena
manusia yang dapat bahagia dan lepas dari penderitaannya hanyalah manusia
dengan ekonomi yang mumpuni sedangkan bagi mereka yang tidak memilik ekonomi
yang memadai tetap menderita atau kesusahan atas keadaan yang dimilikinya.
Terkait dengan
dampak negatif dari Kloning yang lain seperti misalkan mendegradasi nilai
kehidupan manusia, potensi untuk eksploitasi pada aksi kejahatan, mengganggu
keseimbangan alam, memicu proses penuaan yang lebih cepat,
dampak biologis tidak
dapat diprediksi, menurut penulis jika dikaji dari perspektif utilitarianisme
hal ini tidak dapat dijadikan dasar dalam menolak kloning dikarenakan dalam membuat
suatu inovasi terbaru pasti saja ditemukan kegagalan sebab tidak ada suatu
inovasi baru yang langsung berhasil begitu saja, sehingga dalam hal ini penulis
berpendapat bahwa dampak-dampak negatif dari kloning di atas hanyalah merupakan
prediksi yang dikhawatirkan dan prediksi tersebut haruslah diatasi dengan
melakukan penyempurnaan terhadap kloning sehingga benar-benar bisa memberi
kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi manusia. Lalu terkait dengan dampak
negatif kloning yakni bertentangan
dengan etika agama jika merujuk pada teori utilitarianisme Bentham bahwasanya moralitas
bukan sekedar soal menyenangkan hati Allah atau soal kesetiaan pada
aturan-aturan abstrak, melainkan merupakan upaya untuk sedapat mungkin
memperoleh kebahagiaan hidup di dunia ini.[28]
Sehingga berdasarkan pendapat Bentham ini dapat diambil jawaban bahwa Kloning
pada manusia boleh saja untuk dilakukan walaupun bertentangan dengan agama
selagi Kloning tersebut dapat memberikan manfaat dan dapat memberi kebahagiaan
terhadap manusia yang membutuhkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal, Makalah, Internet
Amin, 2007.
Kloning Manusia dan Masalah Sosial-Etik. Dimensia, Vol.1 (1)
Anton F. Susanto,
2010, Dekonstruksi Hukum: Eksplorasi Teks dan Model Bacaan, Yogyakarta, Genta
Publishing
Candrataruna, M 2008. Korea
Selatan Perketat Hukum Tentang Kloning Manusia.
www.okezone.com
Grotius, Rights
War Peace
Hans Kelsen, 1995,
Teori hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik Deskriptif,
Rimdi Press
Hanafiah, MJ dan Amir, A. Etika
Kedokteran & Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC, 2008
Ibrahim, Anis.
2007. Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum & Hukum Millennium Ketiga. Malang:
In-Trans.
James Rachels, Filsafat
Moral (Yogyakarta : Kanisius, 2004)
Jeremy Bentham, An
Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Kitchener
:Batoche Books, 2000)
Kompas. Eve Manusia Kloning Pertama Di Dunia, 2008, www.kompas.com
M.B. Crowe, “The
Impious Hypothesis: A Paradox in Hugo Grotius”, dalam Grotius, Purfendorf and
Modern Natural Law, ed. by Tom Campbell (Brookfield: Ashgate Publishing
Company, 1999), hlm. 86.
Michael Bertram Crowe, The Changing Profile of
the Natural Law (Denhag: Martinus Nijhoff, 1977)
Pratimaratri, U . Kebijakan Hukum
Pidana Di Bidang Reproduksi Repro- duksi (Kloning). Tesis. Universitas
Diponegoro,2008
Rifda Izza, dkk, Human Cloning Dalam Tinjauan Filsafat Moral,
Prosiding Konfrensi Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains, Volume 2, Maret
2020
Satjipto Rahardjo,
2009, Hukum dan Perilaku: Hidup Baik Adalah Dasar Hukum yang Baik, Jakarta,
Kompas Gramedia
Simulasi
Kredit.com, Keuntungan dan Kerugian Kloning Manusia, https://www.simulasikredit.com/keuntungan-dan-kerugian-kloning-manusia/#:~:text=Tak%20hanya%20itu%2C%20kloning%20manusia,mengobati%20penyakit%20dan%20kelainan%20genetik. Diakses pada 26 November 2022
Wibowo T. Tunardy, Aliran Hukum Alam, https://jurnalhukum.com/aliran-hukum-alam/, diakses pada 26 November 2022
Peraturan - Peraturan
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Peraturan
Pemerintah No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi
[1] Ibrahim, Anis. 2007. Merekonstruksi
Keilmuan Ilmu Hukum & Hukum Millennium Ketiga. Malang: In-Trans.
[2] Amin, 2007. Kloning
Manusia dan Masalah Sosial-Etik. Dimensia, Vol.1 (1), hlm 1.
[3] Kompas. Eve Manusia Kloning Pertama Di Dunia,
2008, www.kompas.com
[4] Pratimaratri,
U . Kebijakan Hukum Pidana Di Bidang
Reproduksi Repro- duksi (Kloning). Tesis. Universitas Diponegoro,2008, hlm.164.
[5] Hanafiah,
MJ dan Amir, A. Etika Kedokteran &
Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC,
2008
[6] Wibowo T. Tunardy, Aliran Hukum Alam, https://jurnalhukum.com/aliran-hukum-alam/, diakses pada 26 November 2022
[7] M.B. Crowe, “The Impious
Hypothesis: A Paradox in Hugo Grotius”, dalam Grotius, Purfendorf and Modern
Natural Law, ed. by Tom Campbell (Brookfield: Ashgate Publishing Company,
1999), hlm. 86. Michael Bertram Crowe, The Changing Profile of the Natural Law
(Denhag: Martinus Nijhoff, 1977), hlm. 332. Lihat juga Jeremy Seth Geddert,
Hugo Grotius and the Modern Theology of Freedom: Transcending Natural Right
(New York: Taylor & Francis, 2017), hlm. 3.
[8] Grotius, Rights War Peace,
hlm. 89
[9] Ibid.,
[10] Rifda Izza, dkk, Human Cloning Dalam Tinjauan Filsafat Moral,
Prosiding Konfrensi Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains, Volume 2, Maret
2020, hlm. 258.
[11] Anton F. Susanto, 2010,
Dekonstruksi Hukum: Eksplorasi Teks dan Model Bacaan, Yogyakarta, Genta
Publishing, hlm. 29.
[12] Ibid, hlm. 149.
[13] Hans Kelsen, 1995, Teori
hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum
EmpirikDeskriptif, Rimdi Press, hlm. 4.
[14] Ibid, hlm. 115
[15] Satjipto Rahardjo, 2009,
Hukum dan Perilaku: Hidup Baik Adalah Dasar Hukum yang Baik, Jakarta, Kompas
Gramedia, hlm. 162.
[16] Ibid, hlm. 162
[17] Candrataruna,
M 2008. Korea Selatan Perketat Hukum
Tentang Kloning Manu- sia. www.okezone.com
[18] Hanafiah dan Amir, Op.Cit.
[19] Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan
[20] Pasal 40 Ayat (1)
Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi
[21] Pasal 40 Ayat (2)
Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi
[22] Pasal 346, 347, 348, 349
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
[23] Pasal 852 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
[24] Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan)
[25] K. Bertens, Etika, 247.
[26] “Nature has Placed mankind under the governance of two sovereign
masters, pain and pleasure. It is for them alone to point out what we ought to
do, as well as to determine what we shall do. On the one hand, the standard of right
and wrong, on the ohter, the chain of causes and effects, are fastened to their
throne. They govern us in all we do, in all we say, in all we think : every
effort we can make to throw off our subjection, will serve but to demonstrate
and confirm it. It word a man may pretend to abjure their empire : but in
reality he will remain subject to it all the while. The principle of utility
recognizes this subjection, and assumes it for the foundation of that system,
the subject of which is to rear fabric of felicity by the hands of reason and
of law.
Lihat Jeremy
Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Kitchener
:Batoche Books, 2000), hlm. 14
[27] Simulasi Kredit.com, Keuntungan dan Kerugian Kloning Manusia, https://www.simulasikredit.com/keuntungan-dan-kerugian-kloning-manusia/#:~:text=Tak%20hanya%20itu%2C%20kloning%20manusia,mengobati%20penyakit%20dan%20kelainan%20genetik.
Diakses pada 26 November 2022
[28] James Rachels, Filsafat Moral (Yogyakarta : Kanisius, 2004),
171-172.
Komentar
Posting Komentar