Kloning Terhadap Manusia Ditinjau Dari Perspektif Aliran Hukum Alam, Positivisme Hukum, dan Utilitarianisme

(Oleh : Eduard Awang Maha Putra)

Salah satu hasil kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kloning, yaitu suatu proses penggandaan makhluk hidup dengan cara mentransfer nukleus dari sel janin yang sudah berdiferensiasi dari sel dewasa, atau penggandaan makhluk hidup menjadi lebih banyak, baik dengan memindahkan inti sel tubuh ke dalam indung telur pada tahap sebelum terjadi pemisahan sel-sel bagian-bagian tubuh. Pencapaian teknologi rekayasa genetik (bioteknologi) khususnya di bidang kloning tersebut menunjukkan bahwa garis depan ilmu dari waktu ke waktu selalu berubah, bergerak dan berkembang secara dinamis. Gerakan dinamis tersebut disebut sebagai kemajuan (progress). Kemajuan yang sangat mengesankan bahkan bisa dibilang revolusioner di bidang rekayasa genetika di akhir abad 20 tersebut oleh Walter Isaacson disebut sebagai abad bioteknologi (the century of biotechnology).[1]

Menjadi topik pembicaraan dalam tulisan maupun pertemuan dari dalam maupun luar negeri untuk membahas kloning, maka berbagai terminologi digunakan seperti sudut moral dan agama, positivisme, dan utility atau manfaatnya dalam bidang medis dan biologi. Hal ini mengindikasikan bahwa kloning memiliki dampak yang sangat besar bagi masa depan peradaban manusia. Keberhasilan yang spektakuler pada binatang, misteri reproduksi makhluk tanpa melalui perkawinan (aseksual). Mulai menjadi perdebatan sengit ketika Ian Wilmut, Keith Campbell dan tim di Roslin Institute – Skotlandia berhasil mengkloning domba dolly pada tahun 1996. Sebelumnya manusia telah berhasil mengkloning kecebong (1952), ikan (1963), tikus (1986). Keberhasilan kloning dolly menuai kecaman sebagian besar penduduk dunia baik institusi keagamaan, pemeluk agama, dunia kedokteran, institusi riset sejenis, hingga pemerintahan tiap negara. Hal ini menyebabkan pengkloningan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sejak keberhasilan kloning domba 1996, kemudian muncul hasil kloning lain pada monyet (2000), lembu (2001), sapi (2001), kucing (2001), kuda (2003), anjing, serigala, kerbau dan dikomersialkan pada 2004.[2]

Pada tahun 2002 Direktur Ilmu Pengetahuan Clonaid Brigitte Boisselier menyatakan bahwa bayi hasil kloning manusia telah lahir ke dunia. Bayi hasil kloning tersebut bernama Eve. Eve merupakan bayi pertama yang lahir dari 10 implantasi. Dari 10 implan, lima gagal. Empat bayi kloning lainnya akan segera dilahirkan. Namun, keberhasilan dalam mengkloning bayi yang diklaim oleh perusahaan clonaid, banyak diragukan oleh ilmuwan yang lain.[3] Kloning manusia diidentifikasi menimbulkan beberapa masalah, baik masalah etika dan moral, masalah ilmiah, serta masalah sosial.[4] Berbagai kalangan, baik pemerintah, kelompok masyarakat, ilmuwan, maupun agamawan telah memberi pernyataan bahwa kloning pada manusia adalah tidak etis dan bertentangan dengan harkat martabat manusia. [5] Dalam forum internasional, kloning masih menjadi sesuatu yang diperdebatkan. Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa kloning memberikan banyak manfaat, namun ilmuwan yang lain menyatakan bahwa kloning lebih banyak mendatangkan kerugian daripada manfaat. Berdasarkan hal itu maka pada tulisan ini akan dibahas terkait dengan permasalahan kloning pada manusia dilihat dari sudut pandang atau perspektif teori hukum alam/ kodrat, positivsime hukum , dan juga utilitarian.

1. Kloning Terhadap Manusia dari Perspektif Aliran Hukum Alam atau Kodrat (Natural Law)

     - Sekilas tentang Aliran Hukum Alam

Aliran Hukum Alam merupakan salah satu aliran dalam filsafat hukum. Aliran ini telah berkembang sejak 2.500 tahun yang lalu. Aliran atau Mazhab Hukum Alam merupakan aliran yang tertua dalam sejarah pemikiran manusia tentang hukum. Menurut sumbernya Aliran Hukum Alam dibedakan menjadi dua macam, yaitu Irasional dan Rasional. Aliran Hukum Alam Irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu secara langsung bersumber dari Tuhan salah satu Tokoh dari aliran hukum alam irasional yakni Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa ada empat macam hukum diantaranya yakni:[6]

1.     Lex eterna yaitu hukum rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia.

2.     Lex divina, adalah hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia.

3.     Lex naturalis atau hukum alam, merupakan penjelmaan lex eterna ke dalam rasio manusia.

4.     Lex positivis, adalah penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di dunia.

 Sedangkan Aliran Hukum Alam Rasional berpendapat bahwa sumber dari hukum yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia. Salah satu tokoh aliran hukum alam rasional yakni Hugo De Grotius menyatakan sumber dari hukum alam adalah kodrat manusia. Ditemukan beberapa sifat yang berbeda yang ada dalam diri manusia, yaitu kecenderungan untuk mempertahankan diri, keinginan untuk masyarakat, pengetahuan, serta hak berpikir dan berbicara. Pada konteks ini, keramahan dan akal-budi memperoleh posisi yang dianggap berakar kuat di alam sebagai media pertahanan diri. Ide utama yang diusung Grotius dalam De Jure Balle ac Pacis adalah hipotesis anti-theistik (etiamsi daremus).[7] Secara lantang Grotius menyatakan, kita harus mengakui apa yang tidak dapat diakui tanpa kejahatan yang paling besar, bahwa tidak ada Tuhan, atau bahwa urusan manusia tidak menjadi urusan Tuhan.[8] Menurut Grotius, satu-satunya hal yang penting adalah bahwa kodrat manusia merupakan sumber hukum alam. Kehendak Tuhan atau akal budi baru muncul jika ada pembahasan terkait asal usul sifat manusia. Selain hukum tuhan dan juga kodrat atau rasio manusia, Etika dan Moral (ethical and moral considerations) juga menjadi bagian penting yang membangun hukum alam karena dalam teori hukum alam, antara moral dan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.[9]

- Analisis Kloning Terhadap dalam Perspektif Aliran Hukum Alam

Berkaitan dengan kloning terhadap manusia apabila ditinjau dari perspektif hukum alam atau natural law, maka kloning terhadap manusia merupakan suatu perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum alam sebagai penjelmaan lex eterna (rasio tuhan) ke dalam rasio manusia, hal ini dikarenakan dengan melakukan kloning terhadap manusia maka hal itu otomatis merupakan pelanggaran terhadap etis, kodrat, dan harkat serta martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan.

Bila ditinjau dari segi etis ,  penerapan kloning dapat dilihat dari dua sudut berbeda, yaitu deontologi dan teleologi. Pada paham deontologi, penilaian etis tidaknya suatu perbuatan lebih ditekankan pada perbuatan itu sendiri. Tokoh utama paham ini adalah Immanuel Kant yang terkenal dengan teori categorical imperative. Menurutnya, perbuatan yang secara universal dinyatakan terlarang, maka apapun alasannya tidak boleh dilakukan. Sebaliknya, paham teleologi lebih menilai pada tujuan atau akibat yang dituju pada perbuaatan itu. Kalau tujuannya berupa suatu kebaikan seperti halnya cloning untuk terapi, maka perbuataan itu diperbolehkan untuk dilaksanakan, sering juga penganut paham itu disebut sebagai konsekuensialis.[10]

 Kloning terhadap manusia juga menunjukan bahwa manusia telah melampaui kodratnya sebagai mahluk ciptaan tuhan dan justru hendak melangkahi Tuhan sebagai pencipta seluruh kehidupan. Berbicara tentang kodrat manusia maka kita berbicara terkait dengan sesuatu yang ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang tidak mampu untuk dirubah ataupun ditolak sehingga berbicara tentang kodrat maka tidaklah bisa terlepas dari ajaran masing-masing agama sebagai salah satu sumber moralitas. Oleh karena itu berikut akan dijabarkan berbagai pandangan agama terkait dengan Kloning terhadap manusia

- Pandangan Agama Islam

Syari’at Islam mengharamkan kloning terhadap manusia, dengan argumentasi sebagai berikut.

Pertama, anak-anak produk proses kloning dihasilkan melalui cara yang tidak alami (percampuran antara sel sperma dan sel telur). Padahal, cara alami inilah yang telah ditetapkan oleh syariat sebagai sunatullah menghasilkan anak-anak dan keturunannya. Allah SWT berfirman:

وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالأنْثَ

مِنْ نُطْفَةٍ إِذَا تُمْنَى

 “Dan bahwasannya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan dari air mani apabila dipancarkan”(AQS. An-Najm: 45-46).

Dalam ayat lain dinyatakan pula,

أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى

ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى

 “Bukankah dia dahulu setetes mani yag ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya. Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan.” (AQS. Al-Qiyâmah: 37-38).

Kedua, anak-anak produk kloning dari perempuan-tanpa adanya laki-laki tidak akan memunyai ayah. Anak produk kloning tersebut jika dihasilkan dari proses pemindahan sel telur-yang telah digabungkan dengan inti sel tubuh ke dalam rahim perempuan yang bukan pemilik sel telur, tidak pula akan memunyai ibu sebab rahim perempuan yang menjadi tempat pemindahan sel telur tersebut hanya menjadi penampung (mediator). Oleh karena itu, kondisi ini sesungguhnya telah bertentangan dengan firman Allah SWT:.

يا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْناكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَ أُنْثى وَ جَعَلْناكُمْ شُعُوباً وَ قَبائِلَ لِتَعارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (AQS. Al-Hujurât: 13) 

Juga bertentangan dengan firman-Nya yang lain,

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

 “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu [Maula-maula ialah: seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah] dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (AQS. Al-Ahzâb : 5).

Ketiga, kloning manusia akan menghilangkan nasab (garis keturunan). Padahal Islam telah mewajibkan pemeliharaan nasab. Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia.” (H.R. Ibnu Majah).

Di riwayatkan pula dari Abu ‘Utsman An Nahri r.a. yang berkata, “Aku mendengar Sa’ad dan Abu Bakrah masing-masing berkata, ‘Kedua telingaku telah mendengar dan hatiku telah menghayati sabda Muhammad s.a.w., “siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai anak) kepada orang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka surga baginya haram.” (H.R. Ibnu Majah).

Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah r.a. bahwasannya tatkala turun ayat li’an dia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apapun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu dihadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat)” (H.R. Ad-Darimi).

Kloning manusia yang bermotif memproduksi manusia-manusia unggul dalam hal kecerdasan, kekuatan fisik, kesehatan, kerupawanan jelas mengharuskan seleksi terhadap orang-orang yang akan dikloning, tanpa memperhatikan apakah mereka suami-isteri atau bukan, sudah menikah atau belum. Sel-sel tubuh itu akan diambil dari perempuan atau laki-laki yang terpilih. Semua ini akan mengacaukan, menghilangkan dan membuat bercampur aduk nasab.

Keempat, memproduksi anak melalui proses kloning akan mencegah (baca: mengacaukan) pelaksanaan banyak hukum-hukum syara’ seperti hukum tentang perkawinan, nasab, nafkah, hak dan kewajiban antara bapak dan anak, waris, perawatan anak, hubungan kemahraman, hubungan ‘ashabah, dan banyak lagi. Di samping itu, kloning akan mencampur-adukkan dan menghilangkan nasab serta menyalahi fitrah yang telah diciptakan Allah untuk manusia dalam masalah kelahiran anak. Konsekuensi kloning ini akan menjungkirbalikkan struktur kehidupan masyarakat.

Professor Abdulaziz Sachedina of the University of Virginia, merujuk pada ayat Al-Quran surat Al-Mukminun 12-14, bahwa ilmuwan yang mengadakan kloning tidak mempercayai Allah adalah pencipta yang paling sempurna terhadap makhluknya. Usaha mengkloning adalah usaha mengingkari kesempurnaan Allah.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ.

ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ.

ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ.

“Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik (AQS. Al-Mukminun: 12-14).

Hasil konferensi tahun 1997 oleh Islamic Fiqh mengemukakan pandangan bahwa Allah adalah pencipta alam semesta, seminar ini menyimpulkan bahwa Kloning manusia itu haram dan Kloning terhadap hewan itu halal, Kloning terhadap manusia itu akan menimbulkan masalah komplek sosial dan moral. M.Quraish Shihab dalam Zamroni (2007) menyatakan bahwa seperti yang dikutip dalam Al-Islam dan iptek, bahwa Islam tidak pernah memisahkan ketetapan ketetapan hukumnya dari moral. Sehingga dalam kasus kloning, walaupun dalam segi akidah tidak melanggar ‘wilayah kodrat Ilahi’, namun karena dari moral teknologi kloning dapat mengantar kepada pelecehan manusia, maka dilarang lahir dari aspek ini. Dengan demikian, perlu disadari bahwa hal ihwal tentang penciptaan (setiap yang hidup/bernyawa) adalah wilayah kekuasan Tuhan yang sangat mustahil untuk dapat ditiru oleh ilmuan sejenius apapun, kesadaran ini perlu ada dalam jiwa manusia untuk lebih bijaksana dalam menjelajahi ilmu pengetahuan, atau paling tidak meminimalisir sikap coba-coba yang akan menyebabkan organism dan gen atau bahan-bahan dasar lainnya terbuang sia-sia atau dimatika begitu saja dengan unsur kesengajaan yang lebih besar hanya demi tekologi.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional VI MUI di Jakarta pada tahun 2000 telah menetapkan fatwa tentang kloning. Dalam fatwa bernomor: 3/Munas VI/MUI/2000 itu para ulama menetapkan kloning terhadap manusia dengan cara bagaimanapun yang dapat berakibat pada pelipatgandaan manusia hukumnya adalah haram. Namun, para ulama membolehkan kloning terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan. “Kloning terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan hukumnya boleh (mubah) sepanjang dilakukan demi kemaslahatan dan atau untuk menghindarkan hal-hal negatif,” demikian fatwa yang ditandatangani Ketua MUI Prof. Umar Shihab itu. Dalam fatwanya, MUI mewajibkan kepada semua pihak terkait untuk tidak melakukan atau mengizinkan eksperimen atau praktik kloning terhadap manusia. MUI juga mewajibkan kepada para ulama untuk senantiasa mengikuti perkembangan kloning serta menyelenggarkan kajian-kajian ilmiah untuk menjelaskan hukumnya.

- Pandangan Agama Kriten-Katholik

Pandangan Kristen mengenai proses kloning manusia dapat ditelaah dalam terang beberapa prinsip Alkitabiah. Pertama, umat manusia diciptakan dalam rupa Allah, dan karena itu, bersifat unik. Kejadian 1:26-27 menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam rupa dan gambar Allah, dan bersifat unik dibandingan dengan ciptaan-ciptaan lainnya. Jelaslah bahwa itu adalah sesuatu yang perlu dihargai dan tidak diperlakukan seperti komoditas yang dijual atau diperdagangkan. Sebagian orang mempromosikan kloning manusia dengan tujuan untuk menciptakan organ pengganti untuk orang-orang yang membutuhkan pengcangkokan namun tidak dapat menemukan donor yang cocok.

Pemikirannya adalah mengambil DNA sendiri dan menciptakan organ duplikat yang terdiri dari DNA itu sendiri akan sangat mengurangi kemungkinan penolakan terhadap organ itu. Walaupun ini mungkin benar, masalahnya melakukan hal yang demikian amat merendahkan kehidupan manusia. Proses kloning menuntut penggunaan embrio manusia; dan walaupun sel dapat dihasilkan untuk membuat organ yang baru, untuk mendapatkan DNA yang diperlukan beberapa embrio harus dimatikan. Pada hakikatnya kloning akan “membuang” banyak embrio manusia sebagai “barang sampah,” meniadakan kesempatan untuk embrio-embrio itu bertumbuh dewasa.

Mengenai apakah klon memiliki jiwa, kita lihat kembali pada penciptaan hidup. Kejadian 2:7 mengatakan, “Ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” Inilah gambaran Allah menciptakan jiwa manusia. Jiwa adalah siapa kita, bukan apa yang kita miliki (1 Korintus 15:45).

Banyak orang percaya bahwa hidup tidak dimulai pada saat pembuahan dengan terbentuknya embrio, dan karena itu embrio bukan betul-betul manusia. Alkitab mengajarkan hal yang berbeda. Mazmur 139:13-16 mengatakan, “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya”.

Selanjutnya, Yesaya 49:1-5 berbicara mengenai Allah memanggil Yesaya untuk melayani sebagai nabi ketika dia masih berada dalam kandungan ibu. Yohanes Pembaptis juga dipenuhi dengan Roh Kudus ketika dia masih berada dalam kandungan (Lukas 1:15). Semua ini menunjuk pada pendirian Alkitab bahwa hidup dimulai pada saat pembuahan. Dalam terang ini, kloning manusia, bersama dengan dirusaknya embrio manusia, tidaklah sejalan dengan pandangan Alkitab mengenai hidup manusia.

Lebih dari itu, apabila manusia diciptakan, tentulah ada Sang Pencipta, dan karena itu manusia tunduk dan bertanggung jawab kepada Sang Pencipta itu. Sekalipun pandangan umum – pandangan psikologi sekuler dan humanistik – mau orang percaya bahwa manusia tidak bertanggung jawab kepada siapapun kecuali dirinya sendiri, dan bahwa manusia adalah otoritas tertinggi, Alkitab mengajarkan hal yang berbeda. Alkitab mengajarkan bahwa Allah menciptakan manusia, dan memberi manusia tanggung jawab atas bumi ini (Kejadian 1:28-29 dan Kejadian 9:1-2). Tanggung jawab ini adalah akuntabilitas kepada Allah. Manusia bukan penguasa tertinggi atas dirinya dan karena itu dia tidak dalam posisi untuk membuat keputusan sendiri mengenai nilai hidup manusia. Ilmu pengetahuan juga bukan otoritas yang menentukan etis tidaknya kloning manusia, aborsi, atau eutanasia.

Menurut Alkitab, Allah adalah satu-satuNya yang memiliki hak kedaulatan mutlak atas hidup manusia. Berusaha mengontrol hal-hal sedemikian adalah menempatkan diri pada posisi Allah.Jelaslah bahwa manusia tidak boleh melakukan hal demikian. Kalau kita melihat manusia semata-mata sebagai salah satu ciptaan dan bukan sebagai ciptaan yang unik, dan manusia adalah ciptaan yang unik, maka tidak sulit untuk melihat manusia tidak lebih dari peralatan yang perlu dirawat dan diperbaiki. Namun kita bukanlah sekedar kumpulan molekul dan unsur-unsur kimia. Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Allah menciptakan setiap kita dan memiliki rencana khusus untuk setiap kita. Lebih lagi, Dia menginginkan hubungan pribadi dengan setiap kita, melalui Anak-Nya, Yesus Kristus. Sekalipun ada aspek-aspek kloning manusia yang mungkin bermanfaat, umat manusia tidak punya kontrol terhadap arah perkembangan teknologi kloning. Adalah bodoh kalau beranggapan bahwa niat baik akan mengarahkan penggunaan kloning. Manusia tidak dalam posisi untuk menjalankan tanggung jawab atau memberi penilaian yang harus dilakukan untuk mengatur kloning manusia.

- Pandangan Agama Hindu

   Pada ajaran Hindu dikenal adanya Dewi Saraswati, sebagai perwujudan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), yang melambangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, yang memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan material dan spiritual. Oleh karena itu pengembangan ilmu pengetahuan hendaknya tidak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan, moral, etika dan spiritual. Ini berarti bahwa menurut ajaran Agama Hindu, ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, harus memperhatikan nilai-nilai moralitas dan etika. Ilmu pengetahuan akan mempunyai makna bila senantiasa berlandaskan nilai moral, etika serta spiritual. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh dilepaskan dari frame ajaran moral, etika, dan spiritual (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2012).

Munculnya teknologi kloning hendaknya juga diarahkan untuk tujuan mensucikan dan meningkatkan moral, etika dan spiritual umat manusia. Cerita-cerita mitos keagamaan pada masa lalu meenggambarkan proses kloning dan rekayasa genetika. Di dalam cerita Mahabarata digambarkan kelahiran Kurawa yang dapat diinterpretasikan sebagai kloning. Kurawa yang berjumlah seratus orang berasal dari gumpalan darah yang dieram kemudian berubah menjadi manusia dengan sifat-sifat raksasa yang buas.

Dalam Kitab Puruna ditemukan cerita-cerita keagamaan kuno yang menggambarkan lahirnya monster-monster hasil rekayasa genetika. Dalam kekawain Bhomantaka diceriterakan tentang raksasa (monster) bernama Bhoma yang dilahrkan karena perkawinan Visnu dengan Pertiwi. Akibat perkawinan ini lahirlah monster raksasa yang sangat menakutkan yang kemudian menghancurkan bumi dan surga. Monster ini kemudian berhasil dimisnahkan oleh Kresna. Secara normal pengembangan jenis atau keturunan, masingmasing organisme oleh Tuhan telah ditetapkan suatu rancangan pembiakan melalui rahim (jiwaja) melalui bertelur (andaja) melalui biji (udbija) dan dengan panas (swedaja). Selengkapnya diuraikan sebagai berikut: (Pudja & Sudharta, Tanpa tahun).

Pacawacca mrgacaiwa

Wyataccobbayatodatah

Raksamsi ca picacacca

Manusyacca jarayujah

(Manu Smerti: I, 43)

“Binatang ternak, kijang, binatang pemakan daging yang bergigi dua baris, raksasa dan manusia lahir dari kandungan”.

Armajah pakasinah sarpa

Nakramatsyacca kaccapah

Yani caiwam prakarani

Sthalajonyadakani ca

(Manu Smerti: I.44)

“Dari telur lahirlah burung-burung, ular, buaya, ikan, kura-kura, dan binatang lain yang hidup di darat dan yang hidup di air”.

Swedajam damcamacakam

Yukamaksikamatkunam

Usmanaccopajayante

Yaccanyatkimciditrcam

(Manu Smerti: I.45)

“Demikian pula insek berlendir panas, insek penyengat dan penggigit, kutu-kutu busuk dan semua jenis insek lahir karena panas”.

Udbhijjah sthawarah sarwe

Bijakandaprarohinah

Osadhyah phalapkanta

Bahu puspa phalopagah

(Manu Smerti: I. 46)

“Semua jenis tanaman, baik yang tumbuh dari biji atau dari tepung sari, yang tumbuh dari putik, demikian pula tumbuh tumbuhan musiman yang berbunga dan berbuah banyak mati setelah lewat musim berbuah”.

Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan sebagai lelaki dan perempuan untuk dapat mengembangakan keturunan. Untuk menjadi ibu, wanita itulah yang diciptakan dan untuk menjadi ayah laki-laki itulah yang diciptakan, karena itu upacara agama ditetapkan dalam Wedda untuk dilaksanakan oleh suami bersama istri (manu Smerti: IX.96). Dari kutipan sloka-sloka itu terkandung isyarat dan prasyarat yang harus diperhatikan dalam usaha mengembangkan keturunan, yaitu: Pertama, kelahiran manusia sebagai lelaki atau perempuan adalah kodrat. Hidup yang baik adalah hidup yang sesuai dengan kodrat itu sendiri yang sifatnya niscaya. Hidup yang sesuai dengan kodrat adalah hidup yang baik karena dapat ikut ambil bagian dalam rencana Tuhan. Kedua, untuk membentuk keluarga dengan maksud supaya ada keturunan, wajib menempuh samsara wiwaha yang telah ditetapkan dalam Weda. Diluar itu dianggap tidak sah. Ketiga, kodrat manusia untuk mengembangbiakkan keturunan melalui proses kehamilan (rahim).

Kloning tidak lepas dari proses seleksi, hal ini berarti akan mengorbankan fetus hasil kloning yang tidak mempunyai kualitas yang baik. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa sejak terjadi pertemuan antara sonita dan sukra maka sejak itulah telah ada kehidupan. Kegiatan seleksi dengan meniadakan fetus-fetus tersebut berarti melakukan pembunuhan. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran agama Hindu. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh para ilmuwan yang bermaksud melakukan kloning manusia adalah untuk menolong pasangan suami istri yang mengalami kesulitan mendapatkan keturunan secara alami maupun secara in vitro. Tidak dapat disangkal keberadaan anak di dalam suatu keluarga merupakan suatu hal yang penting. Kitab Weda pun juga menjelaskan betapa pentingnya keberadaan anak di dalam suatu keluarga. Beberapa sloka menunjukkan hal tersebut, yaitu antara lain:

Yad apipesa mataram

Putrah pramudito dhayan

Etat tad agne amrno bhawami

(Yayurweda XIX.11)

“Sang Hyang Agni, Kami bebas dari hutang setelah seorang putra lahir pada kami yang menghisap payudara ibunya dengan riang gembira dan menginjak-injak tubuh ibunya itu”.

Acchmam tantum anu sam tarema

(Atharweda VI.122.1)

“Kita dapat menyeberangi lautan kehidupan dengan memelihara garis keturunan/melahirkan putra saputra”.

Namun demikian hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi kegiatan kloning manusia. Karena pada hakekatnya mempunyai keturunan bukan satu-satunya tujuan perkawinan. Menurut ajaran agama Hindu tujuan perkawinan adalah meliputi dahrmasampatti (bersama suami istri mewujudkan pelaksanaan dharma), praja (melahirkan keturunan) dan rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan indria lainnya). Jadi tujuan utama dalam perkawinan adalah melaksanakan dharma (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2012).

- Pandangan Agama Budha

Buddhisme menyatakan bahwa sel-sel tubuh tak dianggap sebagai makhluk hidup. Yakni, tidak dikenal bahwa masing-masing sel, jaringan, maupun organ di tubuh kita itu memiliki unsur batiniah (Pali: nama). Jadi sel ovum dan sperma bukanlah termasuk makhluk hidup yang memiliki kesadaran. Tetapi setelah terjadinya pembuahan (bersatunya ovum dan sperma), maka terbentuklah secara perlahan-lahan sel-sel yang akan tumbuh menjadi fetus melalui proses yang dikenal sebagai embryogenesis. Bayi yang lahir tersebut memiliki unsur batiniah (nama) dan fisik (rupa).

Badan Pembinaan Hukum Nasional (2012) menjelaskan pada therapeutic cloning (kloning jaringan dan organ), stem cell terbentuk sekitar 4-5 hari setelah pembuahan (fertilization). Dalam tahap ini, tidak ditemukan bukti-bukti adanya kesadaran. Karena kesadaran sangat erat hubungannya dengan sistem syaraf, yakni tanpa sistem syaraf kesadaran kita tak akan berfungsi, maka patut kita teliti kapan mulai terbentuknya sistem syaraf dalam proses embryogenesis ini. Proses terbentuknya sistem syaraf dalam embryogenesis dikenal sebagai neurulation, dan prosesnya dimulai sekitar minggu ketiga setelah pembuahan (Ref: Am J Med Genet C Semin Med Genet, 135C(1): 2-8). Ini adalah saat yang paling awal embryo tersebut dapat dikatakan memiliki sistem syaraf. Saat ini sistem syarafnya masih baru saja mulai terbentuk, dan tentunya masih jauh dari selesai. Oleh karena alasan inilah, maka tahap embryogenesis di hari 4-5 post-fertilization itu masih belum dapat tergolong sebagai makhluk hidup. Dan pengambilan stem cell dari tahap embryogenesis ini seharusnya tak dianggap sebagai pembunuhan karena belum dapat tergolong sebagai makhluk hidup, yakni belum terdapat bukti telah terbentuknya kesadaran. Dari argumen ini, maka therapeutic cloning, andaikata saja dilakukan di minggu pertama pembuahan, tak dapat disebut sebagai pembunuhan. Dengan sendirinya, praktek therapeutic cloning seharusnya tidak dianggap bertentangan dengan etika Buddhis (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2012).

Menanggapi reproductive cloning, buddhisme berpendapat bahwa munculnya/terbentuk nya makhluk hidup bukanlah berasal dari hasil ciptaan, akan tetapi berasal dari kegelapan batin (Ref: Samyutta Nikaya 12.2). Karena kegelapan batin inilah, makhluk bertumimba lahir. Dengan lenyapnya kegelapan batin ini, maka lenyap juga tumimba lahir ini. Di sini tidak dikenal adanya ‘ego’ (roh, inti, keabadian mutlak), dan makhluk hidup terus bertumimba lahir dikarenakan kegelapan batin ini. Ajaran ini dikenal juga sebagai hukum sebab akibat (Pali: paticcasamupada) , yakni terbentuknya segala sesuatu adalah karena adanya penyebab. Dengan berakhirnya penyebab tersebut, maka berakhir pula akibatnya. Oleh karena itu, konsep reproductive cloning tidak dapat dikatakan bertentangan dengan ajaran Buddha.

Kloning sebenarnya bukanlah proses ilmiah yang aneh dalam pandangan Buddhisme karena Buddhisme selalu memandang segala sesuatu sebagai rantaian sebab akibat. Proses cloning hanya dapat berhasil setelah ilmuwan mengerti sebab akibatnya, yakni embryo dapat terbentuk dari hasil pembelahan sel ovum yang bernucleus diploid (2 set kromosom). Dengan menyediakan kondisi yang cocok untuk perkembangan embryo, maka tak heran bayi akan terbentuk. Jadi bila kondisi yang tepat ada, maka akan bersatulah unsur batiniah (nama) dan fisik (rupa) yang kemudian akan lahir menjadi seorang bayi. Walau dalam aspek filsafat, reproductive cloning tak bertentangan dengan ajaran Buddha, akan tetapi dalam aspek pragmatic, reproductive cloning masih mengalami banyak permasalahan teknis.

Banyak bukti-bukti yang menunjukan bahwa clone memiliki abnormalitas yang belum jelas penyebabnya. Ilmuwan berpendapat bahwa inti sel yang diambil dari induk tersebut mungkin tak optimal untuk dipakai dalam kloning karena semakin pendeknya telomer (ujung DNA akan menjadi semakin pendek setiap kali sel membelah diri). Banyak clone yang tak dapat hidup sepanjang usia induk mereka. Maka ilmuwan seharusnya memikul tanggung jawab yang berat ini, dan seharusnya reproductive cloning tidak dipraktekkan, apalagi dalam skala besar, sampai setelah permasalahan teknis ini telah dapat ditanggani. Tetapi tentunya untuk menanggani permasalahan teknis ini diperlukan percobaan, eksperimen (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2012).

            Berdasarkan pandangan-pandangan dari masing-masing agama di atas, sebagian besar agama menyatakan bahwa kloning terhadap manusia merupakan suatu bentuk perkembangan iptek yang melanggar kodrat manusia dan merupakan perbuatan yang haram hukumnya untuk dilakukan karena bertentangan dengan ajaran Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang memiliki wewenang terhadap penciptaan mahluk hidup terutama manusia dan Tuhan lah yang menentukan hidup dan matinya seseorang di muka bumi ini,  sehingga dari hal ini dapat dilihat bahwa dalam perspektif Hukum Alam atau Kodrat terhadap isu kloning terhadap manusia, Hukum alam jelas sangatlah menolak atau menentang dilakukannya kloning terhadap manusia karena hal ini termasuk salah satu contoh perbuatan yang melampaui kodrati manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan dan juga hal ini bertentangan dengan ajaran Tuhan (lex eterna).

2.  Kloning Terhadap Manusia dari Perspektif Aliran Positivisme Hukum

- Sekilas tentang Positivisme Hukum

Dalam positivisme hukum, keseluruhan peraturan perundang-undangan pada hakekatnya sebagai suatu yang memuat hukum secara lengkap sehingga tugas hakim selanjutnya adalah menerapkan ketentuan undang-undang tersebut secara mekanis dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat, sesuai dengan yang telah ditentukan dalam undang-undang. Namun, paradigma positivisme hukum menempakan hakim sebagai tawanan undang-undang, tidak memberikan kesempatan kepada pengadilan untuk menjadi suatu institusi yang dapat mendorong perkembangan masyarakat.

Positivisme hukum merupakan kepanjangantangan dari paradigma Cartesian Newtonian. [11] Cartesian Newtonian telah membawa pengaruh yang paling mendasar terhadap positivisme ilmu yang kemudian memperngaruhi positivisme hukum adalah pandangan dualism dan reduksionis. Dengan pandangan dualisme ini, hukum dipisahkan dari keadilan karena terlalau menitikberatkan ke hal terkait definisi, konsep serta deskripsi, dan berkonsentrasi pada benuk dan isi hukum.[12] Menurut Hans Kelsen, hukum harus terbebas dari segala unsur yang asing bagi metode khsus dari suuatu ilmu yang tujuannya hanyalah pengetahuan hukum, bukan pembentukannya. Bidang kajian ilmu hukum adalah hukum positif atau hukum yang sesungguhnya yang berbeda dari hukum ideal yang disebut keadilan atau hukum alam. Sehingga, hanya bersifat wadah dan tidak bersangkutan dengan isi hukm yang bisa berubah dalam waktu tertentu.[13]

Sementara itu, pandangan reduksionis telah memberikan pengaruh terhadap positivisme hukum dalam mereduksi realita hukum yang terdiri dari realita ide (kapasias akal budi), realita material (aktual) dan realita artifisal menjadi tunggal. Jika dikaitkan dengan teori dai Hans Kelsen yaitu the pure theory of law, maka hukum harus dibersihkan dari unsur non yuridis, hukum harus mengabaikan pendekatan lain terhadap hukum. Hukum selalu merupakan hukum positif dan positivisme hukm terletak pada fakta bahwa hukum dibuat dan dihapuskan oleh tindakan-tindakan manusia, jadi terlepas dari unsur moralitas dan sistem-sistem norma itu sendiri.[14]

Dalam pandanan positivisme hukum, tata hukum suatu negara berlaku bukan karena memiliki dasar dalam kehidupan sosial, namun karena mendapatkan bentuk positifnya dari suatu institusi yang berwenang dan hukumhanya dikenal sebagai hukum formal, sehingga harus dipisahkan dari bentuk materialnya, hal ini dikarenakan akan merusak kebenaran ilmiah hukum itu sendiri.[15] Menurut H.L.A Hart yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, pada dasarnya dari positivisme hukum itu adalah :[16]

1. Hukum hanyalah perintah penguasa;

2. Tidak ada hubungan mutlak antara hukum, moral dan etika;

3. Analisa tentang konsepsi-konsepsi hukum dibedakan dari penyelidikan sejarah dan sosiologis;

4. Sistem hukum harus sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup yang diperoleh atas dasar logika tanpa mempertimbangkan aspek sosial, politik, moral.

- Analisis Isu Kloning terhadap Manusia dalam Perspektif Positivisme Hukum

Maraknya penelitian-penelitian tentang kloning yang melibatkan manusia sebagai subjeknya tak lepas dari bidang hukum. Jika melihat dalam perspektif positivsime hukum terkait dengan isu kloning, maka kloning terhadap manusia dapat untuk dilaksanakan  selagi tidak terdapat hukum positif yang dapat menjerat pelaku kloning dalam melaksanakan aksinya, hal ini sesuai dengan asas legalitas sebagai salah satu bentuk perwujudan dari positvisme hukum yang berbunyi Nullum Delictum Noela Poena Sine Praevia Lege Poenali yang mengandung makna tiada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan.   

Terkait dengan pengaturan Kloning secara eksplisit, salah satu negara Asia yang menerapkan hukum positif tentang reproduksi kloning yaitu Korea Selatan. Parlemen Korea Selatan menetapkan peraturan berkaitan dengan kloning manusia. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa “barang siapa yang melakukan kloning diancam hukuman maksimal tiga tahun penjara”. Kementerian kesehatan Korea Selatan menyatakan bahwa kloning yang menyilangkan dua spesies berbeda (cross-species cloning), dimana DNA sel somatik manusia diintegrasikan pada telur binatang atau perilaku semacamnya, akan diancam hukuman penjara hingga maksimal tiga tahun. Hukum ini bertujuan untuk meninggikan bioethic.[17]

Dalam Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa tentang kloning pada manusiapun (United Nations Declaration on Human Cloning, 2005) telah dinyatakan bahwa negara anggota termasuk Indonesia harus mencegah segala bentuk kloning pada manusia yang tidak sesuai dengan harkat martabat manusia dan harus melindungi makhluk insani.[18]

Terkait dengan pengaturannya di Indonesia, Kloning secara eksplisit memang tidak diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Akan tetapi dikarenakan kloning merupakan metode prokreasi tanpa melalui proses aseksual, maka hal tersebut dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan upaya kehamilan di luar cara alamiah  sebagaimana yang telah diatur ketentuannya dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Dalam Pasal 127 Ayat (1) UU Kesehatan disebutkan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan, yakni hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal, dilakukan oleh Tenaga Kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu,[19] dan pada fasilitas kesehatan tertentu. Dilanjutkan pada ayat (2), ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi (“PP Kesehatan Reproduksi”). Dalam Pasal 40 Ayat (1) disebutkan bahwasanya reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan pada pasangan suami istri yang terikat perkawinan yang sah dan mengalami ketidaksuburan atau infertilitas untuk memperoleh keturunan.[20] Kemudian Ayat (2) menjelaskan bahwa dilaksanakan dengan menggunakan hasil pembuahan sperma dan ovum yang berasal dari suami istri yang bersangkutan dan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal.[21] Kemudian disebutkan pula dalam melakukan reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah, harus dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak bertentangan dengan norma agama. Hal tersebut diperjelas dengan ketentuan bahwa reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah juga harus dilakukan oleh Tenaga Kesehatan yang mempunyai kompetensi dan kewenangan.

Jika dikaitkan peraturan atau hukum positif tersebut dengan Kloning terhadap manusia yang dilakukan tanpa melalui proses perkawinan yang sah dan dapat menggunakan sel telur serta sel apa saja selain sperma dari suami istri yang bersangkutan maka sudah sangat jelas Kloning terhadap manusia bertentangan atau melanggar hukum positif di Indonesia tepatnya pada pasal 127 UU Kesehatan dan juga melanggar ketentuan pada Pasal 40 ayat (2) PP kesehatan reproduksi dikarenakan Kloning terhadap manusia juga bertentangan dengan norma agama.  Selain itu, bantuan infertilitas dalam metode kloning merupakan pemecah masalah dari ketidaksuburan yang dialami oleh wanita. Namun, tidak dapat mengabaikan fakta bahwa para ilmuwan pencipta kloning domba Dolly harus melakukan percobaan sebanyak 277 kali agar berhasil. Clonaid, pencipta bayi Eve, mengklaim bahwa pihaknya menggunakan lebih dari 200 sel telur manusia dari sel dewasa untuk mendapatkan sepuluh  yang tumbuh normal tetapi hanya lima yang dapat dimplantasikan dengan sukses. Bercermin dari eksperimen-eksperimen tersebut, kloning untuk manusia akan melewati prosedur yang jauh lebih rumit dan tidak menutup kemungkinan terjadi pembunuhan ataupun kematian embrio dalam janin nantinya.

Pembunuhan ataupun kematian embrio menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan suatu bentuk kejahatan sehingga dapat dijatuhi sanksi pidana. Pengaturan lebih rinci terkait pasal dalam KUHP yang dimaksud terdapat dalam beberapa pasal, yakni Pasal 346 KUHP jika pelakunya merupakan perempuan, Pasal 347 jika pelakunya orang lain dengan tidak memiliki izin perempuan, Pasal 348 jika pelakunya merupakan orang lain dengan memiliki izin perempuan, dan Pasal 349 jika pelakunya memiliki jabatan.[22] Di samping itu, menurut Hukum Perdata, embrio yang terdapat dalam janin manusia sudah dapat dikatakan sebagai subjek hukum karena dianggap telah hidup sehingga memiliki hak terkait hak waris sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).[23] Teranglah diketahui, jika terjadi kematian ataupun terbunuhnya embrio akan berpengaruh terhadap hak waris anak tersebut, yang mana menyebabkan hak anak tersebut atas waris hilang karena dianggap tidak pernah ada.

Lahirnya embrio tersebut ke dunia ternyata tidak menyelesaikan permasalahan hukum dengan begitu saja. Embrio yang lahir dan menjadi seorang manusia akan mengalami kesulitan mengetahui status hukumnya dalam hak pewarisan dan dalam hal pembuktian pengingkaran dan/atau pengakuan anak di kemudian hari, yang memerlukan tes DNA ataupun Akta Kelahiran. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan), anak yang sah merupakan anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.[24] Anak yang lahir menggunakan metode kloning nantinya hanya akan memiliki hubungan darah dengan salah satu pihak, baik ibu atau ayah, bahkan tidak menutup kemungkinan lahir hubungan darah dengan pihak lain di luar kedua orang tua sebab sel telur dan DNA yang diambil berasal dari orang lain.

Salah satu kemungkinan penyebab berbedanya hubungan darah karena adanya pembuahan di luar rahim oleh sel telur milik ibu pengganti (surrogate mother). Surrogate mother merupakan suatu perjanjian antara seorang wanita yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian dengan pihak lain (suami istri) untuk menjadi hamil terhadap hasil pembuahan suami istri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah melahirkan diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami isteri berdasarkan perjanjian yang dibuat. Dengan kata lain, perempuan penampung pembuahan telah menyewakan rahimnya. Perjanjian sewa rahin ini bila mengacu pada Hukum Positif Indonesia tidak diperbolehkan karena prokreasi yang terjadi bukan berasal dari pasangan suami istri yang terikat perkawinan sah. Apabila terdapat polemik mengenai status hukum anak dalam waris, anak tersebut akan bergantung pada pembuktian pengingkaran dan/atau pengakuan anak yang bukan jalan mudah untuk ditempuh.

Hukum Positif Indonesia juga mengacu pada ketentuan Hukum Islam ketika melangsungkan kloning. Islam mempercayai bahwasanya hubungan suami istri melalui perkawinan merupakan landasan bagi pembentukan masyarakat yang diatur berdasarkan tuntuhan Allah swt. Anak yang lahir dalam perikatan perkawinan tidak hanya membawa komponen genetik kedua orang tua, tetapi juga membawa identitas bagi anak. Kloning dalam hal ini dipercayai akan berujung pada hilangnya garis keturunan yang berakibat hilangnya hak anak dan terabaikannya sejumlah hukum yang timbul. Kemudian dikarenakan proses prokreasi dapat dilakukan secara aseksual, maka institusi perkawinan yang telah disyariatkan sebagai media berketurunan secara sah tidak diperlukan lagi, lembaga keluarga melalui perkawinan menjadi hancur, dan tidak ada lagi saling memerlukan antara laki-laki dan perempuan.

Setelah memaparkan penjelasan mengenai perspektif hukum positif di Indonesia terhadap isu kloning di atas, sudah teranglah bahwasanya dalam pandangan positivisme hukum, kloning terhadap manusia jugalah tidak dapat dibenarkan, walaupun tidak ada UU yang mengatur secara eksplisit terkait Kloning, akan tetapi secara tidak langsung perbuatan Kloning terhadap manusia bertentangan dengan beberapa pasal dalam Hukum Positif di Indonesia seperti UU Kesehatan, PP Kesehatan Reproduksi, KUHP, UU Perkawinan, dan juga Hukum Islam. Namun walaupun  Kloning belum diatur secara eksplisit dalam Hukum Positif Indonesia akan tetapi Kloning tetap dapat melanggar beberapa hukum positif Indonesia, sebaiknya untuk kedepannya tetaplah perlu diatur lebih lanjut hukum mengenai kloning sehingga terdapat kepastian hukum yang lebih kuat lagi dan para pihak yang dirugikanpun dapat memperoleh payung hukum.

3. Kloning Terhadap Manusia dari Perspektif Aliran Utilitarianisme

- Sekilas tentang Aliran Utilitarianisme

Aliran Utilitarianisme merupakan tradisi pemikiran moral yang berasal dari Inggris, yang kemudian menyebar ke seluruh kawasan yang berbahasa Inggris. David Hume (1711-1776), filsuf Skotlandia, merupakan pemrakarsa awal penting bagi pertumbuhan dan perkembangan aliran ini. Ia telah menemukan istilah Utilitarianism. Hume yakin bahwa baik adalah tindakan yang memiliki utility dalam arti ‘tindakan itu membuatmu dan banyak orang lain menjadi bahagia’. Namun , ia tidak pernah mengembangkan ide ini dalam suatu teori yang komprehensif. Baru kemudian, Utilitarianisme dalam bentuknya yang matang dikembangkan oleh filsuf Inggris, Jeremy Bentham (1748-1832), sebagai sistem moral bagi abad baru, melalui bukunya yang terkenal Introduction to the Principles of Morals and Legislation 1789).

Menurut Bentham, utilitarianisme dimaksudkan sebagai dasar etis-moral untuk memperbaharui hukum Inggris , khususnya hukum pidana. Dengan demikian, Bentham hendak mewujudkan suatu teori hukum yang kongkret, bukan yang abstrak. Ia berpendapat bahwa tujuan utama hukum adalah untuk memajukan kepentingan para warga Negara dan bukan memaksakan perintah-perintah Tuhan atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Oleh karena itu, Bentham beranggapan bahwa klasifikasi kejahatan dalam hukum Inggris sudah ketinggalan zaman dan karenanya harus diganti dengan yang lebih up to date. Melalui buku tersebut, Bentham menawarkan suatu klasifikasi kejahatan yang didasarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan yang terakhir ini diukur berdasarkan kesusahan dan penderitaan yang diakibatkannya terhadap para korban dan masyarakat.[25]

Bentham menawarkan suatu hukum dan moralitas yang ‘ilmiah’ dengan cara yang sama seperti klaim sosiologi dan psikologi yang telah membuat kajian tentang manusia menjadi ilmiah. Menurut Bentham, pada dasarnya setiap manusia berada di bawah pemerintahan 2 penguasa yang berdaulat : ketidaksenangan (pain) dan kesenangan (pleasure). Menurut kodratnya, manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Oleh karena kebahagiaan merupakan tujuan utama manusia dalam hidup, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Moralitas suatu perbuatan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia, bukan kebahagiaan individu yang egois sebagaimana dikemukakan Hedonisme Klasik. Dengan demikian, Bentham sampai pada prinsip utama utilitarianisme yang berbunyi : the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar).[26]

- Analisis Isu Kloning terhadap Manusia dalam Perspektif Aliran Utilitarianisme

            Terkait dengan isu Kloning terhadap manusia jika merujuk pada aliran Utilitarianisme maka yang perlu diketahui terlebih dahulu yakni kesenangan atau dampak positif serta ketidaksenangan atau dampak negatif Kloning terhadap manusia, hal ini perlu diketahui karena dasar pemikiran aliran Utilitarianisme terutama yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham yakni Kebahagiaan sebesar-besarnya dari sebanyak-banyaknya orang untuk menghindari kesusahan atau ketidaksenangan. Oleh karena itu berikut penjabaran terkait dengan dampak positif / manfaat dan dampak negatif / kerugian dari Kloning terhadap manusia.[27]

- Dampak Positif / Manfaat Kloning

·   Memperbaiki kerusakan gen dan organ tubuh

Saat ini dunia medis mengalami perkembangan teknologi yang semakin canggih. Hal ini memungkinkan untuk dilakukannya operasi bedah guna memperbaiki bahkan mengganti organ tubuh yang mengalami kerusakan fungsi melalui prosedur transplantasi. Hingga saat ini telah banyak tindakan medis transplantasi organ yang dilakukan, seperti ginjal, hati, kornea mata, bahkan jantung.

Untuk memperbaiki atau mengganti organ tubuh yang mengalami kerusakan tentu saja harus didukung dengan ketersediaan organ penggantinya. Selama ini, penggantian organ tubuh ini tergantung dari ada tidaknya orang yang bersedia mendonorkan organ tubuhnya. Sayangnya, tak banyak yang bersedia menjadi donor organ tubuh. Atas kendala tersebut, kloning manusia bisa menjadi salah satu solusi untuk transplantasi organ tubuh yang mengalami kerusakan atau gagal fungsi. Tak hanya itu, kloning manusia juga dapat digunakan untuk memperbaiki atau menumbuhkan sel-sel baru guna menggantikan sel-sel yang telah rusak atau hilang. Artinya, kloning pada manusia memungkinkan untuk mengobati penyakit dan kelainan genetik.

  • Mengobati infertilitas

Setiap pasangan tentu memimpikan hadirnya buah hati yang meramaikan suasana dan mengisi hari-hari mereka. Namun sayangnya, tak semua pasangan mampu mewujudkan impian tersebut karena mengalami infertilitas, baik pada salah satu pihak maupun kedua-duanya. Kloning manusia dapat menjadi solusi bagi pasangan yang mengalami infertilitas untuk memperoleh keturunan.

Sebagai ‘obat’ infertilitas, kloning manusia dilakukan dengan menggunakan sel somatik dewasa yang ditanamkan ke dalam embrio, sehingga dapat menciptakan kehidupan baru. Dengan begitu, pasangan yang mengalami infertilitas dapat berkesempatan untuk memiliki anak secara biologis, meski sistem reproduksi yang dimiliki bermasalah dan tidak mendukung kesuburan. Teknologi kloning ini memungkinkan setiap orang untuk menjadi orang tua, bahkan jika mereka pasif secara seksual.

  • Memperpanjang usia

Di beberapa negara maju, kemampuan hidup manusia rata-rata mencapai usia maksimal 85 tahun. Di Amerika Serikat, rata-rata kemampuan hidup baik laki-laki maupun perempuan adalah lebih dari 70 tahun. Sementara di Sierra Leone, rata-rata kemampuan hidup lebih pendek yakni sekitar 49 tahun saja. Salah satu keuntungan dari teknologi kloning adalah dapat memperpanjang usia manusia. Artinya, manusia memiliki kesempatan untuk bertahan hidup lebih lama sehingga banyak hal yang bisa dilakukan demi tercapainya kualitas hidup yang lebih baik. Kloning yang mampu memperbaiki dan mengganti sel-sel rusak bahkan menumbuhkan sel-sel baru tentu akan berpengaruh pada regenerasi sel, sehingga kemampuan hidup manusia akan bertahan lebih lama.

  • Mempercepat pemulihan cedera traumatis

Kehidupan ini tak lepas dari pepatah untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ada keberuntungan, ada pula kemalangan. Selalu saja ada peristiwa mengerikan yang dialami oleh setiap orang, baik kekerasan, kecelakaan lalu lintas, kerja, atau saat berolahraga. Bagi mereka yang mengalaminya tentu tak hanya menimbulkan trauma secara psikologis, tetapi juga fisik. Baik trauma fisik maupun psikis membutuhkan waktu yang cukup lama dalam pemulihannya. Selain itu, bisa jadi trauma tersebut tetap meninggalkan luka, dalam arti sulit untuk kembali ke keadaan semula. Cedera traumatis yang dialami kemungkinan membekas secara permanen dalam diri individu yang mengalaminya.

Tujuan kloning manusia salah satunya adalah untuk membantu mempercepat pemulihan cedera traumatis. Kloning dilakukan pada sel individu yang mengalami cedera sehingga dapat mempersingkat waktu pemulihan. Tak hanya itu, dengan kloning penyembuhan sempurna bisa saja terjadi. Artinya, individu yang mengalami cedera traumatis dapat kembali ke keadaan semula baik secara fisik maupun psikis.

  • Modifikasi genetik

Genetik orang tua udah pasti akan menurun kepada anaknya baik gen-gen pembentuk sifat baik maupun yang buruk. Setiap calon orang tua tentu hanya bisa berharap anaknya mewarisi gen-gen yang baik dari orang tuanya. Tak ada orang tua yang ingin anaknya lahir dalam kondisi memiliki cacat bawaan. Semua orang tua pasti ingin anaknya lahir dalam kondisi normal baik secara fisik maupun mental dan juga sehat. Sayang faktanya cukup banyak anak yang lahir dalam kondisi cacat fisik maupun mental.

Teknologi kloning memungkinkan dilakukannya modifikasi genetik. Keuntungannya mampu meminimalisir bahkan mencegah cacat lahir. Dengan kloning, calon orang tua dapat memilih sifat-sifat tertentu untuk anak-anak yang akan dilahirkan. Mulai dari jenis kelamin, warna mata, bahkan karakteristik lainnya dapat dipilih sesuai keinginan calon orang tua. Dengan demikian, anak-anak yang dilahirkan memiliki gen terbaik sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup di masa mendatang

- Sedangkan Dampak Negatif dari Kloning yakni :

  • Dampak biologis tidak dapat diprediksi

Kloning tak selalu menghasilkan kehidupan baru yang istimewa dan super. Rekayasa genetik untuk menghasilkan anak-anak dengan profil genetik tertentu, dikhawatirkan malah menimbulkan terjadinya penurunan variasi genetik. Akibatnya, bukannya lebih kuat, manusia justru lebih rentan terhadap berbagai penyakit dan kelainan lainnya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bahwa manusia akan mengalami perkawinan sedarah dengan dirinya sendiri sebagai hasil dari kloningannya.

Kemajuan teknologi dan sains bukanlah segalanya, bisa saja positif tetapi tak menutup kemungkinan juga menimbulkan dampak negatif. Tindakan rekayasa genetik bukan tanpa risiko. Bahkan konsekuensi yang ditimbulkan bisa saja membahayakan. Konsekuensi rekayasa genetik tidak bisa diduga ke depannya, bisa saja justru mengubah cara hidup manusia, sehingga membahayakan umat manusia sebagai suatu spesies. Individu-individu baru hasil kloning bisa saja tidak sempurna sehingga mengalami masalah kesehatan yang lebih parah dibandingkan dengan inangnya.

  • Membuka kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin lebar

Teknologi kloning tidaklah murah. Untuk kloning seekor primata saja menghabiskan dana sebesar US$ 50.000, belum termasuk biaya perawatannya. Lantas, berapa biaya yang dibutuhkan untuk kloning manusia? Tentu bisa lebih mahal. Kloning manusia akan membuka kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat yang semakin lebar. Bagi mereka yang mampu melakukan kloning, secara sosial akan menciptakan kelasnya sendiri. Sementara mereka yang tidak mampu melakukan kloning, tidak menutup kemungkinan akan dijauhi bahkan diabaikan oleh masyarakat. Secara sosial dan ekonomi, proses kloning ini jelas menimbulkan dampak yang tidak baik. Masyarakat menjadi terbelah berdasarkan strata ekonomi dan sosialnya, abai terhadap lingkungan sekitar dan kepedulian terhadap sesama.

  • Memicu proses penuaan yang lebih cepat

Proses kloning dilakukan dengan mengambil sel dari inang yang masih hidup untuk membuat salinan dan menciptakan kehidupan baru. Tanpa disadari, dari proses ini ada kemungkinan usia yang dicetak dapat diadopsi oleh embrio yang sedang tumbuh. Akibatnya, individu hasil kloning bisa saja justru mengalami gangguan atau masalah penuaan dini, bahkan kematian dini. Sebab, dalam setiap proses kloning tak selalu mengalami kesuksesan. Alih-alih menciptakan kehidupan baru yang lebih sempurna, tetapi justru menghasilkan malapetaka.

  • Bertentangan dengan etika agama

Kloning manusia mendapat tentangan keras dari kalangan yang memiliki kepercayaan agama yang kuat. Proses menghasilkan individu atau kehidupan baru dinilai telah melampaui batas kewenangan manusia. Sebab proses menciptakan kehidupan atau individu baru merupakan hak atau kuasa tertinggi dari Sang Pencipta.

Kemampuan memperpanjang usia, melahirkan anak dengan gen sempurna, dan keuntungan lain yang ditawarkan oleh kloning manusia dinilai menyalahi kodrat atau takdir yang telah digariskan oleh Sang Pencipta. Ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya memberikan manfaat sesuai dengan batas dan kemampuan manusia, bukan malah ‘mengambil’ sebagian kuasa Sang Pencipta untuk menciptakan kehidupan baru yang diklaim lebih sempurna.

  • Mengganggu keseimbangan alam

Alam bertumbuh secara natural. Sementara kloning manusia sebagai proses buatan, dinilai dapat mengganggu keseimbangan alam. Kehidupan tak lagi berjalan sebagaimana mestinya, tetapi dapat dikoreksi atau diubah dengan cara tertentu. Jika modifikasi gen dilakukan untuk menciptakan makhluk yang lebih pintar dibandingkan yang lainnya, maka masyarakat justru tidak akan menerimanya.

  • Mendegradasi nilai kehidupan manusia

Kloning manusia justru dapat mendegradasi nilai kehidupan manusia itu sendiri. Semakin banyak kloning manusia yang dihasilkan, maka manusia tak lagi dinilai sebagai makhluk sosial yang lebih mulia, tetapi hanya sebatas komoditas saja. Sebagai contoh, orang tua yang tidak menyukai anak-anak karena fisik dan sifatnya tak sesuai dengan harapannya, bisa saja mengkloning agar mendapatkan anak yang lebih sempurna. Hal ini jelas buruk, sebab mengikis rasa kemanusiaan sebagai sifat dasar manusia.

  • Potensi untuk eksploitasi pada aksi kejahatan

Film-film fiksi mengenai kloning manusia yang menceritakan adanya konspirasi untuk mengeksploitasi manusia kloning guna suatu kepentingan atau konspirasi jahat mungkin terlihat mengada-ada, tapi bisa jadi benar adanya. Manusia-manusia hasil kloning dieksploitasi untuk kepentingan pribadi orang lain guna mencapai tujuan tertentu yang pastinya bukan sembarang kepentingan, bahkan mungkin berafiliasi dengan aksi kejahatan, teror, atau yang lainnya.

Berdasarkan pemaparan di atas terkait dampak positif dan dampak negatif dari Kloning dapat diambil kesimpulan bahwa jika merujuk pada Perspektif Utilitarianisme yang pada pokoknya merupakan upaya untuk sedapat mungkin memperoleh kebahagiaan hidup di dunia ini, maka Kloning terhadap manusia secara individual memang dapat memberi kebahagiaan atau kesenangan terhadap manusia yang semula tidak memiliki atau tidak bisa meraih apa yang diinginkannya selama ini pada akhirnya dapat dimiliki atau diraih seperti misalnya orang yang mengalami kerusakan atau kecacatan organ, contohnya seperti orang yang mengalami kebutaan, mereka tentunya sebelum mengenal Kloning pasti hidup penuh dengan penderitaan/kesusahan dikarenakan tidak bisa melihat seisi dunia, namun Kloning dapat memberikan kebahagiaan kepada mereka dengan melakukan transplantasi organ tubuh hasil kloning sehingga mereka bisa melihat dunia dan pastinya mereka mengalami kebahagiaaan dalam hidupnya. Contoh lain yakni misalkan suami istri yang tidak bisa memiliki buah hati karena infertilitas pastinya mengalami kesedihan mendalam, namun Kloning dapat memberi mereka kebahagiaan dengan memberikan mereka kesempatan untuk memiliki anak secara biologis, meski sistem reproduksi yang dimiliki bermasalah dan tidak mendukung kesuburan. Teknologi kloning ini memungkinkan setiap orang untuk menjadi orang tua, bahkan jika mereka pasif secara seksual.

Berdasarkan dua contoh di atas dapat dilihat bahwa tujuan daripada teori Utilitarian memang dapat tercapai dikarenakan Kloning nyatanya dapat menghindari manusia dari kesusahan atau penderitaan, namun ini hanyalah untuk sebagian individu saja dikarenakan kloning tidaklah memberi manfaat atau kebahagiaan dalam lingkup luas atau dalam hal ini masyarakat secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan, seperti yang dikemukakan diatas terkait dengan dampak negatif Kloning, salah satu dampaknya yakni Kloning dapat menimbulkan kesenjangan sosial karena manusia yang dapat bahagia dan lepas dari penderitaannya hanyalah manusia dengan ekonomi yang mumpuni sedangkan bagi mereka yang tidak memilik ekonomi yang memadai tetap menderita atau kesusahan atas keadaan yang dimilikinya.  

Terkait dengan dampak negatif dari Kloning yang lain seperti misalkan mendegradasi nilai kehidupan manusia, potensi untuk eksploitasi pada aksi kejahatan, mengganggu keseimbangan alam, memicu proses penuaan yang lebih cepat, dampak biologis tidak dapat diprediksi, menurut penulis jika dikaji dari perspektif utilitarianisme hal ini tidak dapat dijadikan dasar dalam menolak kloning dikarenakan dalam membuat suatu inovasi terbaru pasti saja ditemukan kegagalan sebab tidak ada suatu inovasi baru yang langsung berhasil begitu saja, sehingga dalam hal ini penulis berpendapat bahwa dampak-dampak negatif dari kloning di atas hanyalah merupakan prediksi yang dikhawatirkan dan prediksi tersebut haruslah diatasi dengan melakukan penyempurnaan terhadap kloning sehingga benar-benar bisa memberi kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi manusia. Lalu terkait dengan dampak negatif kloning yakni bertentangan dengan etika agama jika merujuk pada teori utilitarianisme Bentham bahwasanya moralitas bukan sekedar soal menyenangkan hati Allah atau soal kesetiaan pada aturan-aturan abstrak, melainkan merupakan upaya untuk sedapat mungkin memperoleh kebahagiaan hidup di dunia ini.[28] Sehingga berdasarkan pendapat Bentham ini dapat diambil jawaban bahwa Kloning pada manusia boleh saja untuk dilakukan walaupun bertentangan dengan agama selagi Kloning tersebut dapat memberikan manfaat dan dapat memberi kebahagiaan terhadap manusia yang membutuhkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Jurnal, Makalah, Internet

 Amin, 2007. Kloning Manusia dan Masalah Sosial-Etik. Dimensia, Vol.1 (1)

Anton F. Susanto, 2010, Dekonstruksi Hukum: Eksplorasi Teks dan Model Bacaan, Yogyakarta, Genta Publishing

Candrataruna, M 2008. Korea Selatan Perketat Hukum Tentang Kloning Manusia. www.okezone.com

Grotius, Rights War Peace

Hans Kelsen, 1995, Teori hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik Deskriptif, Rimdi Press

Hanafiah, MJ dan Amir, A. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC, 2008

Ibrahim, Anis. 2007. Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum & Hukum Millennium Ketiga. Malang: In-Trans.

James Rachels, Filsafat Moral (Yogyakarta : Kanisius, 2004)

Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Kitchener :Batoche Books, 2000)

Kompas.  Eve Manusia Kloning Pertama Di Dunia, 2008,  www.kompas.com

M.B. Crowe, “The Impious Hypothesis: A Paradox in Hugo Grotius”, dalam Grotius, Purfendorf and Modern Natural Law, ed. by Tom Campbell (Brookfield: Ashgate Publishing Company, 1999), hlm. 86.

 Michael Bertram Crowe, The Changing Profile of the Natural Law (Denhag: Martinus Nijhoff, 1977)

Pratimaratri, U . Kebijakan Hukum Pidana Di Bidang Reproduksi Repro- duksi (Kloning). Tesis. Universitas Diponegoro,2008

Rifda Izza, dkk, Human Cloning Dalam Tinjauan Filsafat Moral, Prosiding Konfrensi Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains, Volume 2, Maret 2020

Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perilaku: Hidup Baik Adalah Dasar Hukum yang Baik, Jakarta, Kompas Gramedia

Simulasi Kredit.com, Keuntungan dan Kerugian Kloning Manusia, https://www.simulasikredit.com/keuntungan-dan-kerugian-kloning-manusia/#:~:text=Tak%20hanya%20itu%2C%20kloning%20manusia,mengobati%20penyakit%20dan%20kelainan%20genetik. Diakses pada 26 November 2022

Wibowo T. Tunardy, Aliran Hukum Alam, https://jurnalhukum.com/aliran-hukum-alam/, diakses pada 26 November 2022

Peraturan - Peraturan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi



[1] Ibrahim, Anis. 2007. Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum & Hukum Millennium Ketiga. Malang: In-Trans.

[2] Amin, 2007. Kloning Manusia dan Masalah Sosial-Etik. Dimensia, Vol.1 (1), hlm 1.

[3] Kompas.  Eve Manusia Kloning Pertama Di Dunia, 2008,  www.kompas.com

[4] Pratimaratri, U . Kebijakan Hukum Pidana Di Bidang Reproduksi Repro- duksi (Kloning). Tesis. Universitas Diponegoro,2008,  hlm.164.

[5] Hanafiah, MJ dan Amir, A. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC, 2008

[6] Wibowo T. Tunardy, Aliran Hukum Alam, https://jurnalhukum.com/aliran-hukum-alam/, diakses pada 26 November 2022

[7] M.B. Crowe, “The Impious Hypothesis: A Paradox in Hugo Grotius”, dalam Grotius, Purfendorf and Modern Natural Law, ed. by Tom Campbell (Brookfield: Ashgate Publishing Company, 1999), hlm. 86. Michael Bertram Crowe, The Changing Profile of the Natural Law (Denhag: Martinus Nijhoff, 1977), hlm. 332. Lihat juga Jeremy Seth Geddert, Hugo Grotius and the Modern Theology of Freedom: Transcending Natural Right (New York: Taylor & Francis, 2017), hlm. 3.

[8] Grotius, Rights War Peace, hlm. 89

[9] Ibid.,

[10] Rifda Izza, dkk, Human Cloning Dalam Tinjauan Filsafat Moral, Prosiding Konfrensi Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains, Volume 2, Maret 2020, hlm. 258.

[11] Anton F. Susanto, 2010, Dekonstruksi Hukum: Eksplorasi Teks dan Model Bacaan, Yogyakarta, Genta Publishing, hlm. 29.

[12] Ibid, hlm. 149.

[13] Hans Kelsen, 1995, Teori hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum EmpirikDeskriptif, Rimdi Press, hlm. 4.

[14] Ibid, hlm. 115

[15] Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perilaku: Hidup Baik Adalah Dasar Hukum yang Baik, Jakarta, Kompas Gramedia, hlm. 162.

[16] Ibid, hlm. 162

[17] Candrataruna, M 2008. Korea Selatan Perketat Hukum Tentang Kloning Manu- sia. www.okezone.com

[18] Hanafiah dan Amir, Op.Cit.

[19] Pasal 127 Ayat (1)  Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

[20] Pasal 40 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi

[21] Pasal 40 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi

[22] Pasal 346, 347, 348, 349 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

[23] Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).

[24] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan)

[25] K. Bertens, Etika, 247.

[26] “Nature has Placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and pleasure. It is for them alone to point out what we ought to do, as well as to determine what we shall do. On the one hand, the standard of right and wrong, on the ohter, the chain of causes and effects, are fastened to their throne. They govern us in all we do, in all we say, in all we think : every effort we can make to throw off our subjection, will serve but to demonstrate and confirm it. It word a man may pretend to abjure their empire : but in reality he will remain subject to it all the while. The principle of utility recognizes this subjection, and assumes it for the foundation of that system, the subject of which is to rear fabric of felicity by the hands of reason and of law.

Lihat Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Kitchener :Batoche Books, 2000), hlm. 14

[28] James Rachels, Filsafat Moral (Yogyakarta : Kanisius, 2004), 171-172.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAK MUDAH BUKAN BERARTI TAK MUNGKIN (BIOGRAFI)

JUDEX FACTIE DAN JUDEX JURIST DALAM SISTEM PERADILAN DAN PRAKTIKNYA DI INDONESIA

Perkembangan Teknologi dalam Dunia Hukum : Telaah Konsep Panopticon sebagai Model Pendisiplinan Masyarakat