Evaluasi terhadap Praktik Pembentukan Perjanjian Internasional dalam Kaitannya dengan Partisipasi Rakyat

 


Oleh : Eduard Awang Maha Putra


Salah satu bentuk praktik bernegara bangsa Indonesia adalah dianutnya konsep demokrasi. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.[1] Dari pasal tersebut dapat ditegaskan bahwa Negara Indonesia menganut prinsip demokrasi konstitusional (Constitutional Democracy)”[2].

Jika merujuk pada pancasila sebagai Philosofische Grondslag bangsa Indonesia maka diketahui bahwa konstruksi demokrasi dalam sistem politik Indonesia adalah menggunakan sistem perwakilan (representative democracy). Wujud formal atau cerminan dari kelembagaan perwakilan di Indonesia terjawantah dalam lembaga negara yang disebut sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) / Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejarah memang mencatat bahwa lembaga perwakilan pada masa lalu lebih merepresentasikan kekuasaan presiden/eksekutif daripada konstituen yang memilihnya. Lembaga perwakilan saat itu benar-benar berada di bawah bayang-bayang eksekutif. Tetapi, reformasi telah merubah seluruh bangunan struktur ekonomi politik dari pusat hingga daerah (Robison dan Hadiz, 2004). Dari situ pula maka desain kelembagaan lembaga perwakilan, pusat/daerah, pasca reformasi telah berubah menjadi lebih memiliki otoritas yang besar. Ia tidak saja menjalankan fungsi perwakilan semata, melainkan juga memperjuangkan kepentingan-kepentingan konstituen yang diwakilinya. Fungsi-fungsi yang melekat secara konstitusi dalam lembaga perwakilan ini adalah fungsi anggaran, fungsi pengawasan dan fungsi legislasi.[3]

Begitupun dalam hal Indonesia hendak mengikatkan diri dengan dunia internasional dan membuat perjanjian internasional dengan negara lain, Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tidaklah dapat membuat perjanjian internasional serta merta tanpa keterlibatan daripada DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945  pada Pasal 11 ayat (1) dan (2) yang berbunyi :[4]

(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

(2)  Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.  

Keterlibatan DPR dalam pembuatan perjanjian internasional adalah bentuk representasi rakyat dan salah satu wujud dari pelaksanaan asas demokrasi yang menegakkan partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Makna kata “persetujuan” dalam Pasal 11 UUD 1945 merupakan perwujudan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut UUD.

Berdasarkan praktek di beberapa negara, perjanjian internasional dibedakan menjadi dua golongan. Pertama, perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap yakni perundingan dan penandatanganan. Kedua, perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap yakni perundingan, penandatangan dan ratifikasi. Ratifikasi merupakan salah satu bentuk persetujuan suatu negara untuk terikat perjanjian internasional (consent to be bound by a treaty). Persetujuan untuk terikat perjanjian internasional dapat diberikan dengan cara yang sesuai kehendak negara-negara peserta pada saat perjanjian itu diadakan.[5] Selain itu, unsur materi muatan perjanjian juga turut memberikan andil dalam penentuan cara persetujuan, sebagaimana halnya yang terdapat dalam Pasal 11 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian menyatakan persetujuan untuk terikat pada perjajian.

Dalam kaitannya dengan golongan kedua tersebut, sistem hukum Indonesia menegaskan bahwa untuk perjanjian internasional yang materi muatannya termasuk ke dalam ketentuan Pasal 11 ayat (2) UUD NRI 1945 harus dilakukan melalui ratifikasi (keterlibatan DPR). Ratifikasi ini menjadi suatu cara bagi lembaga perwakilan rakyat untuk meyakinkan bahwa wakil pemerintah (eksekutif) yang turut serta dalam perundingan dan menandatangani suatu perjanjian tidak keluar dari instruksi atau melakukan hal yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum.

Namun lebih daripada itu, keterlibatan DPR sebagai representasi dari rakyat  sebenarnya juga harus dimaknai secara utuh bukan hanya pada saat pengesahan melainkan pada proses-proses lain pada pembuatan perjanjian internasional termasuk transparansi informasi pada saat perundingan perjanjian internasional, sehingga dalam pembuatan perjanjian internasional DPR pun dapat memberikan masukan-masukan yang berpedoman pada kepentingan rakyat dan nasional serta hal ini juga merupakan bentuk pelaksanaan fungsi pengawasan daripada DPR untuk memastikan bahwa pada proses pembentukan perjanjian internasional yang dilakukan pemerintah haruslah menguntungkan bagi pihak Indonesia.

 Keterlibatan rakyat dalam hal ini DPR sebagai representasi rakyat pada pembentukan perjanjian internasional dapat dilihat pada praktik-praktik dari beberapa negara dalam demokratisasi pembentukan perjanjian internasional sebagai berikut:

1. Amerika Serikat

Dr. Hestemeyer memberikan contoh proses demokratisasi dan transparansi dalam pembentukan dan pengesahan perjanjian internasional di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, Kongres memainkan peran penting sehubungan dengan perjanjian perdagangan. Secara konstitusional Pasal I Bagian 8 memberi Kongres kekuatan "untuk mengatur perdagangan dengan negara-negara asing". Namun, menurut Pasal II Bagian 2, Presidenlah yang memiliki kekuasaan untuk membuat perjanjian "dengan saran dan persetujuan Senat ... dengan syarat dua pertiga dari Senator hadir dengan persetujuan".

Untuk perjanjian perdagangan, telah menjadi persyaratan de-facto bagi Kongres untuk meloloskan suatu undang-undang yang memberikan wewenang kepada “Trade Promotion Authority” di bawah Presiden. Undang-undang tersebut menetapkan tujuan yang perlu dicapai dalam proses kesepakatan perdagangan dan juga menentukan prosedur yang perlu diikuti dalam negosiasi, seperti persyaratan konsultasi bagi Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat, yaitu kantor pemerintah yang bertanggung jawab atas negosiasi, dengan Kongres. Kongres menentukan tujuan negosiasi perdagangan, diperbarui secara konstan dan menyetujui kesepakatan apa pun yang dihasilkan dari negosiasi, dalam voting. Dengan demikian, sistem AS menawarkan pengawasan demokratis atas mandat negosiasi dengan voting di parlemen dan keterlibatan parlemen dalam proses negosiasi. Keterlibatan parlemen dalam mandat sebagai bentuk persetujuan parlemen untuk negosiasi, memperkuat posisi negosiator dan memastikan bahwa parlemen telah berkomitmen pada negosiasi. Ditambah konsensus bipartisan untuk memastikan bahwa perubahan pemerintah tidak akan mempengaruhi negosiasi. Keterlibatan parlemen juga merupakan salah satu aspek untuk memastikan proses negosiasi yang efektif dan dapat dipertanggungjawabkan secara demokratis. AS mencoba untuk memastikan bahwa suara industri, dan juga masyarakat sipil, terdengar dalam negosiasi.[6]

2. Jerman

Mahkamah Konstitusi Federal Jerman atau Bundesverfassungsgericht memilik yurisprudensi terkait dengan hak Bundestag (Parlemen) untuk diberikan informasi mengenai “European Stability Mechanism”. Dijelaskan bahwa Bundestag wajib diberikan informasi sedemikian rupa sehingga Bundestag bisa memberikan pertimbangan dalam proses pembuatan kebijakan yang dilakukan Pemerintah secara efektif dan sedini mungkin. Lebih lanjut, dalam kasus di mana terjadi perundingan yang lebih lama dari biasanya, Bundesverfassungsgericht tidak serta merta membiarkan Pemerintah untuk memberikan informasi kepada Bundestag hanya ketika perundingan sudah berakhir. Pemerintah diwajibkan untuk memberikan informasi ketika perundingan sedang berjalan sehingga Bundestag dapat melaksanakan haknya untuk berpartisipasi secara efektif terhadap proses perundingan.

Tidak ada aturan dalam Basic Law Jerman yang mengatur hak Bundestag atas informasi mengenai proses perundingan yang dilakukan oleh Pemerintah (lebih-lebih hak untuk mengubah proses tersebut). Namun, untuk mencegah penolakan terhadap traktat dalam tahap ratifikasi oleh Parlemen [Pasal 59 ayat (2) Basic Law], Pemerintah secara rutin memberikan informasi kepada Parlemen – lebih khususnya komite-komite yang bertanggung jawab – sedini mungkin terkait proses perundingan. Komite-komite yang paling sering menerima informasi mengenai proses perundingan traktat yang sedang berlangsung biasanya ialah “Committee on Foreign Affairs”, “Committee on Human Rights and Humanitarian Aid”, “Committee on Economic Cooperation and Development”, dan “Committee on Legal Affairs”. Lebih dari itu, Pemerintah juga memiliki kewenangan penuh untuk memberikan informasi kepada “Commitee on Foreign Affairs” dalam tahap perundingan traktat. Keputusan ini bergantung pada pertimbangan yang berbeda-beda, misalnya apakah proses memberikan informasi ini dapat membeberkan taktik atau posisi negosiasi yang dapat melemahkan daya tawar Pemerintah.[7]

3. Selandia Baru

Berdasarkan pada Rules of Procedure dari House of Representatives, Pemerintah memiliki obligasi untuk menyampaikan traktat-traktat berikut ini pada Kamar Parlemen: traktat yan membutuhkan ratifikasi, approval, pencapaian atau penerimaan, dan penarikan dari traktat tersebut; traktat yang melalui prosedur-prosedur ini secara mendesak, sesuai dengan beberapa kepentingan nasional; traktat bilateral mengenai kepentingan sentral, yang tidak membutuhkan ratifikasi, approval atau penerimaan dalam arti tertentu, di mana Menteri Luar Negeri dan Perdagangan memutuskan harus untuk disampaikan pada House of Representatives.

 Traktat ini harus disampaikan pada Parlemen dengan didampingi oleh sebuah “analisis kepentingan nasional”, yang berfungsi sebagai latar belakang dari permintaan tersebut, dan perincian mengenainya. Traktat dan analisis kepentingan nasional ini diberikan kepada Komite Urusan Luar Negeri, Pertahanan dan Perdagangan (Hereinafter – “Komite Urusan Luar Negeri”), yang akan memeriksa mereka atau diberikan kepada komite lainnya untuk diperiksa. Jika Komite Urusan Luar Negeri tidak mampu untuk bersidang dalam kurun waktu tujuh hari sejak traktat tersebut disampaikan, dan subyek yang dibahas dalam traktat tersebut secara jelas merupakan kompetensi dari komite lainnya, maka Juru Bicara dari House of Representatives akan memberikan traktat tersebut pada komite lainnya untuk diperiksa dan melaporkannya pada Kamar Parlemen. Komite harus mempertimbangkan apakah perlu melibatkan House of Representatives pada beberapa aspek dari traktat ini. Komite harus menambahkan analisis kepentingan nasional sebagai lampiran pada laporannya.[8]

Berdasarkan praktik pembuatan perjanjian internasional dari beberapa negara di atas dapat dilihat bahwa keterlibatan DPR tidak hanya pada saat ratifikasi perjanjian internasional saja melainkan mulai dari tahap perundingan seperti misalkan di Jerman, DPR atau parlemen wajib diberikan informasi terkait proses perundingan yang sedang dilangsungkan oleh Pemerintah. Begitupun di Amerika Serikat, Parlemen justru dapat ikut dalam proses negosiasi pada perjanjian-perjanjian internasional untuk bidang-bidang tertentu.

Sedangkan jika dibandingkan dengan praktik pembentukan perjanjian internasional di Indonesia,  keterlibatan DPR sebagai wujud partisipasi rakyat dalam pembentukan perjanjian internasional dapat dikatakan cukup minim, hal ini dikarenakan dalam Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU Perjanjian Internasional) keterlibatan DPR hanya sebatas pada tahap akhir saja yakni pada tahap pengesahan sehingga menimbulkan kesan bahwa DPR dimaknai hanya sekedar lembaga pemberi stempel pengesahan saja terhadap sebuah perjanjian internasional yang akan diikatkan oleh Pemerintah Indonesia.

Kewenangan DPR dalam mengesahkan atau meratifikasi perjanjian internasional pun dalam UU Perjanjian Internasional tidak dapat dilakukan bagi seluruh perjanjian internasional melainkan hanya bagi perjanjian-perjanjian internasional tertentu saja. Hal ini sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”[9] Peraturan lebih lanjut dari ketentuan pada pasal 11 ayat (2) UUD 1945 telah diatur dalam Pasal 10 UU Perjanjian Internasional, akan tetapi Pasal 10 UU Perjanjian Internasional ini menjadi salah satu pasal yang di Judicial Review oleh beberapa kelompok masyarakat ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai bahwa substansi Pasal 10 UU Perjanjian Internasional justru bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal 10 UU Perjanjian internasional mengatur bahwa pengesahan perjanjian internasional harus dilakukan dengan persetujuan DPR apabila berkenaan dengan: [10]

a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;

c. Kedaulatan dan hak berdaulat negara;

d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

e. Pembentukan kaidah hukum baru;

f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri;

Penetapan kriteria atau klasifikasi perjanjian internasional yang memerlukan persetujuan DPR dalam Pasal 10 UU Perjanjian Internasional memang dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang. Akan tetapi pasal tersebut justru menimbulkan polemik dikarenakan pasal tersebut justru memangkas hak rakyat untuk berpartisipasi dalam memberikan atau tidak memberikan persetujuan terhadap kriteria atau klasfikasi perjanjian internasional yang berkaitan dengan kemakmuran rakyat dan membawa akibat yang luas dan mendasar akan tetapi tidak termasuk dalam kriteria atau klasifikasi perjanjian internasional diluar dari bidang-bidang yang diatur dalam pasal 10 UU Perjanjian Internasional padahal yang paling merasakan dampak dari perjanjian tersebut yakni masyarakat itu sendiri.

Sebagai contoh perjanjian internasional yang berkaitan dengan bidang ekonomi antara Indonesia dengan Jepang yakni Agreement Between The Republic Of Indonesia and Japan For An Economic Partnership 2007 atau yang biasa disebut Indonesia-Japan Economic Partnership (IJEPA), yang disahkan lewat Perpres Nomor 36 Tahun 2008. Perjanjian yang terdiri dari tidak kurang 154 pasal mengatur kerjasama ekonomi dua negara yang sangat luas. Mulai dari aturan perdagangan berbagai jenis produk dan jasa kepabeanan dan bea masuk, pajak, investasi, hak atas kekayaan intelektual (hak cipta, merek dagang, desain industri, paten), persaingan usaha, penyediaan barang pemerintah (government procurement), pergerakan orang, sampai dengan penyelesaian sengketa.

Luasnya cakupan perjanjian dan mengingat besarnya besarnya nilai dan volume kerjasama antara ekonomi antara Indonesia dan Jepang, terlihat jelas bahwa perjanjian ini memiliki dampak yang luas bagi Indonesi dan oleh karenanya sangat penting. Jepang sendiri menganggap perjanjian ini amatlah sangat penting, sehingga Pemerintah Jepang memerlukan persetujuan parlemennya terlebih dahulu sebelum menyatakan terikat dengan perjanjian ini. Namun, Indonesia sendiri menyatakan keterikatannya dengan perjanjian ini tanpa adanya keterlibatan rakyat dalam hal ini DPR sebagai representasi dari rakyat untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan melainkan menyatakan keterikatannya dengan perjanjian ini setelah diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres).

Setelah diajukannya permohonoan Judicial Review oleh sekelompok masyarakat, alhasil MK dalam putusannya mengabulkan permohonan Pasal 10 UU Perjanjian Internasional. MK menyatakan bahwa Pasal 10 UU Perjanjian Internasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan bahwa hanya jenis-jenis perjanjian internasional sebagaimana disebutkan pada huruf a sampai dengan f dalam Pasal a quo itulah yang mempersyaratkan persetujuan DPR sehingga hanya jenis-jenis perjanjian tersebut yang pengesahannya dilakukan dengan undang-undang.[11] Putusan tersebut dapat diartikan bahwa pengkategorian Pasal 10 UU Perjanjian Internasional tidak cukup memaknai perjanjian internasional sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Pasal 10 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan bahwa hanya jenis-jenis perjanjian internasional tertentu harus mendapat persetujuan dari DPR dengan instrumen UU Pengesahan justru membuat kriteria ini menjadi bias. Kriteria perjanjian yang harus mendapatkan persetujuan DPR yaitu “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskanperubahan atau pembentukan undang-undang”. Sampai saat ini belum ada peraturan yang memberikan batasan penafsiran batasan kriteria tersebut.

Dalam pertimbangan hukumnya MK hanya memberikan penjelasan bahwa perihal dalam hal apa atau dalam keadaaan suatu materi perjanjian internasional menimbulkan akibat yang luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau harus mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang tidak dapat ditentukan secara limitatif melainkan harus dinilai secara kausistis berdasarkan pertimbangan dan perkembangan kebutuhan hukum secara nasional dan internasional. Maka diperlukan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dalam putusan tersebut sehingga dalam praktik tidak menimbulkan sengketa karena adanya interpretasi/penafsiran yang berbeda.

Selain itu, partisipasi rakyat dalam hal ini DPR dalam proses perjanjian internasional juga dikatakan cukup minim dikarenakan walaupun terdapat ketentuan dalam Pasal 2 UU Perjanjian Internasional yang menyatakan bahwa Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal menyangkut kepentingan publik. Akan tetapi tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah mekanisme Konsultasi tersebut di atas bersifat suka rela ataukah sebuah kewajiban bagi eksekutif. Tidak ada penjelasan sampai dimana peranan DPR dalam konsultasi ini dan apa saja yang menjadi materi konsultasi.

Lebih jauh, jika melihat ketentuan di dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Internasional, bahwa Pemerintah Indonesia perlu berkonsultasi dengan DPR setelah perjanjian internasional ditandatangani.[12] Pada saat konsultasi, baru akan diputuskan apakah perjanjian perdagangan internasional perlu diratifikasi dalam bentuk Undang-Undang yang membutuhkan persetujuan legislatif atau dapat dilaksanakan langsung oleh pemerintah dalam bentuk Peraturan Presiden. Dalam hal persetujuan diperlukan, ada kemungkinan bahwa DPR tidak memberikan persetujuannya dan perjanjian tersebut dibatalkan. Pemerintah Indonesia akan menemukan lebih banyak kesulitan dalam merumuskan kebijakan, termasuk mendapatkan persetujuan untuk perjanjian perdagangan internasional.

Ini membawa konsekuensi terhadap negosiasi perdagangan internasional di masa depan. Undang-Undang Perjanjian Internasional meningkatkan ketidakpastian seputar posisi Indonesia di berbagai bidang komitmen dan kerjasama internasional. Mengacu kembali pada Article 26 of the Vienna Convention on the Law of Treaties bahwa setiap negara yang telah sepakat mengikatkan dirinya dalam perjanjian internasional maka wajib melaksanakan dengan itikad baik terlepas hal tersebut bertentangan dengan konstitusi atau hukum nasionalnya, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian.[13]

Sejalan dengan hal tersebut jika merujuk pada penafsiran dari MK dalam Putusan MK Nomor 13/PUU-XVI/2018, MK juga menafsirkan bahwa konsultasi ini hanyalah konsultasi terkait apakah perjanjian internasional yang sedang dirundingkan merupakan perjanjian internasional yang akan disahkan melalui Peraturan Presiden atau melalui Undang-Undang, sedangkan tidak terdapat ketentuan atau sistem yang mengatur secara lebih prosedural terkait keterlibatan secara langsung dari rakyat seperti misalkan dalam tahap konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan juga diskusi internal untuk membahas draft atau rancangan dari perjanjian internasional yang sedang dirundingkan, sehingga partisipasi rakyat untuk memberikan masukan-masukan serta memperoleh informasi dalam proses perundingan dapat terakomodir dengan baik. Sehingga ketidakjelasan sistem ini menunjukan tidak adanya transparansi dan adanya keterbatasan partisipasi legislatif dalam proses pembentukan perjanjian internasional.

  



[1] Pasal 1 ayat (2) UUD 1945

[2] Jimly Asshiddiqie, Judicial Review & Matinya TGPTPK, Diktum, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan, edisi 1,Jakarta: LeIP, 2002, hlm.3.

[3] Muhaimin Iskandar, Demokrasi, Parlemen dan Tata Nilai Baru; Mahkamah Kehormatan dan Tipe Ideal Lembaga Penegak Etika Parlemen, https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/MKD-53-0610a59df481547d95ae1f6dc8ff212e.pdf, diakses pada 7 Juli 2023 ,pukul 11:17

[4] Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUD 1945

[5] Nanda Indrawati, Praktik Ratifikasi Perjanjian Internasional Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018, Jurnal Law, Development & Justice Review , Vol.3, No.1, hlm.111.

[6] Putusan MK Nomor 13/PUU-XVI/2018, hlm 97.

[7] Putusan MK Nomor 13/PUU-XVI/2018, hlm.98-99.

[8] Putusan MK Nomor 13/PUU-XVI/2018, hlm. 105.

[9] Pasal 11 ayat (2) UUD 1945

[10] Pasal 10 Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

[11] Putusan MK Nomor 13/PUU-XVI/2018, hlm.266

[12] Pasal 83 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Internasional

[13] Article 26 of the Vienna Convention on the Law of Treaties


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAK MUDAH BUKAN BERARTI TAK MUNGKIN (BIOGRAFI)

JUDEX FACTIE DAN JUDEX JURIST DALAM SISTEM PERADILAN DAN PRAKTIKNYA DI INDONESIA

Perkembangan Teknologi dalam Dunia Hukum : Telaah Konsep Panopticon sebagai Model Pendisiplinan Masyarakat