Evaluasi terhadap Praktik Pembentukan Perjanjian Internasional dalam Kaitannya dengan Partisipasi Rakyat
Oleh : Eduard Awang Maha Putra
Salah
satu bentuk praktik bernegara bangsa Indonesia adalah dianutnya konsep
demokrasi. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.[1] Dari
pasal tersebut dapat ditegaskan bahwa Negara Indonesia menganut prinsip
demokrasi konstitusional (Constitutional
Democracy)”[2].
Jika
merujuk pada pancasila sebagai Philosofische
Grondslag bangsa Indonesia maka diketahui bahwa konstruksi demokrasi dalam
sistem politik Indonesia adalah menggunakan sistem perwakilan (representative democracy). Wujud formal
atau cerminan dari kelembagaan perwakilan di Indonesia terjawantah dalam
lembaga negara yang disebut sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) / Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejarah memang mencatat bahwa lembaga
perwakilan pada masa lalu lebih merepresentasikan kekuasaan presiden/eksekutif
daripada konstituen yang memilihnya. Lembaga perwakilan saat itu benar-benar
berada di bawah bayang-bayang eksekutif. Tetapi, reformasi telah merubah
seluruh bangunan struktur ekonomi politik dari pusat hingga daerah (Robison dan
Hadiz, 2004). Dari situ pula maka desain kelembagaan lembaga perwakilan,
pusat/daerah, pasca reformasi telah berubah menjadi lebih memiliki otoritas
yang besar. Ia tidak saja menjalankan fungsi perwakilan semata, melainkan juga
memperjuangkan kepentingan-kepentingan konstituen yang diwakilinya.
Fungsi-fungsi yang melekat secara konstitusi dalam lembaga perwakilan ini
adalah fungsi anggaran, fungsi pengawasan dan fungsi legislasi.[3]
Begitupun
dalam hal Indonesia hendak mengikatkan diri dengan dunia internasional dan
membuat perjanjian internasional dengan negara lain, Presiden sebagai pemegang
kekuasaan eksekutif tidaklah dapat membuat perjanjian internasional serta merta
tanpa keterlibatan daripada DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Hal ini
sesuai dengan amanat UUD 1945 pada Pasal
11 ayat (1) dan (2) yang berbunyi :[4]
(1) Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang membuat perdamaian
dan perjanjian dengan negara lain.
(2) Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Keterlibatan DPR dalam pembuatan perjanjian internasional adalah
bentuk representasi rakyat dan salah satu wujud dari pelaksanaan asas demokrasi
yang menegakkan partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Makna kata
“persetujuan” dalam Pasal 11 UUD 1945 merupakan perwujudan kedaulatan rakyat
yang dilaksanakan menurut UUD.
Berdasarkan praktek di beberapa
negara, perjanjian internasional dibedakan menjadi dua golongan.
Pertama, perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap yakni perundingan dan
penandatanganan. Kedua, perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap yakni
perundingan, penandatangan dan ratifikasi. Ratifikasi merupakan salah satu
bentuk persetujuan suatu negara untuk terikat perjanjian internasional (consent to be bound by a treaty).
Persetujuan untuk terikat perjanjian internasional dapat diberikan dengan cara
yang sesuai kehendak negara-negara peserta pada saat perjanjian itu diadakan.[5]
Selain itu, unsur materi muatan perjanjian juga turut memberikan andil dalam
penentuan cara persetujuan, sebagaimana halnya yang terdapat dalam Pasal 11
Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian menyatakan persetujuan untuk
terikat pada perjajian.
Dalam kaitannya dengan golongan kedua tersebut, sistem hukum
Indonesia menegaskan bahwa untuk perjanjian internasional yang materi muatannya
termasuk ke dalam ketentuan Pasal 11 ayat (2) UUD NRI 1945 harus dilakukan
melalui ratifikasi (keterlibatan DPR). Ratifikasi ini menjadi suatu cara bagi
lembaga perwakilan rakyat untuk meyakinkan bahwa wakil pemerintah (eksekutif)
yang turut serta dalam perundingan dan menandatangani suatu perjanjian tidak
keluar dari instruksi atau melakukan hal yang dianggap bertentangan dengan
kepentingan umum.
Namun lebih daripada itu,
keterlibatan DPR sebagai representasi dari rakyat sebenarnya juga harus
dimaknai secara utuh bukan hanya pada saat pengesahan melainkan pada proses-proses
lain pada pembuatan perjanjian internasional termasuk transparansi informasi
pada saat perundingan perjanjian internasional, sehingga dalam pembuatan
perjanjian internasional DPR pun dapat memberikan masukan-masukan yang
berpedoman pada kepentingan rakyat dan nasional serta hal ini juga merupakan
bentuk pelaksanaan fungsi pengawasan daripada DPR untuk memastikan bahwa pada
proses pembentukan perjanjian internasional yang dilakukan pemerintah haruslah
menguntungkan bagi pihak Indonesia.
Keterlibatan rakyat
dalam hal ini DPR sebagai representasi rakyat pada pembentukan perjanjian
internasional dapat dilihat pada praktik-praktik dari beberapa negara dalam
demokratisasi pembentukan perjanjian internasional sebagai berikut:
1.
Amerika Serikat
Dr. Hestemeyer memberikan contoh proses demokratisasi dan
transparansi dalam pembentukan dan pengesahan perjanjian internasional di
Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, Kongres memainkan peran penting sehubungan
dengan perjanjian perdagangan. Secara konstitusional Pasal I Bagian 8 memberi
Kongres kekuatan "untuk mengatur perdagangan dengan negara-negara
asing". Namun, menurut Pasal II Bagian 2, Presidenlah yang memiliki
kekuasaan untuk membuat perjanjian "dengan saran dan persetujuan Senat ...
dengan syarat dua pertiga dari Senator hadir dengan persetujuan".
Untuk perjanjian perdagangan, telah menjadi persyaratan
de-facto bagi Kongres untuk meloloskan suatu undang-undang yang memberikan
wewenang kepada “Trade Promotion
Authority” di bawah Presiden. Undang-undang tersebut menetapkan tujuan yang
perlu dicapai dalam proses kesepakatan perdagangan dan juga menentukan prosedur
yang perlu diikuti dalam negosiasi, seperti persyaratan konsultasi bagi
Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat, yaitu kantor pemerintah yang
bertanggung jawab atas negosiasi, dengan Kongres. Kongres menentukan tujuan
negosiasi perdagangan, diperbarui secara konstan dan menyetujui kesepakatan apa
pun yang dihasilkan dari negosiasi, dalam voting. Dengan demikian, sistem AS
menawarkan pengawasan demokratis atas mandat negosiasi dengan voting di
parlemen dan keterlibatan parlemen dalam proses negosiasi. Keterlibatan
parlemen dalam mandat sebagai bentuk persetujuan parlemen untuk negosiasi,
memperkuat posisi negosiator dan memastikan bahwa parlemen telah berkomitmen
pada negosiasi. Ditambah konsensus bipartisan untuk memastikan bahwa perubahan
pemerintah tidak akan mempengaruhi negosiasi. Keterlibatan parlemen juga
merupakan salah satu aspek untuk memastikan proses negosiasi yang efektif dan
dapat dipertanggungjawabkan secara demokratis. AS mencoba untuk memastikan
bahwa suara industri, dan juga masyarakat sipil, terdengar dalam negosiasi.[6]
2.
Jerman
Mahkamah Konstitusi Federal Jerman atau Bundesverfassungsgericht memilik yurisprudensi terkait dengan hak
Bundestag (Parlemen) untuk diberikan informasi mengenai “European Stability Mechanism”. Dijelaskan bahwa Bundestag wajib diberikan informasi
sedemikian rupa sehingga Bundestag
bisa memberikan pertimbangan dalam proses pembuatan kebijakan yang dilakukan
Pemerintah secara efektif dan sedini mungkin. Lebih lanjut, dalam kasus di mana
terjadi perundingan yang lebih lama dari biasanya, Bundesverfassungsgericht tidak serta merta membiarkan Pemerintah
untuk memberikan informasi kepada Bundestag
hanya ketika perundingan sudah berakhir. Pemerintah diwajibkan untuk
memberikan informasi ketika perundingan sedang berjalan sehingga Bundestag dapat melaksanakan haknya
untuk berpartisipasi secara efektif terhadap proses perundingan.
Tidak ada aturan dalam Basic Law Jerman yang mengatur hak
Bundestag atas informasi mengenai proses perundingan yang dilakukan oleh
Pemerintah (lebih-lebih hak untuk mengubah proses tersebut). Namun, untuk
mencegah penolakan terhadap traktat dalam tahap ratifikasi oleh Parlemen [Pasal
59 ayat (2) Basic Law], Pemerintah secara rutin memberikan informasi kepada
Parlemen – lebih khususnya komite-komite yang bertanggung jawab – sedini
mungkin terkait proses perundingan. Komite-komite yang paling sering menerima informasi
mengenai proses perundingan traktat yang sedang berlangsung biasanya ialah “Committee on Foreign Affairs”, “Committee on
Human Rights and Humanitarian Aid”, “Committee on Economic Cooperation and
Development”, dan “Committee on Legal Affairs”. Lebih dari itu, Pemerintah
juga memiliki kewenangan penuh untuk memberikan informasi kepada “Commitee on Foreign Affairs” dalam tahap
perundingan traktat. Keputusan ini bergantung pada pertimbangan yang
berbeda-beda, misalnya apakah proses memberikan informasi ini dapat membeberkan
taktik atau posisi negosiasi yang dapat melemahkan daya tawar Pemerintah.[7]
3. Selandia Baru
Berdasarkan pada Rules of Procedure dari House of
Representatives, Pemerintah memiliki obligasi untuk menyampaikan
traktat-traktat berikut ini pada Kamar Parlemen: traktat yan membutuhkan
ratifikasi, approval, pencapaian atau penerimaan, dan penarikan dari traktat
tersebut; traktat yang melalui prosedur-prosedur ini secara mendesak, sesuai
dengan beberapa kepentingan nasional; traktat bilateral mengenai kepentingan
sentral, yang tidak membutuhkan ratifikasi, approval atau penerimaan dalam arti
tertentu, di mana Menteri Luar Negeri dan Perdagangan memutuskan harus untuk
disampaikan pada House of Representatives.
Traktat ini harus
disampaikan pada Parlemen dengan didampingi oleh sebuah “analisis kepentingan
nasional”, yang berfungsi sebagai latar belakang dari permintaan tersebut, dan
perincian mengenainya. Traktat dan analisis kepentingan nasional ini diberikan
kepada Komite Urusan Luar Negeri, Pertahanan dan Perdagangan (Hereinafter –
“Komite Urusan Luar Negeri”), yang akan memeriksa mereka atau diberikan kepada
komite lainnya untuk diperiksa. Jika Komite Urusan Luar Negeri tidak mampu
untuk bersidang dalam kurun waktu tujuh hari sejak traktat tersebut
disampaikan, dan subyek yang dibahas dalam traktat tersebut secara jelas
merupakan kompetensi dari komite lainnya, maka Juru Bicara dari House of Representatives akan memberikan
traktat tersebut pada komite lainnya untuk diperiksa dan melaporkannya pada
Kamar Parlemen. Komite harus mempertimbangkan apakah perlu melibatkan House of Representatives pada beberapa
aspek dari traktat ini. Komite harus menambahkan analisis kepentingan nasional
sebagai lampiran pada laporannya.[8]
Berdasarkan praktik pembuatan perjanjian internasional dari
beberapa negara di atas dapat dilihat bahwa keterlibatan DPR tidak hanya pada
saat ratifikasi perjanjian internasional saja melainkan mulai dari tahap
perundingan seperti misalkan di Jerman, DPR atau parlemen wajib diberikan
informasi terkait proses perundingan yang sedang dilangsungkan oleh Pemerintah.
Begitupun di Amerika Serikat, Parlemen justru dapat ikut dalam proses negosiasi
pada perjanjian-perjanjian internasional untuk bidang-bidang tertentu.
Sedangkan jika dibandingkan dengan praktik pembentukan
perjanjian internasional di Indonesia,
keterlibatan DPR sebagai wujud partisipasi rakyat dalam pembentukan
perjanjian internasional dapat dikatakan cukup minim, hal ini dikarenakan dalam
Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU Perjanjian
Internasional) keterlibatan DPR hanya sebatas pada tahap akhir saja yakni pada
tahap pengesahan sehingga menimbulkan kesan bahwa DPR dimaknai hanya sekedar
lembaga pemberi stempel pengesahan saja terhadap sebuah perjanjian
internasional yang akan diikatkan oleh Pemerintah Indonesia.
Kewenangan DPR dalam mengesahkan atau meratifikasi
perjanjian internasional pun dalam UU Perjanjian Internasional tidak dapat
dilakukan bagi seluruh perjanjian internasional melainkan hanya bagi
perjanjian-perjanjian internasional tertentu saja. Hal ini sesuai dengan Pasal
11 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.”[9]
Peraturan lebih lanjut dari ketentuan pada pasal 11 ayat (2) UUD 1945 telah
diatur dalam Pasal 10 UU Perjanjian Internasional, akan tetapi Pasal 10 UU
Perjanjian Internasional ini menjadi salah satu pasal yang di Judicial Review oleh beberapa kelompok
masyarakat ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai bahwa substansi Pasal 10 UU
Perjanjian Internasional justru bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 10 UU Perjanjian internasional mengatur bahwa
pengesahan perjanjian internasional harus dilakukan dengan persetujuan DPR
apabila berkenaan dengan: [10]
a.
Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b.
Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;
c.
Kedaulatan dan hak berdaulat negara;
d.
Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e.
Pembentukan kaidah hukum baru;
f.
Pinjaman dan/atau hibah luar negeri;
Penetapan kriteria atau klasifikasi perjanjian internasional
yang memerlukan persetujuan DPR dalam Pasal 10 UU Perjanjian Internasional memang
dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk
pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang. Akan tetapi pasal
tersebut justru menimbulkan polemik dikarenakan pasal tersebut justru memangkas
hak rakyat untuk berpartisipasi dalam memberikan atau tidak memberikan
persetujuan terhadap kriteria atau klasfikasi perjanjian internasional yang
berkaitan dengan kemakmuran rakyat dan membawa akibat yang luas dan mendasar
akan tetapi tidak termasuk dalam kriteria atau klasifikasi perjanjian
internasional diluar dari bidang-bidang yang diatur dalam pasal 10 UU
Perjanjian Internasional padahal yang paling merasakan dampak dari perjanjian
tersebut yakni masyarakat itu sendiri.
Sebagai contoh perjanjian internasional yang berkaitan
dengan bidang ekonomi antara Indonesia dengan Jepang yakni Agreement Between The Republic Of Indonesia and Japan For An Economic
Partnership 2007 atau yang biasa disebut Indonesia-Japan Economic Partnership (IJEPA), yang disahkan lewat
Perpres Nomor 36 Tahun 2008. Perjanjian yang terdiri dari tidak kurang 154
pasal mengatur kerjasama ekonomi dua negara yang sangat luas. Mulai dari aturan
perdagangan berbagai jenis produk dan jasa kepabeanan dan bea masuk, pajak,
investasi, hak atas kekayaan intelektual (hak cipta, merek dagang, desain
industri, paten), persaingan usaha, penyediaan barang pemerintah (government
procurement), pergerakan orang, sampai dengan penyelesaian sengketa.
Luasnya cakupan perjanjian dan mengingat besarnya besarnya
nilai dan volume kerjasama antara ekonomi antara Indonesia dan Jepang, terlihat
jelas bahwa perjanjian ini memiliki dampak yang luas bagi Indonesi dan oleh
karenanya sangat penting. Jepang sendiri menganggap perjanjian ini amatlah
sangat penting, sehingga Pemerintah Jepang memerlukan persetujuan parlemennya
terlebih dahulu sebelum menyatakan terikat dengan perjanjian ini. Namun,
Indonesia sendiri menyatakan keterikatannya dengan perjanjian ini tanpa adanya
keterlibatan rakyat dalam hal ini DPR sebagai representasi dari rakyat untuk
memberikan atau tidak memberikan persetujuan melainkan menyatakan
keterikatannya dengan perjanjian ini setelah diterbitkannya Peraturan Presiden
(Perpres).
Setelah diajukannya permohonoan Judicial Review oleh
sekelompok masyarakat, alhasil MK dalam putusannya mengabulkan permohonan Pasal
10 UU Perjanjian Internasional. MK menyatakan bahwa Pasal 10 UU Perjanjian
Internasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan bahwa hanya jenis-jenis
perjanjian internasional sebagaimana disebutkan pada huruf a sampai dengan f
dalam Pasal a quo itulah yang mempersyaratkan persetujuan DPR sehingga
hanya jenis-jenis perjanjian tersebut yang pengesahannya dilakukan dengan
undang-undang.[11]
Putusan tersebut dapat diartikan bahwa pengkategorian Pasal 10 UU Perjanjian
Internasional tidak cukup memaknai perjanjian internasional sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Pasal 10
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan
bahwa hanya jenis-jenis perjanjian internasional tertentu harus mendapat
persetujuan dari DPR dengan instrumen UU Pengesahan justru membuat kriteria ini
menjadi bias. Kriteria perjanjian yang harus mendapatkan persetujuan DPR yaitu
“menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskanperubahan atau pembentukan
undang-undang”. Sampai saat ini belum ada peraturan yang memberikan batasan
penafsiran batasan kriteria tersebut.
Dalam pertimbangan hukumnya MK hanya memberikan penjelasan
bahwa perihal dalam hal apa atau dalam keadaaan suatu materi perjanjian
internasional menimbulkan akibat yang luas dan mendasar yang terkait dengan
beban keuangan negara dan/atau harus mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang tidak dapat ditentukan secara limitatif melainkan harus dinilai
secara kausistis berdasarkan pertimbangan dan perkembangan kebutuhan hukum
secara nasional dan internasional. Maka diperlukan penjelasan lebih lanjut mengenai
apa yang dimaksud dalam putusan tersebut sehingga dalam praktik tidak
menimbulkan sengketa karena adanya interpretasi/penafsiran yang berbeda.
Selain itu, partisipasi rakyat dalam hal ini DPR dalam
proses perjanjian internasional juga dikatakan cukup minim dikarenakan walaupun
terdapat ketentuan dalam Pasal 2 UU Perjanjian Internasional yang menyatakan
bahwa Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah
yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal menyangkut kepentingan
publik. Akan tetapi tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah mekanisme
Konsultasi tersebut di atas bersifat suka rela ataukah sebuah kewajiban bagi
eksekutif. Tidak ada penjelasan sampai dimana peranan DPR dalam konsultasi ini
dan apa saja yang menjadi materi konsultasi.
Lebih jauh, jika melihat ketentuan di dalam Pasal 83
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Internasional, bahwa
Pemerintah Indonesia perlu berkonsultasi dengan DPR setelah perjanjian
internasional ditandatangani.[12]
Pada saat konsultasi, baru akan diputuskan apakah perjanjian perdagangan
internasional perlu diratifikasi dalam bentuk Undang-Undang yang membutuhkan
persetujuan legislatif atau dapat dilaksanakan langsung oleh pemerintah dalam
bentuk Peraturan Presiden. Dalam hal persetujuan diperlukan, ada kemungkinan
bahwa DPR tidak memberikan persetujuannya dan perjanjian tersebut dibatalkan.
Pemerintah Indonesia akan menemukan lebih banyak kesulitan dalam merumuskan
kebijakan, termasuk mendapatkan persetujuan untuk perjanjian perdagangan
internasional.
Ini membawa konsekuensi terhadap negosiasi perdagangan
internasional di masa depan. Undang-Undang Perjanjian Internasional
meningkatkan ketidakpastian seputar posisi Indonesia di berbagai bidang
komitmen dan kerjasama internasional. Mengacu kembali pada Article 26 of the Vienna Convention on the Law of Treaties bahwa
setiap negara yang telah sepakat mengikatkan dirinya dalam perjanjian
internasional maka wajib melaksanakan dengan itikad baik terlepas hal tersebut
bertentangan dengan konstitusi atau hukum nasionalnya, kecuali ditentukan lain
dalam perjanjian.[13]
Sejalan dengan hal tersebut jika merujuk pada penafsiran
dari MK dalam Putusan MK Nomor 13/PUU-XVI/2018, MK juga menafsirkan bahwa
konsultasi ini hanyalah konsultasi terkait apakah perjanjian internasional yang
sedang dirundingkan merupakan perjanjian internasional yang akan disahkan melalui
Peraturan Presiden atau melalui Undang-Undang, sedangkan tidak terdapat
ketentuan atau sistem yang mengatur secara lebih prosedural terkait
keterlibatan secara langsung dari rakyat seperti misalkan dalam tahap
konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan juga diskusi internal untuk
membahas draft atau rancangan dari perjanjian internasional yang sedang
dirundingkan, sehingga partisipasi rakyat untuk memberikan masukan-masukan
serta memperoleh informasi dalam proses perundingan dapat terakomodir dengan
baik. Sehingga ketidakjelasan sistem ini menunjukan tidak adanya transparansi
dan adanya keterbatasan partisipasi legislatif dalam proses pembentukan
perjanjian internasional.
[1] Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945
[2] Jimly
Asshiddiqie, Judicial Review & Matinya TGPTPK, Diktum, Jurnal Kajian
Putusan Pengadilan, edisi 1,Jakarta: LeIP, 2002, hlm.3.
[3] Muhaimin
Iskandar, Demokrasi, Parlemen dan Tata
Nilai Baru; Mahkamah Kehormatan dan Tipe Ideal Lembaga Penegak Etika Parlemen,
https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/MKD-53-0610a59df481547d95ae1f6dc8ff212e.pdf, diakses
pada 7 Juli 2023 ,pukul 11:17
[4] Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUD 1945
[5] Nanda Indrawati, Praktik
Ratifikasi Perjanjian Internasional Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
13/PUU-XVI/2018, Jurnal Law, Development & Justice Review , Vol.3, No.1,
hlm.111.
[6] Putusan MK Nomor
13/PUU-XVI/2018, hlm 97.
[7] Putusan MK Nomor
13/PUU-XVI/2018, hlm.98-99.
[8] Putusan MK Nomor
13/PUU-XVI/2018, hlm. 105.
[9] Pasal 11 ayat (2) UUD 1945
[10] Pasal 10 Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional
[11] Putusan MK Nomor 13/PUU-XVI/2018, hlm.266
[12] Pasal 83 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Internasional
[13] Article 26 of the Vienna Convention on the Law of Treaties
Komentar
Posting Komentar