Dilema dan Tantangan Pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 dan Relevansinya Dengan Presidential Threshold

Indonesia
sebagai negara yang menganut prinsip demokrasi dalam sistem ketatanegaraannya
memiliki konsekuensi mutlak bahwa kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat.
Hal ini sesuai dengan yang termaktub dalam konstitusi Indonesia yang merupakan Staatsgrundgesetz bangsa Indonesia tepat nya pada pasal 1 ayat 2
UUD 1945 yang menyatakan bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut UUD.
Implementasi dari asas kedaulatan rakyat ini diwujudkan dalam bentuk pemilihan
umum (pemilu) yang dimana salah satu prinsip umum Negara demokrasi yakni
pemerintah dipilih dari, oleh, dan untuk rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi dalam suatu negara. Sehingga pemilu bisa dikatakan juga sebagai suatu
pesta demokrasi rakyat untuk memilih wakilnya di lembaga legislatif dan
pemimpinnya di lembaga eksekutif yang dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia sudah
dilaksanakan sebanyak 12 kali yang dimana pemilu pertama dilaksanakan pada
tahun 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan
Konstituante. Pada saat itu, pelaksanaan pemilihan umum berjalan dengan sangat
lancar. Bahkan pemilu pada tahun 1955 dianggap sebagai pemilu yang paling
demokratis dalam sejarah kepemiluan Indonesia. Pemilu pada era Orde Baru
dilaksanakan pada tahun 1971, 1977, 1982, dan 1992 untuk memilih DPR dan DPRD.
Pada Era Reformasi Pemilu pertama kali dilaksanakan pada tahun 1999 namun pada
saat itu pemilu masih dilakukan untuk memilih anggota legislatif yakni DPR dan
DPRD, hingga pada tahun 2004 setelah dilakukan amandemen ke-4 UUD 1945 pada
tahun 2002 barulah pemilhan umum di Indonesia dilaksanakan tidak hanya untuk
memilih DPR dan DPRD (legislatif) saja melainkan pemilu dilangsungkan untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden (Eksekutif). Pemilihan secara langsung
Presiden dan Wakil Presiden ini dilakukan sesuai dengan amanat konstitusi
tepatnya pada pasal Pasal 6A UUD 1945
yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat. Selanjutnya pemilu pada masa reformasi juga telah
dilaksanakan pada tahun 2009, 2014, dan juga terakhir pada tahun 2019.
Namun
terdapat perbedaan sistem pemilu yang dilaksanakan pada tahun 2019 dengan
sistem pemilu yang dilaksanakan pada tahun 2004, 2009, dan 2014. Dimana pemilu
tahun 2004, 2009, dan 2014 dilakukan untuk memilih anggota legislatif dan
eksektutif (Presiden dan Wakil Presiden) yang dimana pelaksanaanya yakni pemilihan legislatif dilaksanakan terlebih
dahulu barulah beberapa bulan setelah itu dilakukan pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden. Sedangkan Pemilu Tahun 2019 juga dilakukan untuk memilih
anggota legislatif dan pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden akan tetapi perbedaannya dengan pemilu sebelumnya yakni
pemilu 2019 pelaksanaan pemilihannya dilakukan secara bersamaan atau serentak
antara pemilihan legislatif dan juga eksekutif. Sehingga dapat dikatakan pemilu
tahun 2019 merupakan pemilu pertama dalam sejarah kepemiluan Indonesia yang
dilaksanakan secara serentak atau dikenal juga dengan istilah Pemilu Serentak.
Latar
belakang diadakannya pemilu serentak ini yakni bermula dari diajukannya Judicial Review oleh salah satu pengamat
politik Indonesia yakni Effendy Ghazali ke Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of the constitution terkait
dengan sistem pemilu pada periode-periode sebelumnya yang dianggap tidak
demokratis dan juga diajukan permohonan agar sistem pemilu diselenggarakan
secara serentak/bersamaan. Alhasil MK pun mengabulkan permohonan judicial review yang diajukan Effendy
Ghazali dengan mengeluarkan putusan MK No.14/PUU-XI/2013 dengan dasar
pertimbangan hakim yakni pemilu serentak dapat membuat pelaksanaan pemilu lebih
efektif, efisien, dan bisa lebih hemat anggaran. Kemudian putusan MK tersebut
diadopsi dalam UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum sehingga Pemilu yang
diselenggarakan untuk periode 2019 dan selanjutnya harus lah dilaksanakan secara
serentak berdasarkan ketentuan yang telah diatur dalam UU Pemilu.
Pelaksanaan
Pemilu Serentak pada tahun 2019 menurut penulis telah berjalan dengan cukup
lancar walaupun terdapat beberapa catatan kelam dalam pelaksanaannya , menurut
Ketua Komisi Pemilhan Umum (RI) Arief Budiman terdapat 3 point penting dari
Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 diantaranya yakni:
1. Efisiensi pengadaan
logistik Pemilu mencapai 40,1 % ;
2. Partisipasi Masyarakat
dalam Pemilu mencapai 82,15 % ;
3.
Jumlah sengketa di MK menurun dari periode pemilu sebelumnya yakni jumlah
perkara terregister pada pemilu 2019 yakni sebayaka 260 perkara dan perkara
yang dikabulkan hanya 12 sengketa.
Sedangkan terdapat juga beberapa catatan-catatan kelam
pelaksanaan pemilu serentak 2019 diantaranya yakni:
1. Membengkaknya jumlah pelanggaran pemilu
Data dari Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) pada pemilu serentak 2019 terdapat 16.134 pelanggaran
administrasi, 373 pelanggaran kode etik, 582 pelanggaran pidana, dan 1.475
pelanggaran hukum lainnya.
2. Penanganan logistik
pemilu
Secara nasional, ada
10.520 TPS yang mengalami kekurangan logistik pemilu. Terjadi pula kasus kotak
suara yang diterima KPPS tidak tersegel, yaitu terjadi di 6.474 TPS. Selain itu
ada juga kasus surat suara yang tertukar antar Daerah Pemilihan atau antar TPS.
Berdasarkan data Bawaslu, kasus ini terjadi di 3.411 TPS.
3. Beban Kerja Petugas
Pemilu atau KPPS yang terlalu berat
Pemilu serentak 2019
tercatat sebagai pemilu yang paling banyak memakan korban jiwa selama sejarah
kepemiluan Indonesia sehingga dikenal juga sebagai Pemilu Berdarah, hal ini
dikarenakan berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan per 16 Mei 2019
menunjukkan sebanyak 527 jiwa Petugas KPPS meninggal dunia dan 11.239 orang
petugas pemilu jatuh sakit. Data ini menunjukan bahwa pemilu yang sebenarnya
merupakan momentum pesta demokrasi rakyat harus berubah menjadi momen
berkabungnya rakyat hal ini tentunya disebabkan karena beban daripada petugas
KPPS sangatlah berat sehingga menyebabkan mereka kelelahan hingga jatuh sakit
bahkan sampai harus merenggut nyawa.
4. Tujuan Dasar pemilu
serentak belum tercapai karena hanya 16,9% responden mengaku memilih
caleg/partai pendukung dan sebanyak 74% responden survei publik dan 86% tokoh
merasa disulitkan oleh hal teknis selama pemilu serentak.
Catatan-catatan kelam pemilu pada tahun 2019 tentunya
menjadi catatan penting bagi penyelenggara pemilu untuk menyelenggarakan Pemilu
pada periode berikutnya, yang dimana pemilu akan dilaksanakan kembali pada
tahun 2024 dengan sistem yang sama yakni Pemilu Serentak. Melihat catatan kelam
pemilu serentak 2019 maka Pemilu serentak tahun 2024 tentunya akan menghadapi
beberapa dilema dan tantangan yang bisa jadi lebih berat dibanding pemilu
serentak 2019 dimana tantangan-tantangan yang akan dihadapi dalam
penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024 diantaranya yakni:
1. Pemilu Serentak 2024
kemungkinan masih akan mengancam nyawa petugas Pemilu
Tak
dapat dipungkiri bahwa Pemilu serentak 2024 masih mengancam nyawa masyarakat
terlebih khusus petugas pemilu, hal ini dapat terjadi apabila mekanisme atau
sistem pemilu serentak belum diperbaiki, apabila sistem yang dilaksanakan tetap
sama dan belum disederhanakan maka hal ini pastinya tetap saja sangat
memberatkan beban/tanggung jawab petugas pemilu sehingga peristiwa pemilu
berdarah pun akan terulang kembali karena banyak petugas KPPS yang kelelahan
sehingga jatuh sakit hingga meninggal
dunia.
2. Virus Covid-19 masih
menghantui
Pada
tahun 2024 pelaksanaan pemilu dihadapkan dengan tantangan baru yakni wabah
virus Covid-19 yang telah menghantui masyarakat sejak tahun 2020. Pelaksanaan
pemilu serentak 2024 ditengah mewabahnya virus tentunya mengancam kesehatan
masyarakat dimana pelaksanaan pemilu berpeluang untuk menimbulkan kerumunan
sehingga dapat menimbulkan claster covid-19 yang baru apabila protokol
kesehatan tidak dijalankan dengan ketat , walaupun masyarakat sebagian besar
sudah divaksin dan sudah ada pernyataan dari pemerintah yang memperbolehkan
masyarakat untuk tidak menggunakan masker di ruang terbuka akan tetapi virus
ini tetap akan mengancam kesehatan masyarakat dan juga kerap kali terjadinya
mutasi virus covid-19 menunjukan bahwa bahaya dari covid-19 masih mengintai
dalam pelaksanaan pemilu serentak 2024 .
3. Lima surat suara dalam
satu waktu membuat masyarakat kesulitan
Pemilu
serentak 2024 juga memiliki tantangan yakni dalam hal pemungutan suara dimana
masyarakat banyak yang merasa kesulitan dan kebingungan karena pemilu serentak
tidak hanya dilakukan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta anggota
DPR RI saja melainkan harus mencoblos 5 (lima) surat suara sekaligus dalam satu
waktu diantaranya yakni surat suara untuk pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta anggota DPD. Lima
surat suara sekaligus dalam satu waktu membuat masyarakat kesulitan kecuali
sistem pemungutan suara pada pada pemilu serentak 2024 dibuat lebih sederhana
sehingga tidak menyulitkan dan membingungkan masyarakat.
4. Masyarakat hanya fokus
terhadap pilpres dan banyak yang acuh terhadap pileg
Salah
satu tantangan yang dihadapi pemilu serentak 2024 yakni euforia pemilu hanyalah
sebatas pesta rakyat untuk memilih presiden dan wakil presiden saja, sedangkan
banyak masyarakat yang acuh terhadap pemilihan legislatif, hal ini seperti yang
terjadi pada pemilu serentak 2019 dimana jumlah suara tidak sah dalam Pemilihan
legislatif 2019 naik dibanding 2014 dimana jumlah suara tidak sah pada pileg
2019 sebesar 16.267.725 suara. Tentunya hal ini menjadi tantangan yang serius
dalam pemilu serentak 2024 karena pileg dan pilpres sama-sama memiliki urgensi
yang sangat mempengaruhi nasib rakyat Indonesia 5 tahun kedepan, di mana
Pilpres untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang akan menangani masalah
pemerintahan, kemudian Pileg untuk memilih wakil rakyat yang menangani
persoalan di legislatif yaitu membuat regulasi, kebijakan anggaran dan fungsi
pengawasan. Sehingga seharusnya masyarakat juga
harus benar-benar memahami visi misi yang ditawarkan oleh calon
legislatif, agar kelak terpilih anggota legislatif yang merupakan wakil rakyat
baik di pusat maupun di daerah yang mempunyai kapasitas, integritas dan
kompetensi dalam bidangnya masing-masing.
5. Tujuan Pemilu Serentak
sulit dikatakan tercapai karena anggaran Pemilu 2024 merupakan anggaran
terbanyak dalam sejarah Pemilu
Salah
satu tujuan dari pelaksanaan pemilu serentak yakni agar bisa menghemat anggaran
negara dalam melaksanakan pemilu, namun nyatanya tujuan ini tidaklah bisa dikatakan
tercapai atau dengan kata lain tujuan untuk menghemat anggaran hanyalah omong
kosong belaka hal ini dikarenakan berdasarkan data yang diperoleh dari situs
resmi DPR RI, anggaran yang digunakan untuk pelaksanaan Pemilu Serentak 2024
yakni sebesar Rp 76,6 triliun, anggaran ini merupakan terbesar dalam sejarah
kepemiluan Indonesia, dimana pada pemilu serentak tahun 2019 anggaran yang
digunakan yakni sebesar Rp 25,6 triliun, pada tahun 2014 dimana saat itu belum
dilaksanakan pemilu serentak anggaran yang digunakan hanya sebesar Rp 15,6
triliun , pada tahun 2009 anggaran pemilu sebesar Rp 8,5 triliun, dan pada
tahun 2004 anggaran pemilu yakni sebesar Rp 4,5 triliuan. Hal ini menunjukan
bahwa pemilu serentak 2024 yang dikatakan sebagai alternatif agar tidak
terjadinya pembengkakan anggaran justru merupakan pemilu yang jumlah anggaranya
lebih besar 19 (sembilan belas) kali lipat dibanding pemilu pada tahun 2004.
Ini menunjukan bahwa tujuan pemilu serentak 2024 sulit dikatakan tercapai
sehingga ini juga menjadi suatu tantangan dalam keberhasilan pemilu serentak
2024.
Melihat
catatan-catatan kelam pada pemilu serentak 2019 dan juga kemungkinan tantangan
yang dihadapi dalam pelaksanaan pemilu serentak 2024 tentunya membawa
perspektif bahwa sistem pemilu serentak tidak lah tepat jika digunakan dalam
sistem pemilu di Indonesia dikarenakan pemilu serentak yang tujuan awalnya
yakni agar pelaksanaan pemilu bisa lebih efektif, efisien dan menghemat
anggaran justru realita yang terjadi malah sebaliknya bahkan kemungkinan lebih banyak
memiliki resiko yang lebih buruk dibandingkan pemilu pada tahun 2004,2009, dan
2014 yang tidak dilakukan secara serentak.
Digunakannya presidential threshold / ambang batas
pencalonan presiden juga tidaklah relevan apabila sistem pemilu yang
dilaksanakan yakni pemilu serentak. Presidential
Threshold / ambang batas calon presiden dan wakil presiden ialah tingkat
minimal dukungan yang harus diperoleh partai politik atau gabungan partai
politik untuk dapat mengusungkan calon presiden dan wakil presiden. Presidential Threshold sendiri diatur
dalam Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang disebutkan bahwa
pasangan calon diusungkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR
atau memperoleh 25% suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR
sebelumnya. Berdasarkan pengaturan terkait presidential
threshold dalam pasal 222 UU Pemilu tersebut maka diperoleh pengertian
bahwa Partai Politik barulah dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden
apabila suara yang diperoleh dalam pileg telah memenuhi presentase minimal
untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Sehingga jika pemilu serentak
dilaksanakan dengan tetap menggunakan presidential
threshold atau ambang batas pencalonan presiden maka tidaklah relevan untuk
dilaksanakan dikarenakan konsekuensi yang mucul yakni untuk mencalonkan
presiden dan wakil presiden pada pemilu mendatang haruslah didasarkan pada
hasil perolehan kursi DPR pada periode sebelumnya dan partai-partai yang baru
dibentuk setelah periode sebelumnya belum bisa mencalonkan Presiden dan Wakil
Presiden walaupun ia memperoleh kursi terbanyak pada pemilu berikutnya.
Tentunya hal ini merupakan suatu permasalahan dikarenakan hal ini merupakan
suatu bentuk pertentangan terhadap konstitusi tepatnya Pada pasal 6A Ayat (2)
yang menyatakan bahwa “pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum
pelaksanaan Pemilu.”
Dan
juga ini bertentangan dengan hak asasi warga negara yang terdapat dalam Pasal
27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.” Serta Pasal 28D ayat (3) mengatakan bahwa “Setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Berdasarkan bunyi daripada konstitusi sebagai Staatsgrundgesetz
atau sumber hukum dasar
tertulis Bangsa Indonesia diatas sudah sangat jelas diatur bahwa setiap
orang berhak untuk memporeleh kesempatan yang sama didalam pemerintahan
sehingga semestinya setiap partai politik harusnya dapat mengusulkan pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden, termasuk partai politik yang baru mengikuti
Pemilu sekalipun. Dengan adanya ketentuan Presidential Threshold dalam pemilu serentak,
tentu ini membatasi hak partai baru
untuk bisa berkontestasi pada pemilu dengan mengusulkan calon Presiden dan
wakil presiden, atau terpaksa partai politik baru hanya ikut mendukung pasangan
capres dan cawapres yang tersedia tanpa memiliki kekuatan politik untuk menyampaikan
kehendak atau aspirasi akibat posisi mereka yang tidak mengganjilkan atau tidak
menggenapkan.
Sistem
semacam ini menimbulkan kesan bahwa bukan setiap warga negara yang berhak
memperoleh kesempatan untuk duduk dipemerintahan melainkan setiap oligarki
partai sajalah yang berhak duduk dipemerintahan dan sistem semacam ini
seharusnya tidak terdapat dalam Negara Demokrasi seperti Indonesia karena ini
termasuk bentuk pelanggaran hak warga negara dan merupakan suatu hal yang tidak
logis untuk dilakukan karena Partai Politik yang bisa mencalonkan presiden pada
periode mendatang hanyalah partai yang memiliki kursi di DPR pada periode
sebelumnya bukanlah yang memperoleh kursi pada pemilu saat itu, jika
dianalogikan hal ini seperti ibarat seseorang mau mendaki gunung tahun 2024
kemudian ia pergi kedokter agar
diperiksa kondisinya, maka kemudian dokter meminta hasil ronsen yang menunjukan
bahwa ia sehat, namun ia berikan hasil ronsen tahun 2019 padahal ia mau naik
gunung pada tahun 2024. Jadi dapat dikatakan tidaklah logis , tidak lah relevan,
dan tentunya inkonstitusional apabila pemilu serentak dibarengi dengan presidential threshold dalam pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden.
Berdasarkan
catatan kelam, tantangan yang akan dihadapi, serta permasalahan-permasalahan
yang terjadi dalam sistem pemilu serentak diatas tentunya membuat penyelenggara
pemilu harus bekerja secara extra bahkan berkali-kali lipat, dimulai dengan melakukan
evaluasi pada pemilu 2019 baik itu kelebihan, kekurangan, hambatan, dll.
Kemudian untuk solusi yang dapat dilakukan oleh penyelenggara pemilu dalam
mengantisipasi tantangan-tantangan yang kemungkinan bakal dihadapi pada pemilu
tahun 2024 diantaranya yakni dimulai dari merubah sistem perekrutan anggota
KPPS dengan dilakukannya seleksi anggota KPPS dengan ketat mulai dari usia,
kesehatan, kesanggupan, dll. Hal ini penting untuk dilakukan dikarenakan
catatan terburuk dari Pemilu 2019 yakni banyaknya petugas KPPS yang meninggal
dunia dikarenakan sakit serta kelelahan dan kebanyakan petugas yang meninggal
dunia tersebut merupakan lansia, hal ini seperti yang diungkapkan oleh Mantan Menteri
Kesehatan Nila F. Moeloek yang
mengungkapkan bahwa 54 persen petugas KPPS yang meninggal dunia berusia di atas
50 tahun, bahkan ada yang berusia 70 tahun dan faktor penyebab mereka
mengembuskan napas terakhir mayoritas atau 51 persen disebabkan karena penyakit
kardiovaskular atau jantung, termasuk stroke dan sudden infant death atau
kematian mendadak. Sehingga berdasarkan hal ini untuk 2024 perlulah dilakukan
seleksi yang ketat untuk petugas KPPS agar peristiwa Pemilu Berdarah tidak
terulang kembali seperti yang telah terjadi pada tahun 2019. Solusi berikutnya
yakni perlulah digunakan aplikasi E-Recap
atau E-Counting dalam perhitungan
suara agar setidaknya mengurangi beban petugas pemilu dan juga perlulah dilakukan penyederhanaan
surat suara agar masyarakat tidak kesulitan saat pemungutan suara harus
mencoblos 5 surat suara sekaligus dalam satu waktu.
Kemudian terkait dengan Pemilu serentak dan Presidential Threshold maka menurut penulis sangatlah perlu untuk dilakukan Judicial Review UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan Pemilu Serentak atau Presidential Threshold dikarenakan menurut penulis kedua sistem ini tidaklah bisa dijalankan secara bersamaan dalam artian apabila pemilu dilaksanakan secara serentak maka hapuslah ambang batas pencalonan presiden sehingga dalam mencalonkan Presiden itu tidaklah didasarkan pada Pileg periode sebelumnya, namun apabila hendak mau mempertahankan Presidential Threshold maka janganlah sistem pemilu yang digunakan ialah Pemilu Serentak dikarenakan Sistem Presidential Threshold barulah relevan untuk digunakan apabila pemilu dilaksanakan dengan melakukan pemilu legilatif terlebih dahulu barulah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang calonnya diusung berdasarkan hasil suara Pileg yang telah dilaksanakan sebelumnya. Jika sudah demikian maka pemilu benar-benar dapat dikatakan sebagai pesta demokrasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi bukanlah pesta para oligarki partai yang hanya mau berkuasa demi kepentingan dan keuntungan pribadi.
Penulis : Eduard Awang Maha Putra, SH
DAFTAR
PUSTAKA
- Undang-Undang Dasar 1945
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan
Umum
- Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor.14/PUU-XI/2013
tentang Pemilihan Umum serentak
- Asshiddiqie, Jimly. Gagasan kedaulatan rakyat dalam konstitusi
dan pelaksanaannya di Indonesia: pergeseran keseimbangan antara individualisme
dan kolektivisme dalam kebijakan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi selama
tiga masa demokrasi, 1945-1980-an. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993
- Ardipandanto, A.
(2019). Permasalahan Penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2019. Info Singkat,
XI (11), 25, 30. Aziz, A. dkk. (2019).
- Serial Evaluasi
Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019. Refleksi Pemilu Serentak di Indonesia.
Jakarta: Bawaslu.
- Sodikin. “Pemilu
Serentak (Pemilu Legislatif Dengan Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden) Dan
Penguatan Sistem Presidensial.” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum
Nasional 3, no. 1 (2014).
- Tutik, Titik Triwulan.
Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pascaamandemen UUD 1945. Jakarta:
Cerdas Pustaka Publisher, 2008.
-DPR RI, Pimpinan DPR dan
KPU Sepakat Anggaran Pemilu Rp76,6, diakses pada hari Kamis,7 Juli 2022,
Triliunhttps://www.dpr.go.id/berita/detail/id/39137/t/Pimpinan+DPR+dan+KPU+Sepakat+Anggaran+Pemilu+Rp76%2C6+Triliun#:~:text=DPR%20bersama%20pemerintah%20dan%20penyelenggara,ada%20yakni%2014%20Juni%202022.
-Kompas.com, Data
Kemenkes: 527 Petugas KPPS Meninggal, 11.239 Orang Sakit,diakses pada hari
Selasa, 05 Juli 2022
https://nasional.kompas.com/read/2019/05/16/17073701/data-kemenkes-527-petugas-kpps-meninggal-11239-orang-sakit?page=all.
Komentar
Posting Komentar