Dilema dan Tantangan Pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 dan Relevansinya Dengan Presidential Threshold

 

Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip demokrasi dalam sistem ketatanegaraannya memiliki konsekuensi mutlak bahwa kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat. Hal ini sesuai dengan yang termaktub dalam konstitusi Indonesia yang merupakan Staatsgrundgesetz  bangsa Indonesia tepat nya pada pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Implementasi dari asas kedaulatan rakyat ini diwujudkan dalam bentuk pemilihan umum (pemilu) yang dimana salah satu prinsip umum Negara demokrasi yakni pemerintah dipilih dari, oleh, dan untuk rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu negara. Sehingga pemilu bisa dikatakan juga sebagai suatu pesta demokrasi rakyat untuk memilih wakilnya di lembaga legislatif dan pemimpinnya di lembaga eksekutif yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

 Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia sudah dilaksanakan sebanyak 12 kali yang dimana pemilu pertama dilaksanakan pada tahun 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Konstituante. Pada saat itu, pelaksanaan pemilihan umum berjalan dengan sangat lancar. Bahkan pemilu pada tahun 1955 dianggap sebagai pemilu yang paling demokratis dalam sejarah kepemiluan Indonesia. Pemilu pada era Orde Baru dilaksanakan pada tahun 1971, 1977, 1982, dan 1992 untuk memilih DPR dan DPRD. Pada Era Reformasi Pemilu pertama kali dilaksanakan pada tahun 1999 namun pada saat itu pemilu masih dilakukan untuk memilih anggota legislatif yakni DPR dan DPRD, hingga pada tahun 2004 setelah dilakukan amandemen ke-4 UUD 1945 pada tahun 2002 barulah pemilhan umum di Indonesia dilaksanakan tidak hanya untuk memilih DPR dan DPRD (legislatif) saja melainkan pemilu dilangsungkan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden (Eksekutif). Pemilihan secara langsung Presiden dan Wakil Presiden ini dilakukan sesuai dengan amanat konstitusi tepatnya pada pasal Pasal 6A UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Selanjutnya pemilu pada masa reformasi juga telah dilaksanakan pada tahun 2009, 2014, dan juga terakhir pada tahun 2019.

Namun terdapat perbedaan sistem pemilu yang dilaksanakan pada tahun 2019 dengan sistem pemilu yang dilaksanakan pada tahun 2004, 2009, dan 2014. Dimana pemilu tahun 2004, 2009, dan 2014 dilakukan untuk memilih anggota legislatif dan eksektutif (Presiden dan Wakil Presiden) yang dimana pelaksanaanya yakni  pemilihan legislatif dilaksanakan terlebih dahulu barulah beberapa bulan setelah itu dilakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan Pemilu Tahun 2019 juga dilakukan untuk memilih anggota legislatif dan  pemilihan Presiden dan Wakil Presiden akan tetapi perbedaannya dengan pemilu sebelumnya yakni pemilu 2019 pelaksanaan pemilihannya dilakukan secara bersamaan atau serentak antara pemilihan legislatif dan juga eksekutif. Sehingga dapat dikatakan pemilu tahun 2019 merupakan pemilu pertama dalam sejarah kepemiluan Indonesia yang dilaksanakan secara serentak atau dikenal juga dengan istilah Pemilu Serentak.

Latar belakang diadakannya pemilu serentak ini yakni bermula dari diajukannya Judicial Review oleh salah satu pengamat politik Indonesia yakni Effendy Ghazali ke Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of the constitution terkait dengan sistem pemilu pada periode-periode sebelumnya yang dianggap tidak demokratis dan juga diajukan permohonan agar sistem pemilu diselenggarakan secara serentak/bersamaan. Alhasil MK pun mengabulkan permohonan judicial review yang diajukan Effendy Ghazali dengan mengeluarkan putusan MK No.14/PUU-XI/2013 dengan dasar pertimbangan hakim yakni pemilu serentak dapat membuat pelaksanaan pemilu lebih efektif, efisien, dan bisa lebih hemat anggaran. Kemudian putusan MK tersebut diadopsi dalam UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum sehingga Pemilu yang diselenggarakan untuk periode 2019 dan selanjutnya harus lah dilaksanakan secara serentak berdasarkan ketentuan yang telah diatur dalam UU Pemilu.

Pelaksanaan Pemilu Serentak pada tahun 2019 menurut penulis telah berjalan dengan cukup lancar walaupun terdapat beberapa catatan kelam dalam pelaksanaannya , menurut Ketua Komisi Pemilhan Umum (RI) Arief Budiman terdapat 3 point penting dari Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 diantaranya yakni:

1. Efisiensi pengadaan logistik Pemilu mencapai 40,1 % ;

2. Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu mencapai 82,15 % ;

3. Jumlah sengketa di MK menurun dari periode pemilu sebelumnya yakni jumlah perkara terregister pada pemilu 2019 yakni sebayaka 260 perkara dan perkara yang dikabulkan hanya 12 sengketa.

            Sedangkan terdapat juga beberapa catatan-catatan kelam pelaksanaan pemilu serentak 2019 diantaranya yakni:

1.  Membengkaknya jumlah pelanggaran pemilu

Data dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada pemilu serentak 2019 terdapat 16.134 pelanggaran administrasi, 373 pelanggaran kode etik, 582 pelanggaran pidana, dan 1.475 pelanggaran hukum lainnya.

2. Penanganan logistik pemilu

Secara nasional, ada 10.520 TPS yang mengalami kekurangan logistik pemilu. Terjadi pula kasus kotak suara yang diterima KPPS tidak tersegel, yaitu terjadi di 6.474 TPS. Selain itu ada juga kasus surat suara yang tertukar antar Daerah Pemilihan atau antar TPS. Berdasarkan data Bawaslu, kasus ini terjadi di 3.411 TPS.

3. Beban Kerja Petugas Pemilu atau KPPS yang terlalu berat

Pemilu serentak 2019 tercatat sebagai pemilu yang paling banyak memakan korban jiwa selama sejarah kepemiluan Indonesia sehingga dikenal juga sebagai Pemilu Berdarah, hal ini dikarenakan berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan per 16 Mei 2019 menunjukkan sebanyak 527 jiwa Petugas KPPS meninggal dunia dan 11.239 orang petugas pemilu jatuh sakit. Data ini menunjukan bahwa pemilu yang sebenarnya merupakan momentum pesta demokrasi rakyat harus berubah menjadi momen berkabungnya rakyat hal ini tentunya disebabkan karena beban daripada petugas KPPS sangatlah berat sehingga menyebabkan mereka kelelahan hingga jatuh sakit bahkan sampai harus merenggut nyawa.

4. Tujuan Dasar pemilu serentak belum tercapai karena hanya 16,9% responden mengaku memilih caleg/partai pendukung dan sebanyak 74% responden survei publik dan 86% tokoh merasa disulitkan oleh hal teknis selama pemilu serentak.

        Catatan-catatan kelam pemilu pada tahun 2019 tentunya menjadi catatan penting bagi penyelenggara pemilu untuk menyelenggarakan Pemilu pada periode berikutnya, yang dimana pemilu akan dilaksanakan kembali pada tahun 2024 dengan sistem yang sama yakni Pemilu Serentak. Melihat catatan kelam pemilu serentak 2019 maka Pemilu serentak tahun 2024 tentunya akan menghadapi beberapa dilema dan tantangan yang bisa jadi lebih berat dibanding pemilu serentak 2019 dimana tantangan-tantangan yang akan dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024 diantaranya yakni:

1. Pemilu Serentak 2024 kemungkinan masih akan mengancam nyawa petugas Pemilu

Tak dapat dipungkiri bahwa Pemilu serentak 2024 masih mengancam nyawa masyarakat terlebih khusus petugas pemilu, hal ini dapat terjadi apabila mekanisme atau sistem pemilu serentak belum diperbaiki, apabila sistem yang dilaksanakan tetap sama dan belum disederhanakan maka hal ini pastinya tetap saja sangat memberatkan beban/tanggung jawab petugas pemilu sehingga peristiwa pemilu berdarah pun akan terulang kembali karena banyak petugas KPPS yang kelelahan sehingga jatuh sakit  hingga meninggal dunia.

2. Virus Covid-19 masih menghantui

Pada tahun 2024 pelaksanaan pemilu dihadapkan dengan tantangan baru yakni wabah virus Covid-19 yang telah menghantui masyarakat sejak tahun 2020. Pelaksanaan pemilu serentak 2024 ditengah mewabahnya virus tentunya mengancam kesehatan masyarakat dimana pelaksanaan pemilu berpeluang untuk menimbulkan kerumunan sehingga dapat menimbulkan claster covid-19 yang baru apabila protokol kesehatan tidak dijalankan dengan ketat , walaupun masyarakat sebagian besar sudah divaksin dan sudah ada pernyataan dari pemerintah yang memperbolehkan masyarakat untuk tidak menggunakan masker di ruang terbuka akan tetapi virus ini tetap akan mengancam kesehatan masyarakat dan juga kerap kali terjadinya mutasi virus covid-19 menunjukan bahwa bahaya dari covid-19 masih mengintai dalam pelaksanaan pemilu serentak 2024 .

3. Lima surat suara dalam satu waktu membuat masyarakat kesulitan

Pemilu serentak 2024 juga memiliki tantangan yakni dalam hal pemungutan suara dimana masyarakat banyak yang merasa kesulitan dan kebingungan karena pemilu serentak tidak hanya dilakukan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR RI saja melainkan harus mencoblos 5 (lima) surat suara sekaligus dalam satu waktu diantaranya yakni surat suara untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta anggota DPD. Lima surat suara sekaligus dalam satu waktu membuat masyarakat kesulitan kecuali sistem pemungutan suara pada pada pemilu serentak 2024 dibuat lebih sederhana sehingga tidak menyulitkan dan membingungkan masyarakat.

4. Masyarakat hanya fokus terhadap pilpres dan banyak yang acuh terhadap pileg

Salah satu tantangan yang dihadapi pemilu serentak 2024 yakni euforia pemilu hanyalah sebatas pesta rakyat untuk memilih presiden dan wakil presiden saja, sedangkan banyak masyarakat yang acuh terhadap pemilihan legislatif, hal ini seperti yang terjadi pada pemilu serentak 2019 dimana jumlah suara tidak sah dalam Pemilihan legislatif 2019 naik dibanding 2014 dimana jumlah suara tidak sah pada pileg 2019 sebesar 16.267.725 suara. Tentunya hal ini menjadi tantangan yang serius dalam pemilu serentak 2024 karena pileg dan pilpres sama-sama memiliki urgensi yang sangat mempengaruhi nasib rakyat Indonesia 5 tahun kedepan, di mana Pilpres untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang akan menangani masalah pemerintahan, kemudian Pileg untuk memilih wakil rakyat yang menangani persoalan di legislatif yaitu membuat regulasi, kebijakan anggaran dan fungsi pengawasan. Sehingga seharusnya masyarakat juga  harus benar-benar memahami visi misi yang ditawarkan oleh calon legislatif, agar kelak terpilih anggota legislatif yang merupakan wakil rakyat baik di pusat maupun di daerah yang mempunyai kapasitas, integritas dan kompetensi dalam bidangnya masing-masing.

5. Tujuan Pemilu Serentak sulit dikatakan tercapai karena anggaran Pemilu 2024 merupakan anggaran terbanyak dalam sejarah Pemilu

Salah satu tujuan dari pelaksanaan pemilu serentak yakni agar bisa menghemat anggaran negara dalam melaksanakan pemilu, namun nyatanya tujuan ini tidaklah bisa dikatakan tercapai atau dengan kata lain tujuan untuk menghemat anggaran hanyalah omong kosong belaka hal ini dikarenakan berdasarkan data yang diperoleh dari situs resmi DPR RI, anggaran yang digunakan untuk pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 yakni sebesar Rp 76,6 triliun, anggaran ini merupakan terbesar dalam sejarah kepemiluan Indonesia, dimana pada pemilu serentak tahun 2019 anggaran yang digunakan yakni sebesar Rp 25,6 triliun, pada tahun 2014 dimana saat itu belum dilaksanakan pemilu serentak anggaran yang digunakan hanya sebesar Rp 15,6 triliun , pada tahun 2009 anggaran pemilu sebesar Rp 8,5 triliun, dan pada tahun 2004 anggaran pemilu yakni sebesar Rp 4,5 triliuan. Hal ini menunjukan bahwa pemilu serentak 2024 yang dikatakan sebagai alternatif agar tidak terjadinya pembengkakan anggaran justru merupakan pemilu yang jumlah anggaranya lebih besar 19 (sembilan belas) kali lipat dibanding pemilu pada tahun 2004. Ini menunjukan bahwa tujuan pemilu serentak 2024 sulit dikatakan tercapai sehingga ini juga menjadi suatu tantangan dalam keberhasilan pemilu serentak 2024.      

             Melihat catatan-catatan kelam pada pemilu serentak 2019 dan juga kemungkinan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemilu serentak 2024 tentunya membawa perspektif bahwa sistem pemilu serentak tidak lah tepat jika digunakan dalam sistem pemilu di Indonesia dikarenakan pemilu serentak yang tujuan awalnya yakni agar pelaksanaan pemilu bisa lebih efektif, efisien dan menghemat anggaran justru realita yang terjadi malah sebaliknya bahkan kemungkinan lebih banyak memiliki resiko yang lebih buruk dibandingkan pemilu pada tahun 2004,2009, dan 2014 yang tidak dilakukan secara serentak.

            Digunakannya  presidential threshold / ambang batas pencalonan presiden juga tidaklah relevan apabila sistem pemilu yang dilaksanakan yakni pemilu serentak. Presidential Threshold / ambang batas calon presiden dan wakil presiden ialah tingkat minimal dukungan yang harus diperoleh partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusungkan calon presiden dan wakil presiden. Presidential Threshold sendiri diatur dalam Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang disebutkan bahwa pasangan calon diusungkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Berdasarkan pengaturan terkait presidential threshold dalam pasal 222 UU Pemilu tersebut maka diperoleh pengertian bahwa Partai Politik barulah dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden apabila suara yang diperoleh dalam pileg telah memenuhi presentase minimal untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Sehingga jika pemilu serentak dilaksanakan dengan tetap menggunakan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden maka tidaklah relevan untuk dilaksanakan dikarenakan konsekuensi yang mucul yakni untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden pada pemilu mendatang haruslah didasarkan pada hasil perolehan kursi DPR pada periode sebelumnya dan partai-partai yang baru dibentuk setelah periode sebelumnya belum bisa mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden walaupun ia memperoleh kursi terbanyak pada pemilu berikutnya. Tentunya hal ini merupakan suatu permasalahan dikarenakan hal ini merupakan suatu bentuk pertentangan terhadap konstitusi tepatnya Pada pasal 6A Ayat (2) yang menyatakan bahwa “pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan Pemilu.”

Dan juga ini bertentangan dengan hak asasi warga negara yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Serta Pasal 28D ayat (3) mengatakan bahwa “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

 Berdasarkan bunyi daripada konstitusi sebagai Staatsgrundgesetz atau sumber hukum dasar tertulis Bangsa Indonesia diatas sudah sangat jelas diatur bahwa setiap orang berhak untuk memporeleh kesempatan yang sama didalam pemerintahan sehingga semestinya setiap partai politik harusnya dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, termasuk partai politik yang baru mengikuti Pemilu sekalipun. Dengan adanya ketentuan Presidential Threshold dalam pemilu serentak, tentu ini membatasi hak  partai baru untuk bisa berkontestasi pada pemilu dengan mengusulkan calon Presiden dan wakil presiden, atau terpaksa partai politik baru hanya ikut mendukung pasangan capres dan cawapres yang tersedia tanpa memiliki kekuatan politik untuk menyampaikan kehendak atau aspirasi akibat posisi mereka yang tidak mengganjilkan atau tidak menggenapkan.

Sistem semacam ini menimbulkan kesan bahwa bukan setiap warga negara yang berhak memperoleh kesempatan untuk duduk dipemerintahan melainkan setiap oligarki partai sajalah yang berhak duduk dipemerintahan dan sistem semacam ini seharusnya tidak terdapat dalam Negara Demokrasi seperti Indonesia karena ini termasuk bentuk pelanggaran hak warga negara dan merupakan suatu hal yang tidak logis untuk dilakukan karena Partai Politik yang bisa mencalonkan presiden pada periode mendatang hanyalah partai yang memiliki kursi di DPR pada periode sebelumnya bukanlah yang memperoleh kursi pada pemilu saat itu, jika dianalogikan hal ini seperti ibarat seseorang mau mendaki gunung tahun 2024 kemudian ia  pergi kedokter agar diperiksa kondisinya, maka kemudian dokter meminta hasil ronsen yang menunjukan bahwa ia sehat, namun ia berikan hasil ronsen tahun 2019 padahal ia mau naik gunung pada tahun 2024. Jadi dapat dikatakan tidaklah logis , tidak lah relevan, dan tentunya inkonstitusional apabila pemilu serentak dibarengi dengan presidential threshold dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.  

Berdasarkan catatan kelam, tantangan yang akan dihadapi, serta permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam sistem pemilu serentak diatas tentunya membuat penyelenggara pemilu harus bekerja secara extra bahkan berkali-kali lipat, dimulai dengan melakukan evaluasi pada pemilu 2019 baik itu kelebihan, kekurangan, hambatan, dll. Kemudian untuk solusi yang dapat dilakukan oleh penyelenggara pemilu dalam mengantisipasi tantangan-tantangan yang kemungkinan bakal dihadapi pada pemilu tahun 2024 diantaranya yakni dimulai dari merubah sistem perekrutan anggota KPPS dengan dilakukannya seleksi anggota KPPS dengan ketat mulai dari usia, kesehatan, kesanggupan, dll. Hal ini penting untuk dilakukan dikarenakan catatan terburuk dari Pemilu 2019 yakni banyaknya petugas KPPS yang meninggal dunia dikarenakan sakit serta kelelahan dan kebanyakan petugas yang meninggal dunia tersebut merupakan lansia, hal ini seperti yang diungkapkan oleh Mantan Menteri Kesehatan  Nila F. Moeloek yang mengungkapkan bahwa 54 persen petugas KPPS yang meninggal dunia berusia di atas 50 tahun, bahkan ada yang berusia 70 tahun dan faktor penyebab mereka mengembuskan napas terakhir mayoritas atau 51 persen disebabkan karena penyakit kardiovaskular atau jantung, termasuk stroke dan sudden infant death atau kematian mendadak. Sehingga berdasarkan hal ini untuk 2024 perlulah dilakukan seleksi yang ketat untuk petugas KPPS agar peristiwa Pemilu Berdarah tidak terulang kembali seperti yang telah terjadi pada tahun 2019. Solusi berikutnya yakni perlulah digunakan aplikasi E-Recap atau E-Counting dalam perhitungan suara agar setidaknya mengurangi beban petugas pemilu  dan juga perlulah dilakukan penyederhanaan surat suara agar masyarakat tidak kesulitan saat pemungutan suara harus mencoblos 5 surat suara sekaligus dalam satu waktu.

Kemudian terkait dengan Pemilu serentak dan Presidential Threshold maka menurut penulis sangatlah perlu untuk  dilakukan Judicial Review UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan Pemilu Serentak atau Presidential Threshold dikarenakan menurut penulis kedua sistem ini tidaklah bisa dijalankan secara bersamaan dalam artian apabila pemilu dilaksanakan secara serentak maka hapuslah ambang batas pencalonan presiden sehingga dalam mencalonkan Presiden itu tidaklah didasarkan pada Pileg periode sebelumnya, namun apabila hendak mau mempertahankan Presidential Threshold maka janganlah sistem pemilu yang digunakan ialah Pemilu Serentak dikarenakan Sistem Presidential Threshold barulah relevan untuk digunakan apabila pemilu dilaksanakan dengan melakukan pemilu legilatif terlebih dahulu barulah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang calonnya diusung berdasarkan hasil suara Pileg yang telah dilaksanakan sebelumnya. Jika sudah demikian maka pemilu benar-benar dapat dikatakan sebagai pesta demokrasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi bukanlah pesta para oligarki partai yang hanya mau berkuasa demi kepentingan dan keuntungan pribadi. 

Penulis : Eduard Awang Maha Putra, SH


DAFTAR PUSTAKA

- Undang-Undang Dasar 1945

- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum

- Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor.14/PUU-XI/2013 tentang Pemilihan Umum serentak

- Asshiddiqie, Jimly. Gagasan kedaulatan rakyat dalam konstitusi dan pelaksanaannya di Indonesia: pergeseran keseimbangan antara individualisme dan kolektivisme dalam kebijakan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi selama tiga masa demokrasi, 1945-1980-an. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993

- Ardipandanto, A. (2019). Permasalahan Penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2019. Info Singkat, XI (11), 25, 30. Aziz, A. dkk. (2019).

- Serial Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019. Refleksi Pemilu Serentak di Indonesia. Jakarta: Bawaslu.

- Sodikin. “Pemilu Serentak (Pemilu Legislatif Dengan Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden) Dan Penguatan Sistem Presidensial.” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 3, no. 1 (2014).

- Tutik, Titik Triwulan. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pascaamandemen UUD 1945. Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher, 2008.

-DPR RI, Pimpinan DPR dan KPU Sepakat Anggaran Pemilu Rp76,6, diakses pada hari Kamis,7 Juli 2022,  

Triliunhttps://www.dpr.go.id/berita/detail/id/39137/t/Pimpinan+DPR+dan+KPU+Sepakat+Anggaran+Pemilu+Rp76%2C6+Triliun#:~:text=DPR%20bersama%20pemerintah%20dan%20penyelenggara,ada%20yakni%2014%20Juni%202022.

-Kompas.com, Data Kemenkes: 527 Petugas KPPS Meninggal, 11.239 Orang Sakit,diakses pada hari Selasa, 05 Juli 2022
https://nasional.kompas.com/read/2019/05/16/17073701/data-kemenkes-527-petugas-kpps-meninggal-11239-orang-sakit?page=all.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAK MUDAH BUKAN BERARTI TAK MUNGKIN (BIOGRAFI)

JUDEX FACTIE DAN JUDEX JURIST DALAM SISTEM PERADILAN DAN PRAKTIKNYA DI INDONESIA

Perkembangan Teknologi dalam Dunia Hukum : Telaah Konsep Panopticon sebagai Model Pendisiplinan Masyarakat