Mengenal Peraturan Kebijakan (Beleidsregel atau Pseudowetgeving) dalam Hukum Administrasi Negara Serta Kedudukannya dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
Indonesia sebagai negara hukum mempunyai konsekuensi mutlak bahwa pemerintah sebagai instrumen negara dan sebagai Badan/Pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugas-tugasnya serta dalam melakukan tindakan atau perbuatan hukum haruslah menggunakan berbagai instrumen yuridis dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan, seperti peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan, peraturan kebijakan, perizinan, dan sebagainya.Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yakni pada Pasal 7 ayat (1) terdapat hirarki peraturan perundang-undangan yang terdiri atas a) UUD 1945;b) Tap MPR; c) UU /Perppu ; d) Peraturan Pemerintah; e) Peraturan Presiden; f) Peraturan Daerah Provinsi dan; g)Peraturan Daerah Kabupaten / Kota. Selain peraturan pada pada 7 ayat 1 berlaku juga peraturan diluar hirarki yang tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) seperti peraturan yang ditetapkan oleh DPR, DPD, MA, MK, Bank Indonesia, Menteri,dll.
Selain peraturan di atas, menurut Walldijk norma hukum (rechtsnorm) itu ada dalam bentuk peraturan-peraturan (regelingen) yang terdiri atas peraturan (regels) dan peraturan lainnya (andere bepalingen). Dikotomi antara peraturan (regels) dengan ketentuan lain (andere bepalingen) membawa paradigma yuridis bahwa di samping peraturan (hierarki dan non-hierarki berdasarkan UU 12 Tahun 2011) terdapat berbagai bentuk ketentuan yang sebenarnya bukan merupakan suatu peraturan, namun dianggap sebagai peraturan sehingga disebut dengan istilah legislasi semu. Dalam kenyataan sehari-hari masyarakat mengenal ketentuan lain itu secara langsung atau tidak langsung, tertulis maupun tersirat, sehingga ketentuan lain itu dianggap juga sebagai peraturan. Sebagai contoh, suatu pedoman yang dikeluarkan oleh seorang pimpinan, yang secara langsung dan eksplisit diujukan kepada bawahannya, merupakan suatu ketentuan, yang dianggap sebagai peraturan karena itu dinyatakan berlaku. Peraturan lain itu bersifat semu yang dapat diartikan sebagai peraturan (regelingen) yang disusun tanpa dasar hukum dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang memerintahkan pembentukannya (regelingen die niet op grond van een hoger wettelijke voorschrift worden vastgesteld). Sehingga peraturan yang bersifat semu ini hanya berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, karenanya tidak dapat mengubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan. Peraturan ini adalah semacam hukum bayangan dari undang-undang atau hukum. Oleh karena itu, peraturan ini disebut pula dengan istilah pseudo-wetgeving (perundang-undangan semu) atau spigelsrecht (hukum bayangan/cermin) atau peraturan ini juga dikenal dengan istilah peraturan kebijakan (beleidsregel).
Mengutip Andreae’s Fockema, Zafrullah Salim mengungkapkan dalam Kamus Hukum Bahasa Belanda, istilah Pseudowetgeving (legislasi semu) berarti tata aturan oleh organ pemerintahan yang terkait tanpa memiliki dasar ketentuan undang-undang yang secara tegas memberikan kewenangan kepada organ tersebut. Legislasi semu (pseudowetgeving) atau peraturan kebijakan (beleidsregel) inilah yang merupakan produk hukum yang lahir dari kewenangan mengatur kepentingan umum secara mandiri atas dasar prinsip freies ermessen atau diskresi. Artinya ketika freies ermessen atau diskresi ini dituangkan dalam bentuk tertulis ia menjadi peraturan kebijakan. Hal ini sesuai dengan ciri ciri-ciri peraturan kebijakan yang dikemukakan oleh Bagir Manan. Adapun Bagir Manan menjabarkan ciri-ciri peraturan kebijaksanaan sebagai berikut:
1. Peraturan kebijaksanaan bukan merupakan peraturan perundang -undangan.
2. Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundag-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijaksanaan.
3. Peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat keputusan peraturan kebijaksanaan tersebut.
4. Peraturan kebijaksanaan di buat berdasarkan freies ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan membuat peraturan perundangundangan.
5. Pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diserahkan pada doelmatigheid dan karena itu batu ujinya adalah asas-asas umum pemerintahan yang layak.
6. Dalam praktek di beri format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan, yakni keputusan, instruksi, surat edaran, pengumuman dan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan.
Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dikenal berbagai bentuk peraturan kebijakan. Tidak ada suatu format baku yang digunakan pemerintah dalam pembentukan legislasi semu atau peraturan kebijakan. Beberapa bentuk legislasi semu atau peraturan kebijakan menurut pendapat Jimly Asshidiqie dapat dibuat dalam bentuk-bentuk seperti: a. Surat Edaran, contoh : Surat Edaran Bank Indonesia; b. Surat Perintah atau Instruksi,contoh: Instruksi Presiden; c. Pedoman kerja atau manual; d. Petunjuk Pelaksanaan (Juklak); e. Petunjuk Teknis (Juknis); f. Buku Panduan; g. Kerangka Acuan; h. Desain Kerja.
Selain itu menurut Phillip M. Hadjon mengemukakan bentuk-bentuk peraturan kebijakan dalam pernyataan sebagai berikut “Produk semacam peraturan kebijaksanaan ini tidak terlepas dari kaitan penggunaan freies ermessen, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan merumuskan kebijaksanaanya itu dalam pelbagai bentuk juridische regel seperti halnya peraturan, pedoman, pengumuman, surat edaran, dan pengumuman kebijaksanaan itu.”
Berdasarkan ciri-ciri dan juga bentuk-bentuk peraturan kebijakan yang dikemukakan oleh para ahli di atas , dapat diketahui bahwa peraturan kebijakan merupakan produk hukum sebagai wujud konkret atau implementasi penerapan asas diskresi atau asas kebebasan bertindak pemerintah untuk melakukan sesuatu tanpa harus terikat dengan Undang-Undang. Adapun terkait dengan pengertian, syarat-syarat diskresi, dll telah diatur dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan tepatnya pada pasal 1 ayat (9) dan pasal 24. Namun yang menjadi pertanyaan bagaimanakah kedudukan peraturan kebijakan dalam UU Administrasi yang merupakan produk hukum yang lahir sebagai implementasi atau perwujudan konkret daripada asas diskresi? jawabannya yakni peraturan kebijakan tidak memiliki kedudukan hukum didalam UU Administrasi Pemerintahan dikarenakan peraturan kebijakan (beleidsregel) tidak diatur atau tidak terdapat dalam UU Administrasi Pemerintahan bahkan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan manapun. Pengertian, ciri-ciri, bentuk-bentuk dari Peraturan Kebijakan selama ini bersumber hanya dari doktrin-doktrin/pendapat para ahli hukum saja dan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Menurut penulis, hal ini seharusnya menjadi perhatian khusus dari DPR maupun pemerintah sebagai perumus dan perancang Undang-Undang walaupun salah satu sumber hukum Indonesia yakni doktrin-doktrin atau pendapat para ahli hukum, namun salah satu tujuan negara hukum juga yakni kepastian hukum sehingga menurut penulis sangatlah perlu dilakukan revisi UU Administrasi Pemerintahan dengan memasukan konsep peraturan kebijakan atau beleidsregel diantaranya yakni pengertian, ciri-ciri, maupun bentuk-bentuk daripada peraturan kebijakan agar kepastian hukum atau legalitas daripada peraturan kebijakan sebagai produk hukum pemerintah untuk melancarkan penyelanggaraan pemerintahan dapat terjamin dan juga hal ini sebagai bentuk cerminan asas legalitas dalam Hukum Administrasi Negara (HAN) yang dimana setiap perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang mengikat warga negara tidak serta merta dapat dilakukan pemerintah tanpa didasari oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Dasar 1945
UU No.30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Bagir Manan, Peraturan Kebijaksanaan, 1994, Makalah, Jakarta.
Ridwan H.R, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Yogyakarta.
Zaffrulah Salim, Legislasi Semu (Pseudowetgeving), (Artikel), Jakarta Selatan, 2020, ditjenpp.kemenkumham.go.id, Diakses pada Selasa, 30 November 2021
Komentar
Posting Komentar