HUBUNGAN ASAS LEGALITAS DENGAN DISKRESI PEMERINTAH DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Asas
Legalitas menjadi prinsip utama dan juga salah satu ciri dalam setiap negara
hukum yang sering dirumuskan dengan ungkapan “Het beginsel van wetmatigheid van bestuur” yakni prinsip keabsahan
pemerintahan. Asas legalitas juga dijadikan sebagai dasar dalam setiap
penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan. Asas legalitas dikenal dalam
berbagai bidang hukum baik itu dalam bidang hukum pidana, hukum perdata, hukum
islam, dan juga dalam hukum administrasi negara. Asas legalitas dalam bidang
Hukum Administrasi Negara memiliki makna “Het
legaliteitsbeginsel houdt in dat alle (algemen) de burgers bindende bepalingen
op de wet moeten berusten” (asas legalitas menentukan bahwa semua ketentuan
yang mengikat warga negara harus didasarkan pada Undang – Undang). Berdasarkan makna dari asas legalitas menurut
hukum administrasi tersebut dapat dilihat bahwa setiap perbuatan atau tindakan
yang dilakukan oleh pemerintah yang mengikat warga negara tidak serta merta
dapat dilakukan pemerintah tanpa didasari oleh peraturan perundang-undangan
sehingga apabila pemerintah bertindak tidak didasarkan pada peraturan
perundang-undangan maka dapat dikatakan pemerintah melanggar asas legalitas
tersebut.
Namun Indonesia sebagai negara yang menganut konsep
negara kesejahteraan (welfare state), dimana tujuan negara adalah untuk
memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945
juga menimbulkan konsekuensi terhadap penyelenggaraan pemerintahan yaitu
pemerintah harus berperan aktif mencampuri bidang kehidupan sosial ekonomi
masyarakat. Untuk itu kepada pemerintah dilimpahkan bestuurszorg atau public
service. Agar servis publik dapat dilaksanakan dan
mencapai hasil yang maksimal, kepada Badan/Pejabat Administrasi Negara
diberikan suatu kemerdekaan tertentu secara atribusi oleh Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri
menyelesaikan berbagai permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara
cepat, sementara terhadap permasalahan itu tidak ada, atau masih belum dibentuk
suatu dasar hukum penyelesaiannya oleh lembaga legislatif yang kemudian dalam
hukum administrasi negara diberikan kewenangan bebas berupa diskresi atau freies
ermessen.
Berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan yakni pada
Pasal 1 ayat (9) terdapat
definsi dari Kewenangan Diskresi yang mana dijelaskan bahwa:
“Diskresi merupakan keputusan dan/atau tindakan yang
ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi
persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal
peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak
lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.”
Berdasarkan
definisi di atas dapat dilihat bahwa diskresi yakni sebagai kewenangan
bertindak bebas yang dimiliki oleh pejabat pemerintah dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang bertujuan untuk memberikan ruang gerak bagi pemerintah dalam
melakukan suatu perbuatan tanpa harus terikat sepenuhnya dengan peraturan
perundang-undangan. Kebebasan pemerintah dalam bertindak seperti yang
dikemukakan di atas tentu saja merupakan hal yang bertentangan dengan asas
legalitas atau asas kepastian hukum. Yang mana asas kepastian hukum yakni asas dalam negara
hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan,
kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan
pemerintahan. Terkait hal tersebut, Jimly
berpendapat bahwa dalam paham negara hukum segala tindakan pemerintahan harus
didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan
administrasi harus didasarkan atas aturan atau rules and procedures‟ (regels).
Namun dalam perkembangannya,
penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan pada asas kepastian hukum yang
didasarkan pada peraturan perundang-undangan, kerap kali menemui beberapa hambatan dalam tataran implementasi khususnya dalam
hal kesenjangan / jurang hukum (legal gap) antara peraturan
perundang-undangan yang ada dengan realitas yang dihadapi oleh pemerintah. Hal
ini dikarenakan pada hakikatnya tidak ada undang-undang yang sempurna, pasti di
dalamnya ada kekurangan dan keterbatasannya. Tidak ada undang-undang yang
lengkap, selengkap-lengkapnya atau sejelas-jelasnya dalam mengatur seluruh
kegiatan manusia. Serta
dalam penyelenggaraan pemerintahan,
kepentingan dan keselamatan rakyatlah yang menjadi prioritas utama, hal ini
sesuai dengan asas Salus Populi Suprema Lex Esto yang memiliki makna
bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, maka dalam hal peraturan
perundang-undangan terdapat kelemahan diantaranya seperti peraturan
perundang-undangan tidak mengatur, tidak lengkap, tidak jelas serta tidak
memadai untuk menyelesaikan permasalahan konkret yang terjadi, pemerintah dapat
bertindak atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan permasalahan yang ada
dengan didasarkan pada kewenangan diskresi.
Sehingga karena hal inilah dalam hubungan dengan perkembangan asas freies
ermessen, diskresi pemerintah atau Freies ermessen ini muncul sebagai alternatif untuk mengisi
kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan asas legalitas (wetmatigheid van
bestuur sehingga pemerintah boleh saja bertindak diluar dari apa yang telah
ditentukan oleh Peraturan Perundang-Undangan asalkan tindakan atau perbuatan
pemerintah tersebut telah sesuai dengan syarat-syarat diskresi yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara..
Daftar
Pustaka
Undang-Undang No 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Negara
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta : Setjen
dan Kepaniteraan MKRI
Shidarta,2013, Pendekatan
Hukum Progresif Dalam Mencairkan Kebekuan Produk Legislasi, dalam Dekonstruksi
dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif , Thafa Media.
SF Marbun dkk, 2001, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi
Negara, Yogyakarta: UII Press.
Komentar
Posting Komentar